Hari
itu udara terasa panas, di akhir September 2011. Matahari berdiri tegak di
puncaknya. Hawa yang turun dari kebun para petani ladang menyambangi tubuh yang
sedikit berkeringat. Saya bersama keempat belas teman mulai berbenah. Pakaian
dilipat sekecil mungkin dan disusun sangat berdekatan, tampak berhimpitan. Potongan
besi, terpal, makanan, dan sejumlah peralatan terkumpul menjadi satu. Beberapa
kali saya menoleh ke arah teman-teman lain yang hampir rampung pengepakkannya.
“Jangan lupa, masing-masing wajib membawa satu kantong plastik,” tutur Galuh,
seorang teman yang dipercaya sebagai pemandu.
Hari itu merupakan pengalaman
perdana perjalan saya bersama kelompok ini. Kata mereka, bila sudah sudah
mencapai tujuan kenikmatan tiada tara akan memenuhi jiwa dan raga. Itulah
sepenggal kalimat yang berkali-kali dilontarkan kepada saya, saat diajak untuk
bergabung bersama kelompok ini. Ini merupakan babak baru dalam rajutan
pengalaman kehidupan saya bersama Jelajah Alam Driyarkara atau yang sering kami
sebut JELADRI. Ia adalah kumpulan para pencinta alam dari sebuhan Sekolah
Tinggi di Jakarta bernama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Memang,
sangat susah menemukan korelasi antara filsafat dan alam. Tapi, paling tidak kondisi
alam yang tenang, asri, dan hijau mampu melahirkan buah-buah pikiran kritis dan
revolutif.
Sejak berdiri hampir sepuluh tahun
lebih, kelompok ini memang tidak mau menamai diri sebagai pencinta alam.
Seturut warisan cerita yang kami terima, para pendahulu kami tidak mau menamai
diri sebagai pencinta alam karena kesempatan untuk bersenggama dengan alam
hutan hanya beberapa hari, bahkan beberapa jam saat pendakian. Akan tetapi
pengalaman puncak yang diperoleh di puncak gunung itulah yang hendaknya di bawa
pulang untuk diaktulisasikan di lingkungan kampus. “Kita cukup menjelajah untuk
menemukan keindahan alam puncak, memotretnya dalam ingatan, dan mencetaknya
dalam tindakan di kampus,” itu pesan Galuh sewaktu bertolak dari kampus kemarin
sore.
Kami akan mendaki Gunung Salak dari
jalur Cimelati. Katanya, jalur ini cepat karena paling pendek tetapi cukup
berat karena terus menanjak dan tidak ada air di sepanjang perjalanan ke
puncak. “Masing-masing memegang kantung plastiknya dari naik sampai turun harus
tetap ada di tangan dan tetap utuh. Apapun alasannya,” petuah Galuh sekali lagi
menyentuh telinga. “Untuk apa sih? Masak dipegang terus? Emang, kalau capek nggak
boleh dibuang ya?” sanggahku dalam hati.
Sekitar baru 10 menit perjalanan,
Galuh membuka kantung plastiknya. Sejumlah sampah yang berseliweran di sisi
jalan dipungutnya satu persatu dan dimasukannya ke dalam kantong pelastiknya.
Kemudian ia kembali melanjutkan perjalanan.
Aku terheran-heran melihat apa yang dibuatnya. Tapi, beberapa teman lain
pun membuat hal serupa. Akhirnya aku pun ikut-ikutan. Meski dalam hati
membayangkan seberapa berat kantong pelastik ini nantinya. “Masalahnya
sampah-sampah ini akan terkumpul dari sejak naik sampai turun. Berapa banyak
nantinya?” gumamku.
Sepanjang jalan kami terus memungut
sampah plastik yang kami temukan. Baru sekitar dua jam perjalanan, kantong
pelastiknya sudah setengah penuh. Ternyata gunung yang sepi dari jamahan jemari
khalayak pun punya sampah. Hampir bisa
dipastikan bahwa sampah-sampah ini ditinggalkan oleh para pendaki gunung juga.
Mereka menamakan diri pencinta alam tapi tidak mencintai alam. Tempat yang sepi
sampah malah bermandi sampah karena tindakan tak terpuji mereka. Sebuah
tindakan kontraprodukstif untuk semangatnya sendiri.
Tapi, apapun alasan di balik semua
kenyataan, rasanya di sini bukan tempatnya untuk saling menghina dan mengklaim
siapa yang lebih unggul. Yang terpenting apa yang dapat dilakukan hari ini,
lakukanlah. Tidak perlu menunggu, apalagi menuntut agar itu dilakukan oleh
kelompok lain.
Seperti pesan kewajiban Galuh, kami
terus memungut sampah-sampah dari kaki Gunung Salak hingga ke puncak, kemudian
membawanya kembali turun ke bawah kaki gunung. Kami berhasil mengumpulkan
sampah sekitar tiga belas kantong pelastik besar. Sebuah pekerjaan yang gila
dan sia-sia. Toh, kalau besok ada
pendaki lain yang mengadakan pendakian, sampah akan kembali ditebar. Itulah
pikiran pesimistis yang menghatui saya.
Delapan bulan kemudian, saat kami
kembali mengadakan pendakian ke Gunung Merbabu, kegiatan memungut sampah
kembali digelar. Meski kini kami dibawah arah Adit, toh semangatnya tetap
samah. Kenikmatan puncak harus dipersiapkan sejak langkah pertama. Agar puncak
gunung itu indah, rawatlah sisi-sisi yang merangkai puncak itu.
Bayangkan saja, perjalanan selama
hampir tiga hari itu masih harus dibebani dengan tumpukan sampah yang tak tahu
dari mana datangnya. Terkadang, menyaksikan banyaknya bungkus mie dan biskuit,
teman-teman sempat berkelakar, “mungkin ada alfamart
atau indomart di atas”. Di
Merbabu kami berhasil mengumpulkan sampah sebanyak tujuh kantong plastik.
Sementara pada pendakian enam bulan setelahnya di Gunung Sumbing kami berhasil
mengumpulkan sampah sebanyak delapan kantong.
Bila meninjau apa yang kami lakukan
ini, memang tidaklah seberapa. Untuk menyelamatkan bumi yang kian terancam
kerusakannya ini, tindakan kami ibarat titik hitam kecil di tengah gurun pasir.
Ia sulit untuk dilihat begitu saja, tapi tetap ada. Dengan segala posisi dan
pertimbangan yang dimabil oleh para JELADRes – sapaat untuk anggota JELADRI –
kami ingin menyanggah perilaku para pecinta alam yang menodai semangat mereka.
Semoga sebanyak mungkin orang yang bisa menyadari hal ini. Bila orang belum
mampu melihat apa yang Anda lakukan, sekali-sekali jangan berkecil hati. Sebab
tujuan kita berbuat sesuatu bukan untuk dilihat. Meski tak terlihat banyak oleh
banyak orang, tetapi itu tetap ada. Segala sesuatu yang kita lakukan itu ada,
dan akan tetap ada, meski secara kasat mata tak terlihat.
steve agusta
*). Tulisan ini terbit dalam buku Antologi bersama berjudul "Think Green, Go Green", Pustaka Jingga, April 2013