Kamis, 31 Mei 2012

Anak kampung Kluang, Lembata; Tim Perumus Buku ‘Tiga Tahun Pemerintahan SBY-JK’ tahun 2007


Politisi senior Lembata Hyasinthus Tibang Burin, membantah keretakan hubungan antara Bupati Eliaser Yentji Sunur dan Wakil Bupati Viktor Mado Watun. Dalam situs www.rallypelangi.com, 15 Mei  2012, Sinthus membantah isu keretakan yang selama ini berhembus kencang hingga ke masyarakat. Ia menduga, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha membesar-besarkan hal-hal yang kecil.

Sinthus tentu punya kapasitas menepis isu keretakan “pengantin politik” yang belum genap setahun mengemban mandat rakyat Lembata sejak dilantik pada 25 Agustus 2011. Keduanya dituntut melaksanakan mandat rakyat hingga 2016. Di lain pihak, sangat rasional ia tampil di garda depan mengklarifikasi pertanyaan jurnalis media on-line itu terkait isu keretakan keduanya yang telanjur masuk gendang telinga masyarakat Lembata. Mengapa? Jawabanya, ia adalah pucuk pimpinan partai pengusung.

Fenonema pecah kongsi politik dalam duet kepemimpinan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota, bukan hal baru. Misalnya, keretakan hubungan Gubernur DKI Fauzi Bowo dan Wakil Gubernur Prijanto yang terjadi beberapa waktu lalu. Prijanto mengungkapkan isi hatinya dalam buku Kenapa Saya Mundur yang ia tulis sendiri. ”Orang yang saya bantu tidak pernah ngajak ngomong.” Padahal, sejak menjadi Wakil Gubernur, ia berkeinginan membangun Jakarta bersama Fauzi Bowo hingga dua periode masa jabatan. Namun, hingga empat tahun berselang, ia mengaku tidak pernah diikutsertakan dalam memimpin Ibu Kota. “Saya telepon, (Fauzi) tidak pernah membalas. Saya sms tidak pernah direspon, pengaturan tugas tidak jelas. Semua itu saya rasakan.” Kesimpulan Prijanto, Fauzi Bowo sudah tidak memerlukan tenaganya.

Kasus yang pernah mencuat adalah kongsi politik Bupati Kabupaten Garut, Jawa Barat, Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Raden Dicky Chandranegara alias Dicky Chandra. Pasangan yang memenangkan pilkada jalur independen ini, pecah kongsi di tengah jalan. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi akhirnya merestui pengunduran diri Dicky Chandra. Keduanya tak sepaham dan sejalan dalam pengambilan sejumlah kebijakan strategis dan politis bagi akselerasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Pembagian Tugas
Pecah kongsi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota kerap lahir akibat distribusi tugas pokok dan fungsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Bukan tidak mungkin, dalam prakteknya kerapkali ada Wakil Gubernur, Wakil Bupati maupun Wakil Walikota “mengeluh” karena hanya dijadikan “ban serep”. Padahal, jika merujuk UU tersebut diuraikan secara jelas tugas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.

Pasal 26 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan, wakil kepala daerah mempunyai tugas (a) membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; (b) membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; (c) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota bagi wakil kepala daerah provinsi; (d), memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; (e) memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; (f) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan (g) melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. Sedangkan dalam Ayat 2 disebutkan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Seolah-olah jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati maupun Wakil Walikota tidak difungsikan dan kurang bermanfaat, tidak efektif dan efisien. Ini terutama nampak dalam pengambilan-pengambilan kebijakan strategis yang banyak diambil porsinya, Wakil Gubernur, Wakil Bupati maupun Wakil Walikota hanya bisa memberi saran dan membantu melaksanakan tugas-tugas atau mewakili Gubernur, Bupati maupun Walikota bila berhalangan. Kadang juga porsinya “diserobot” sehingga membuat mereka lebih banyak “mengganggur” menunggu perintah. Padahal, harus diakui ia tentu memiliki kemampuan atau kapabilitas, namun perannya tergantung good will Gubernur, Bupati maupun Walikota.

Fenomena ini pernah menerpa Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Bupati Agus Facthur Rahman dan Wakil Bupati Daryanto pecah kongsi gara-gara masalah pembagian atau pendelegasian tugas dan wewenang. Buntutnya, Daryatmo tidak hadir dalam pelantikan 400 pejabat teras di lingkup Pemerintah Kabupaten Sragen. Wakil Sekretaris Partai Golkar Sragen, Bambang Widjo Purwanto pun mengundang dua pimpinan partai pengusung: Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan guna “mendamaikan” keduanya meski pertemuan itu ditepis bukan ajang rekonsiliasi. Pertemuan bermaksud mengevaluasi program-program yang belum terealisasi sebagaimana disampaikan dalam visi misi saat kampanye.

Dalam banyak kasus, pecah kongsi itu juga bersumber dari sikap berlebihan bupati memahami tugas pokoknya sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, pembuat kebijakan, pembina kepegawaian serta penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah tanpa melihat posisi wakil. Dalam soal terakhir ini, kerap menimbulkan kecemburuan tak hanya wakil bupati tetapi juga pejabat teknis bahkan hingga meresahkan masyarakat karena nilainya puluhan bahkan ratusan juta per tahun tanpa diimbangi dengan capaian kinerja pejabat bersangkutan.

Selain itu, dalam kasus pergantian Sekretaris Daerah (Sekda), misalnya, konflik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota kerap muncul. Begitu pula proses mutasi di lingkup dinas dan instansi mengabaikan kapasitas serta kepangkatan dan cenderung mempertimbangkan aspek di luar regulasi seperti kedekatan maupun jasa politik. Kondisi ini kerap membuat Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikota berada di simpang jalan dan terpenjara dalam pilihan sulit. Karena itu dalam pelaksanaan dipastikan berpotensi melemahkan semangat kerja para pejabat/pegawai di lingkungan dinas tempat tugasnya.
Pemimpin Rakyat
Lembata adalah kabupaten yang terbentuk berdasarkan UU Nomor 52 Tahun 1999 dan disahkan Presiden BJ Habibie di Jakarta pada 4 Oktober 1999. Kemudian tercatat dalam Lembaran Negara RI Nomor 180 Tahun 1999. Pembentukan Lembata sebagai sebuah daerah otonom menjadi kerinduan puluhan tahun para tokoh dan masyarakat atas beberapa pertimbangan. Pertama, adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat dipandang perlu untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan guna menjamin perkembangan dan kemajuan dimaksud pada masa mendatang.

Kedua, sehubungan dengan hal tersebut di atas dan memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, sosial budaya, sosial politik, dan meningkatnya beban tugas serta volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan di Kabupaten Flores Timur, dipandang perlu membentuk Kabupaten Lembata sebagai pemekaran Kabupaten Flores Timur. Ketiga, pembentukan Kabupaten Lembata akan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Masyarakat Lembata tentu berharap pecah kongsi politik tak boleh terjadi dan sejauh mungkin dihindari Bupati dan Wakil Bupati. Keduanya diharapkan memahami diri sebagai pemimpin rakyat yang mesti berjuang keras bersama rakyat mengejar berbagai ketertinggalan yang masih melilit daerah itu. Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam politik adalah konsistensi.

Dalam bahasa Direktur Social Development Center, Thomas Koten, konsistensi politik merupakan perekat tetap terbangunnya kepercayaan rakyat terhadap para politisi. Sebab, di situ pula letak kematangan dan kedewasaan. Rakyat tidak suka dengan sikap kekanak-kanakan dalam politik alias infantilisme politik. Bagaimana mungkin rakyat mempertaruhkan kepercayaan politiknya kepada politisi-politisi yang dilekati perilaku kekanak-kanakan alias infantil? Inilah persoalan penting yang mesti direfleksikan secara terus-menerus dalam berpolitik.
Oleh Ansel Deri
Sumber: Pos Kupang, 30 Mei 212