Rabu, 13 Juli 2011

Martabat Pekerjaan

Pernahkah kita membayangkan suatu hari salah satu ruas jalan utama di kota Jakarta ini akan sepi tanpa dilalui satu kendaraan apa pun? Atau, jangankan di siang hari, malam hari saja kita pasti susah membayangkan hal ini dapat benar-benar terjadi. Pasalnya, orang-orang yang tinggal di Jakarta ini hadir dengan kesibukan-kesibukannya tersendiri. Ada yang bekerja di siang hari, ada yang bekerja di malam hari. Bahkan ada yang bekerja dari pagi hingga pagi. Namun, ada juga yang hanya ingin keluyuran di malam hari.
Hal-hal inilah yang selalu membuat jalanan di kota Jakarta ini tak pernah sepi dari derungan kendaraan bermotor. Setiap orang sibuk dengan perkejaannya. Perkejaan yang dapat mendatangkan nafkah bagi kelangsungan hidup keluarga dan lingkungan sekitar. Akan tetapi, pernahkah kita sejenak berpikir, mengapa kita bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam karena harus bekerja? Atau bahkan mengapa kita harus melek sepanjang malam?
Setiap orang pasti akan menjawabnya dengan mudah bahwa semuanya itu dilakukan karena profesi (pekerjaan). Lebih jauh, hal itu dilakukan karena tuntutan hidup. Tuntutan hidup menjadikan orang bekerja sepanjang hari – sepanjang malam tanpa mengenal lelah. Tuntutan menafkahi keluarga dan meraih masa depan menjadikan setiap orang rela mengarungi jalan-jalan kota Jakarta sepanjang waktu. Masing-masing kita pasti mempunyai alasan tersendiri mengapa kita harus bekerja. Tetapi pernahkah kita memikirkan keluhuran dari pekerjaan yang kita lakoni setiap hari?
Almarhum Paus Yohanes Paulus II pernah merefleksian batapa luhurnya martabat pekerjaan yang hampir dilakukan segenap umat manusia di dunia. Permenungannya itu ia tuangkan dalam sebuah tulisan dengan judul “Laborem Exercens” pada 1982. Praktis tulisan ini lebih memperdalam ajaran sosial Gereja yang sebelumnya telah diulas secara garis besar dalam Dokumen Konsili Vatikan II, khususnya dalam konstitusi “Gaudium et Spes” yang berbicara tentang hak-hak buruh. Dari tulisan itu, kurang lebih ada empat hal yang sangat menarik.
Pertama, refleksi tentang nilai luhur pekerjaan. Dalam bekerja, manusia tidak hanya berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan masa depannya saja, tetapi manusia turut memperpanjang karya penciptaan Allah. Dalam bekerja, manusia secara aktif ikut ambil bagian dalam karya penciptaan. Manusia ambil bagian dalam kreativitas Allah. Atas alasan ini, manusia tidak boleh dijadikan objek dan sarana dalam dunia kerja. Manusia harus menjadi subjek dan tujuan. Sebagai subjek: manusia adalah “bos” dari setiap pekerjaan, bukan hamba. Sebagai tujuan: pekerjaan menjadikan manusia semakin kreatif dan bijaksana. Pekerjaan menjadi sarana aktualisasi panggilannya kepada kepenuhan sebagai manusia dan anak-anak Allah.
Kedua, pekerjaan harus membawa manusia kepada kehidupan yang layak sesuai dengan martabatnya. Paus menandaskan bahwa proses produksi pertama-tama bukan untuk mengakumulasikan modal dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Proses produksi dan hasilnya harus menjamin kelangsungan setiap individu.
Ketiga, paus mengatakan bahwa hasil produksi juga merupakan hak setiap pekerja, bukan hanya milik majikan. Baik modal maupun alat-alat kerja merupakan hasil pekerjaan. Para pekerja telah melimpahkan segala kemampuannya untuk menghasilkan alat-alat tersebut. Karena itu, klaim kepemilikan alat-alat kerja oleh majikan ataupun kelompok tertentu tidak sah. Pemisahan tajam antara modal dan pekerjaan tidak sesuai dengan hakikat manusiawi produksi.
Keempat, paus merefleksikan bahwa hal yang perlu diatasi pada masa sekarang adalah struktur proses pekerjaan yang dualistik. Dalam hal ini, paus berbicara soal praktik “majikan tidak langsung.” Artinya, dalam dunia kerja sering terjadi ada pihak kedua yang turut menentukan kedudukan buruh seperti lembaga-lembaga, perjanjian pekerjaan kolektif, undang-undang, struktur-struktur ekonomis, sosial dan politik. Atau yang lebih nyata dihadapi di Indonesia saat ini adalah outsourcing. Paus menghendaki agar praktik seperti ini layaknya dihilangkan dari dunia kerja. Sistem seperti ini menjadikan hak-hak para pekerja tidak terakomodasi dengan baik.
Keempat hal pokok yang dikemukakan oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II ini tampaknya sangat relevan dengan dunia kerja maupun sistem kerja saat ini. Betapa indahnya bila setiap pekerja memandang diri bukan sebagai budak tetapi sebagai sang kreator yang sementara ambil bagian dalam tugas ilahi. Betapa mengesankan bila dalam sebuah perusahaan, para pemilik modal dan karyawannya merasa sama-sama sebagai pencipta yang akan menikmati hasilnya di akhir bulan maupun akhir tahun.
Kesadaran diri sebagai subjek dan tujuan dari kerja kiranya memberi angin segar bagi kita yang setiap hari mengarungi jalan-jalan Jakarta ini tanpa henti. Kesadaran seperti ini pula akan menjadikan kita pribadi yang bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan kita. Soalnya, kita tidak bekerja melulu untuk majikan tetapi kita sedang bekerja untuk diri kita sendiri. Kita sedang mengaktualisasikan diri melalui setiap pekerjaan yang kita lakukan.

(Stefanus p. Elu, Kebun Jeruk, 13 Juli 2011)

Tidak ada komentar: