Politisi
senior Lembata Hyasinthus Tibang Burin, membantah keretakan hubungan antara
Bupati Eliaser Yentji Sunur dan Wakil Bupati Viktor Mado Watun. Dalam situs www.rallypelangi.com, 15 Mei 2012, Sinthus membantah isu keretakan yang
selama ini berhembus kencang hingga ke masyarakat. Ia
menduga, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha membesar-besarkan hal-hal yang
kecil.
Sinthus tentu punya kapasitas menepis isu keretakan “pengantin politik”
yang belum genap setahun mengemban mandat rakyat Lembata sejak dilantik pada 25
Agustus 2011. Keduanya dituntut
melaksanakan mandat rakyat hingga 2016. Di lain pihak, sangat rasional ia tampil di garda depan mengklarifikasi
pertanyaan jurnalis media on-line itu
terkait isu keretakan keduanya yang telanjur masuk gendang telinga masyarakat
Lembata. Mengapa? Jawabanya, ia adalah pucuk pimpinan partai pengusung.
Fenonema pecah
kongsi politik dalam duet kepemimpinan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota, bukan hal baru.
Misalnya, keretakan hubungan Gubernur DKI Fauzi Bowo dan Wakil Gubernur
Prijanto yang terjadi beberapa waktu lalu. Prijanto mengungkapkan
isi hatinya dalam buku “Kenapa Saya Mundur” yang ia tulis sendiri. ”Orang yang saya bantu tidak pernah ngajak ngomong.” Padahal, sejak menjadi Wakil Gubernur, ia
berkeinginan membangun Jakarta bersama Fauzi Bowo hingga dua periode masa
jabatan. Namun, hingga empat tahun berselang, ia mengaku tidak pernah
diikutsertakan dalam memimpin Ibu Kota. “Saya telepon, (Fauzi) tidak pernah
membalas. Saya sms tidak pernah direspon, pengaturan tugas tidak jelas. Semua
itu saya rasakan.” Kesimpulan Prijanto, Fauzi Bowo sudah tidak
memerlukan tenaganya.
Kasus
yang pernah mencuat adalah kongsi politik Bupati
Kabupaten Garut, Jawa Barat, Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Raden Dicky
Chandranegara alias Dicky Chandra. Pasangan yang memenangkan
pilkada jalur
independen ini, pecah kongsi di tengah jalan. Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi akhirnya merestui
pengunduran diri Dicky Chandra. Keduanya tak sepaham dan sejalan dalam
pengambilan sejumlah kebijakan strategis dan politis bagi akselerasi pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat.
Pembagian Tugas
Pecah kongsi
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota
kerap lahir akibat distribusi tugas pokok dan fungsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Bukan tidak mungkin, dalam prakteknya kerapkali ada Wakil Gubernur,
Wakil Bupati maupun Wakil Walikota
“mengeluh” karena hanya dijadikan “ban serep”. Padahal, jika merujuk UU
tersebut diuraikan secara jelas tugas tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.
Pasal 26 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan, wakil kepala daerah mempunyai tugas (a) membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; (b) membantu
kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah,
menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan,
melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan
dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; (c) memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota bagi wakil kepala
daerah provinsi; (d), memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan,
kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; (e) memberikan saran
dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah
daerah; (f) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah lainnya yang diberikan oleh
kepala daerah; dan (g) melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan. Sedangkan dalam Ayat 2
disebutkan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
Seolah-olah
jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati
maupun Wakil Walikota tidak
difungsikan dan kurang bermanfaat, tidak efektif dan efisien. Ini terutama nampak dalam pengambilan-pengambilan kebijakan strategis yang banyak diambil
porsinya, Wakil Gubernur, Wakil Bupati
maupun Wakil Walikota hanya bisa memberi
saran dan membantu melaksanakan tugas-tugas atau mewakili Gubernur, Bupati maupun Walikota bila berhalangan. Kadang juga porsinya “diserobot” sehingga membuat mereka lebih banyak “mengganggur” menunggu perintah. Padahal, harus diakui ia tentu memiliki kemampuan atau kapabilitas, namun perannya tergantung good will Gubernur, Bupati maupun Walikota.
Fenomena ini pernah menerpa Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Bupati
Agus Facthur Rahman dan Wakil Bupati Daryanto pecah
kongsi gara-gara masalah pembagian atau pendelegasian tugas dan wewenang.
Buntutnya, Daryatmo tidak hadir dalam pelantikan 400 pejabat
teras di lingkup Pemerintah Kabupaten Sragen. Wakil
Sekretaris Partai Golkar Sragen, Bambang Widjo Purwanto pun mengundang dua pimpinan partai pengusung: Partai Amanat Nasional
dan Partai Persatuan Pembangunan guna “mendamaikan”
keduanya meski pertemuan itu ditepis bukan ajang rekonsiliasi. Pertemuan
bermaksud mengevaluasi
program-program yang belum terealisasi sebagaimana disampaikan dalam visi misi saat kampanye.
Dalam banyak kasus, pecah kongsi itu juga bersumber dari sikap berlebihan
bupati memahami tugas pokoknya sebagai pemimpin penyelenggaraan
pemerintahan daerah, pembuat kebijakan, pembina kepegawaian serta penanggung
jawab pengelolaan keuangan daerah tanpa melihat
posisi wakil. Dalam soal terakhir ini, kerap menimbulkan kecemburuan tak hanya wakil
bupati tetapi juga pejabat teknis bahkan hingga meresahkan
masyarakat karena nilainya puluhan bahkan ratusan juta per tahun
tanpa diimbangi dengan capaian kinerja pejabat bersangkutan.
Selain itu, dalam kasus pergantian Sekretaris Daerah (Sekda), misalnya,
konflik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil
Walikota kerap muncul. Begitu pula proses mutasi di lingkup dinas dan instansi mengabaikan kapasitas serta kepangkatan dan
cenderung mempertimbangkan aspek di luar regulasi seperti kedekatan maupun jasa
politik. Kondisi ini kerap membuat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
maupun Walikota/Wakil Walikota berada di simpang jalan dan terpenjara dalam
pilihan sulit. Karena itu dalam pelaksanaan dipastikan berpotensi melemahkan
semangat kerja para pejabat/pegawai di lingkungan dinas tempat tugasnya.
Pemimpin Rakyat
Lembata adalah
kabupaten yang terbentuk berdasarkan UU Nomor 52 Tahun 1999 dan disahkan Presiden BJ Habibie di Jakarta pada 4 Oktober
1999. Kemudian tercatat dalam Lembaran Negara RI Nomor 180 Tahun 1999.
Pembentukan Lembata sebagai sebuah daerah otonom menjadi kerinduan puluhan
tahun para tokoh dan masyarakat atas beberapa pertimbangan. Pertama, adanya
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat dipandang perlu untuk meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan
kemasyarakatan guna menjamin perkembangan dan kemajuan dimaksud pada masa
mendatang.
Kedua,
sehubungan dengan hal tersebut di atas dan memperhatikan perkembangan jumlah
penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, sosial budaya, sosial politik, dan
meningkatnya beban tugas serta volume kerja di bidang pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Flores
Timur, dipandang perlu membentuk Kabupaten Lembata sebagai pemekaran Kabupaten
Flores Timur. Ketiga, pembentukan
Kabupaten Lembata akan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam
pemanfaatan potensi daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Masyarakat
Lembata tentu berharap pecah kongsi politik tak
boleh terjadi dan sejauh mungkin dihindari Bupati dan Wakil Bupati. Keduanya diharapkan memahami diri
sebagai pemimpin rakyat yang mesti berjuang keras bersama rakyat mengejar berbagai ketertinggalan yang masih melilit daerah itu. Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam politik adalah konsistensi.
Dalam bahasa Direktur Social Development Center, Thomas Koten, konsistensi politik merupakan perekat tetap terbangunnya kepercayaan rakyat
terhadap para politisi. Sebab, di situ pula letak kematangan dan kedewasaan.
Rakyat tidak suka dengan sikap kekanak-kanakan dalam politik alias infantilisme
politik. Bagaimana mungkin rakyat mempertaruhkan kepercayaan politiknya kepada
politisi-politisi yang dilekati perilaku kekanak-kanakan alias infantil? Inilah
persoalan penting yang mesti direfleksikan secara terus-menerus dalam
berpolitik.
Oleh Ansel Deri
Sumber:
Pos Kupang, 30 Mei 212