Jumat, 24 Februari 2012

Si Pencari Makna Mencari Makna

Pagi yang malang, manakala hujan masih menimpa bumi. Jalanan masih tak lekang dari titik-titik hujan yang terus menjejal. Si pencari makna mengenderai motor beranjak. Ia menembus tirai-tirai hujan dengan yakin. Terus memacu semangat ingin mencari sesuatu. Ia sendang belajar. Ia belajar berjalan. Ia belajar mencari. Ia belajar menemukan yang terbaik bagi masa depannya.
    Bahkan ia belum tahu akan jadi seperti apa. Yang terpenting baginya saat ini adalah ia pergi. Ia pergi bertemu dengan seseorang. Seseorang yang lebih dulu berpikir matang. Ia lebih dulu berpikir kritis.
Apakah si pencari makna yang telat menangkap? Atau telat berpikir? Ataukah sedikit malas?
    Tidak! Bantah si pencari makna penuh yakin. Kami hanya hidup di generasi yang berbeda. Kami hanya mengambil kesempatan di waktu yang berbeda. Maka tidak salah bila si pencari makna datang menjemput. Si pencari makna merasa wajib untuk mencuri. Mencuri pada generasi yang telah mendahuluinya. Mencuri ilmu dalam khasanah berbagi.
    Dunia itu memang sedikit terkesan baru. Terkesan asing di telinga sang pencari makna. Tapi itulah kenyataanya. Mencari bukan berarti harus mengetahui sebelumnya. Bisa berangkat dari ketiadaan untuk menemukan sesuatu. Tetapi bisa kedua-duanya. Mencari karena belum mengatahui dan mencari karena telah sedikit mencicipi dan itu ternyata terasa enak. Tentu juga berkhasiat untuk kesehatan raga dan pikiran. Itulah dua kenyataannya.
    Pikiran yang dewasa untuk memenangkan makna yang lebih dalam. Yang lebih tajam dari sekedar bisa memotong. Melampaui hal-hal yang tampak pada panca indra. Dan itulah yang terkadang terlupakan. Orang terlalu asyik pada yang tampak sampai lupa untuk mencari apa yang berada di baliknya.
    Sesuatu itu bahkan telah terbingkai sejaka lama. Berada dalam kemasan pemikiran para generasi pendahulu. Mereka telah memberinya label “tabu” untuk dibicarakan. Tapi kenyataan bahwa ketika itu diklaim dalam tataran itu, banyak gerenasi yang berusaha menyibaknya tanpa sepengetahuan para genersi pendahulu. Mereka hanya bisa menyaksikan bahwa itulah hasilnya. Menurut hukum adat, hukum Tuhan, dan hukum itu hal terlarang. Tapi tak tahu alasan mengapa itu dilarang. Penelurusan untuk sampai alansan mengapa ada hasil terasa tabu untuk dibicarakan. Itulah yang ingin dicari sang pencari makna.
    Ya, seperti itulah bila hendak dikatakan terus terang. Seks memang masih diklaim sebagai urusan tabu untuk dibicarakan di depan umum. Tetapi hal ini telah meraja di hati dan pikiran khalayak. Sitiap orang ingin mencari dan menemukan apa yang akan terjadi bila mengetahuinya atau bahkan mencicipinya.
    Cicipan itu mendatangkan rasa. Rasa menuntut pemenuhan. Pemenuhan sekali menuntut pemenuhan berikut. Dan begitulah runutannya. Sampai-sampai ada yang meningininya terus menerus. Maka hasil ataupun usaha meniadakan hasil pun akhirnya menjadi teman akrabnya. Teman yang sering berjalan bersama. Tinggal menjatuhkan pilihan. Sekali lagi rasa suka-suka bergulir. Pelanggaran dan keindahan pun menjadi efek kontinyu yang harus ditanggung.
    Pencarian ini tentu bukanlah yang terkahir. Berjalan terus sampai titik yang tidak menentu harus terus dipacu. Di manakah harus diletakkan titik itu? Tidak tahu! Yang paling terpenting adalah si pencari makna tidak merasa lelah. Si pencari makna tidak cepat berpuas diri dengan apa yang telah diperoleh hari ini. Ia harus berlangkah terus. Menelusuri lorong-lorong makna yang lebih jauh meski tampak terjal. Atau tidak menjanjikan. Tetapi itulah adanya. Harus terus melangkah.
Kebun Jeruk, 26 Februari 2012


Melawan untuk Bahagia

Kisah itu telah beralalu
Manakala terasa tinggal sendiri
Tanpa sebab
Tanpa kawan
Tanpa lawan
Meski harus melawan
Diri sendiri, teman, kenalan, sosialitas
Dan lingkungan

Tatapi perlawan itu telah pergi
Kini tinggal kenangan
Dan aku merasa lebih ada
Lebih berwaibawa sebagai manusia
Sebagai ibu

Ibu tanpa suami
Ibu yang melangkah dengan bangga
Karena telah berhasil melawan diri sendiri
Teman, lingkungan dan waktu
Aku bahagia untuk itu

Kebun Jeruk, 26 Februari 2012

Jumat, 10 Februari 2012

Syukuri Pesona yang Kian Terancam




Kuterawangi waktu yang terbeber di hadapanku. Kurenungi kisah di jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun yang beranjak pergi. Kudapati diriku masih berlangkah hingga detik ini. Ironi memang. Aku terangkai dalam waktu dan ruang. Aku berlangkah maju, terkadang sedikit mundur, dan akhirnya maju lagi hingga merengkuh ditik ini. Semua itu kujalani terkadang dengan sadar dan atau tanpa sadar.
        Terkadang aku terkesima ketika membayangkan bahwa kemarin aku makan dan hari ini aku kembali makan dalam derap yang telah berbeda. Aku melewati sehari. Artinya masa laluku bertambah sehari, masa depanku berkuarang sehari, dan usiaku bertambah sehari.
        Kupandangi sekucur tubuhku yang telah lekang dimakan waktu. Urat-urat rambutku tampak berubah warna. Lipatan-lipatan ‘tanah’ pada wajah kian bergelombang. Barisan penghacur makanan tampak miring ke kiri dan ke kanan. Ah, bahkan ada yang memilih gugur meninggalkan tempatnya. Penopang tubuh rentan pada persendiannya. Rasanya tak sanggup tegap, rupanya sulit ditekuk. Aku benar-benar bingung merenungi diriku.
        Kupertanyakan apa maskud semua ini? Apakah aku salah sarapan pagi tadi? Atau aku terlalu bernafasu ketika melahap isi daging B2 di lapak kemarin siang? Seingatku.....tidak separah itu. Kemarin aku cuman mampir sebentar, menikmati makanan ala kadarnya lalu aku pulang ke rumah. Persinggahan itu pun sebenarnya di luar dugaanku. Hanya anakku yang kucintai itu yang mengajakku ke sana. Katanya ya....mumpung ada waktu makan bersama.
        Mengapa tidak? Semenjak dulu telah kuperah tenagaku buat mencari penjamin masa depannya. Masih terngiang benakku, aku rela bersilang lidah bersama istriku tercinta, yang kupacari dulu ketika aku masih di Seminari karena kami kekurangan dana buat uang kuliah Desy. Ya, itu memang terjadi. Tetapi aku tak mau memperpanjang persilangan itu lagi, bahkan tak pernah mau mengingat-ingat itu lagi. Yang terpenting adalah bagaimana aku hari ini?
        Kutemukan diriku berdiri di sini, Sabtu, 2 Februari 2012, menghadiri sebuah upacara yang kulakoni hampir setip pagi di masa mudaku. Sebanarnya kumerasa cukup dengan itu semua. Tapi semenjak bangun pagi tadi, bahkan semenjak minggu yang lalu, Merry merajut-rajut agar aku bisa hadir di tempat ini. Memang aku kebingungan melihat tingah Merry waktu itu.
        Kupandangi dia dengan tatapan menyelidik. Berkata dalam hati mungkin lebih baik agar Merry tak menyayangkan pikiran yang sedikit kotor ini. Merry, tak usahlah merajut seperti dulu lagi. Tidak sadarkah kamu di depan cermin sehabis mandi? Rambutmu itu telah berubah warna. Bahkan telah berkurang kesuburannya. Tidak seperti dulu lagi, ketika aku bisa membelai-bealinya penuh bangga, bagai pabrikan team kreatif iklan Sunslik tanyangan RCTI itu. Tubuhmu pun kian kurus. Lekukaknnya tak tampak lagi.
Meery, kamu tampak biasa saja di hadapanku. Tidak menggetarkan seperti perjumpaan tatapan pertama kita di ruang Bina Iman Anak waktu itu. Lekukanmu telah habis. Jika hendak jujur, tak ada lagi yang menarik darimu. Tapi biarlah. Kurasa bahwa bukan itu yang menuntun kita untuk sampai ke detik ini. Tapi kisah hati yang saling menyapa ketika awal perjumpaan kita itu yang menuntun kita sampai ke sini.
Sekarang aku masih bisa merasakan, bersanding bersamamu di gedung ini, Gereja St Matias Cinere. Katamu letaknya tak begitu jauh ketika kita hendak berangkat pagi tadi. Meski dalam perjalanan aku harus menahan amarah karena satu setengah jam berlalu di jalanan.
         Saat ini kita duduk sambil berpangku tangan, menyaksikan orang tua itu yang sedang komat-kamit di mimbar. Tampangnya memang sudah lanjut juga. Tidak menarik lagi adalah sebuah kepastian tak terbantah. Ya, si Mgr Consmas Michael Angkur itu memang tidak tampan lagi.
        Tapi sejauh pendengaranku, ia mengatakan sesuatu yang penting. Katanya, “Para lansia ini bukanlah besi tua yang harus dilupakan, tetapi mereka masih berguna bagi Gereja. Mereka patut menghaturkan syukur karena bisa mencapai perjalanan sejauh ini.”
        Yah, itu pasti. Jalan yang aku retas bersama Merry sangat panjang. Semenjak sandingan kami diresmikan 35 tahun silam itu, kami terus berlangkah walau kadang aku lupa menengok bayangan. Atau, bahkan aku lupa menyaksikan Merry sementara melankah di sampingku.
        Sauaranya menukit masuk telingaku lagi, “Seperti Simeon dan Hanna yang berseru, Ya Tuhan, biarlah hamba-Mu ini berpulang karena telah menyaksikan keselatang yang datang dari-Mu, para lansia pun harus bisa berseru, Ya Tuhan, biarlah aku berpulang ke hadapan-Mu karena aku telah beriman kepada Yesus Puteramu.”
        Wah, ini gawat. Imanku kepada Yesus sementara dipertanyakan. Apakah yang aku miliki masih kurang? Apakah aku cukup ‘bekal’ untuk berpulang ke hadapan Bapa?
        Ekor mataku melirik ke samping. Merry masih tertegun mendengar ocehan Uskup Angkur. Yah, rupanya ia menangkap sesuatu, sehingga kadang tersenyum, kadang serius, dan kadang terpaku pada tatapan kosong. Ya, apapun yang kamu peroleh, akan kita diskusikan di rumah nantinya.
        Semua ritual ini hendak berakhir. Aku berlangkah melesuri lorong bangku yang berbaris rapi dengan langkah tak setangkas dulu lagi. Merry mengikuti dari belakang. Mmmmm, aku harus rela melepas kebiasaan bergandeng mesra bersama Merry karena lorong ini hanya untuk langkah seorang.
        Oh ya....hampir lupa. Acara ini adalah HUT ke-2 Paguyuban Lansia Dekenat Utara Keuskupan Bogor. Mari kita berpulang dalam damai, sampai perjumpaan kita di tahun depan, atau di rumah Bapa, jika ada yang akan menempuh langkah seribu guna mendahului.


Kos Bambu, 08 Februari 2012
stefanus p. elu

Jumat, 03 Februari 2012

Membaca: Kegiatan Urgen dan Utama

Katanya, “Seorang wartawan adalah mediator antara berita dan para pendengar dan pembacanya. Baik-tidak dan benar-salahnya para pendengar dan pembaca terhadap sebuah berita, bergantung pada bagaiamana seorang wartawan membahasakannya”.
    Aku terhentak dari pikiran praktis atas ungkapan ini. Terkadang aku menjalani keseharianku dengan begitu saja, tanpa memikirkan kebenaran ungkapan ini. Ungkapan ini mengisyaratkan kepadaku bahwa aku sedang menempati sebuah jalur komunikasi yang sangat strategis. Para pembaca dan pendengar dapat benar-benar menangkap isi berita bila aku dapat menyampaikannya secara baik.
    Selama ini, hal seperti ini rasanya tidak disadari sama sekali oleh mereka yang mengambil profesi wartawan. Mereka hanya menjalankan tugas liputan begitu saja tanpa menentukan angel mana yang benar-banar dituju. Semua berlalu begitu saja. “Toh ada editor, biarlah ia yang akan mengurusi bahasanya. Yang penting liputan, menulis sesuatu layaknya laporan lalu diserahkan kepada editor.”
    Amat disayangkan memang. Seorang wartawan tidak benar-benar mempertimbangkan apa yang hendak ia lakukan di depan sebuah peristiwa. Seolah ia hanya berfungisi sebatas transkriptor.
    Hal inilah yang hendak diubah. Untuk mencapai kematangan menyajikan sebuah berita dengan baik, “Sebaiknya seorang wartawan tidak pernah berhenti membaca.” Kegiatan membaca sendiri sangat membantu orang untuk benar-benar kritis ketika berhadapan sebuah peristiwa.
    “Membaca dapat membantu orang untuk meningkatkan pengetahuannya. Dunia membaca memang menjadi ladang ilmu yang tak bisa tergantikan. Dan itulah yang hendak saya wariskan,” ujar Amanda Putri Witdarmono dengan wajah berseri-seri.
    Tradisi membaca perlu ditanamkan kepada diri anak-anak semenjak ia masih kecil. Dengan itu mereka akan tahu dan semakin paham apa yang hendak mereka lakukan setiap harinya. Amanda memberi contoh, seorang anak kecil umur satu tahunan, bila ia dibiasakan dengan buku, ia akan paham bagaimana ia akan membuka buku itu. Perlahan-lahan ia akan mengikuti, membuka halaman buku dari kanan ke kiri.
    Tampak memang hal yang sangat sederhana. Tetapi bila disadari dengan baik maka hal sederhana itu memang memiliki nilai edukasi yang sangat tinggi.
    Selain itu, soal tulis menulis ini adalah sebuah tradisi. Maka tradisi ini perlu diketahui dan dijaga oleh orang-orang yang mengerti benar tentang tradisi. Hanya orang-orang di sekitar perintislah yang akan tahu bagaimana hal ini akan dilajutkan. Banyak tokoh nasional maupun internasional membuktikan hal ini.
Inilah secuil cerita ketika bertemu dengan P. Witdarmono di ruang kerjanya BERANI Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
***

     Budaya membaca untuk mengolah pikiran agar kritis terhadap sesuatu tampak dalam sebuah diskusi terbuka di aula belkakang Gereja Katedral Jakarta sore harinya. Dengan bertemakan politik, setiap anggota yang hadir berusaha mengemukakan pendapat dan argumentasinya seputar persiapan dan langkah-langkah praktis bagi pemilu 2014 nanti.
    Hampir sebagian besar orang Katolik Jakarta yang tergabung dengan berbagai partai politik yang ada di Indonesia saat ini berkumpul jadi satu untuk melihat kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan dilakukan. Banyak hal disoroti, mulai dari kinerja pemerintah saat ini hingga apa bekal bagi mereka yang berencana untuk maju dalam pemilu yang akan datang nanti.
    Kegiantan yang digalang oleh Kerawam Keuskupan Agung Jakarta ini bertujuan mempersiapkan kader-kader politikus Katolik yang mampu berdaya saing dalam pemilu nanti. Memang bukan soal kita merebut kekuasaan tetapi di sana kita dapat menjadi terang dan garam bagi orang-orang di sekitar kita. Itulah niat dan bekal yang pertama-tama harus dimiliki oleh seorang calon politikus Katolik.

Kos Bambu, 02 Februari 2012
stefanus p. elu

Mimpi Nyata Di Ruang Berbeda


Untuk negeriku aku bangkit. Untuk bangsaku aku tersadar. Untuk masa depan masyarakatku aku terusik dari mimpi-mimpi panjang. Aku berbuka mata, pikiran, dan hati untuk berjuang menelusuri lorong-lorong pengetahuan. Meraih ide-ide kreatif dan pikiran-pikiran kritis dalam ruang ilmu.
    Demi ide dan pikiran kreatif  itu, aku duduk saban hari mendengarkan ceramah dosen-dosen yang kadang membosankan dan kadang menyenangkan. Aku tahu, yang namanya dosen tak pernah bisa memenuhi hasrat terdalamku.
    Demi sebuah angka hasil oretan jelek dan sungguh jelek dosenku, aku rela bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam. Apakah itu akan sia-sia? Ku yakini tidak. Aku tidak hanya memakukan pantatku pada kursi yang menyebalkan ini, tetapi aku sedang memakukan kehendakku untuk sukses?
    Apakah sesederhana itu aku mengerti uraian dan perjuangan panjang akan kesuksesan? Tidak, tandasku yakin! Aku mengukir kesuskesan di sanubariku dengan kuas kebiasaan kecil yakni mencintai “mata pada buku”. Mata pada buku harus kupautkan setiap hari untuk menyelami dan memahami arti setiap kata, frasa, kalimat, dan akhirnya dikatat dosen-dosenku yang cukup rajin meraciknya sehingga sangat tebal.
    Aku ingat, suatu hari aku lalai mendidik diri. Penat dalam pikiran cepat mengundang rasa ngantuk. Aku terpekur di hadapan buku, dan tersadar ketika waktu memanggil memasuki ruangan. Aku masuk dengan pikiran hampa, aku melangkah tanpa bekal. Di hati kecil sejumlah keraguan meringsut berkali-kali. Aku takut, aku kuatir, aku ragu.
    Benarlah demikian. Dosen yang kukagumi dengan rasa benci mengadakan sedikit test materi. Aku kelabakan, tak tahu harus berbuat apa. Kupandangi huruf dan kata-kata yang terurai rapi di hadapanku. Rupanya bukanlah “ketik dengan font Times New Roman, ukuran 12, satu setengah spasi”. Begitulah kata-kata yang tampak dari balik kumis tebal dosenku setiap kali hendak memberi tugas. Melainkan, “selesaikan pertanyaan-pertanyaan ini selama setengah jam.
    Hari itu aku benar-benar kapok. Aku tak tahu harus berkata apa pada kelalaianku semalam. Aku mengkhianati perjuangan orang tuaku yang saban hari berjuang membiayai dudukku di ruangan ini. Aku mengkhianati anak-anak negeri yang tidak dapat duduk di ruangan seperti yang kurasakan saat ini. Mungkinkan kami harus berganti posisi dan peran dengan mereka? Lebih layakkah mereka yang duduk di ruangan ini dan aku yang harus berjemur diri di ruas jalan itu sembari mengulur tangan kepada setiap mobil yang akan berhenti di lampu merah?
    Rasanya aku tak sanggup. Rasanya aku malu harus berprofesi seperti itu. Bukannya aku mengejek, tapi harus kuakui bahwa aku tak sanggup seperti itu.
    Akan kubayar mahal pengalaman hari ini. Akan kurangkai indah pengalaman ini, tentu dengan perjuangan dan usaha yang lebih tajam. Perlahan kubangun niat dan tindakan nyata sepulang dari ruangan itu.
    Akhirnya hari ini, Sabtu, 28 Januari 2012, aku berdiri tegap di rungan AC yang cukup nyaman ini. Aroma rangkaian bunga tangan-tangan kreatif menyelimuti ruangan. Aku berdiri dengan dandanan yang tidak biasanya. Aku terpaku pada langkah-langkah sejengkal, tidak seperti pagi-pagi yang lalu, harus kuperpanjang langkah kaki melebihi ukuran tinggi badanku lantaran mengejar bus menuju ruangan itu.
    Kronologi hari ini mengangkat aku menjadi seorang yang dewasa dan berhasil kreatif, paling kurang dari rungan itu. Dua sosok yang dari mereka aku dapat berdiri di sini, bergandengan mesra memasuki rungan, bersungging senyum kebahagiaan.
    Hari ini aku tampil beda ayah dan ibu. Aku berpakaian hitam, bertopi hitam, dengan garis-garis hijau dan orange di leherku. Senyum kebahagiaan berhias air mata menjadi pemandangan Anda berdua hari ini. Terima kasih Ayah! Terima kasih Ibu. Aku telah menyelesaikan masa-masa di rungan itu. Hari ini, di ruangan yang lebih luas dari biasanya, di Gedung Manggala Wanabakti Senayan, Jakarta, aku berdiri merayakan rangkuman hari-hari perjuangan di masa kemarin, tiga dan empat tahun.
    Mari bersama kita mengumandangkan nada syukur. Kita mengumandankan perjuangan baru. Kita mendendangkan karya-karya nyata.

Kos Bambu, Selasa, 31 Januari 2012
stefanus p. elu

Kamis, 02 Februari 2012

BUKU HARIAN AYAH


Ayah dan ibu telah menikah lebih 30 tahun, dan Michael sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar. Dalam hati Michael, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan baginya. Michael juga selalu berusaha keras agar dia bisa menjadi pria dan suami yang baik seperti ayahnya. Namun, harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tidak lama setelah menikah, dia dan istrinya mulai sering bertengkar hanya karena hal-hal kecil dalam rumah tangga.
Malam minggu ketika pulang ke kampung halaman, MIchael tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ayah mendengarkan segala keluhan Michael. Setelah itu beliau berdiri dan masuk ke rumah. Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan Michael. Sebagian besar halaman buku tersebut telah menguning, kelihatannya buku-buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun.
Ayah Michael tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu dia mengambil salah satu buku itu. Tulisannya adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus bebertapa halaman kertas. Michael segera tertarik dengan hal tersebut. Mulailah Michael baca halaman demi halaman buku itu dengan seksama.
Semuanya merupakan catatan hal-hal sepele, “Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untukku. Anak-anak terlalu berisik, untung ada dia.” Sedikit demi sedikit tercatat. Semua itu adalah catatan berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, cinta ibu kepada anak-anak dan keluarga. Dalam sekejap Michael sudah membaca habis beberapa buku. Arus hangat mengalir dalam hatinya. Matanya berlinang air mata. Michael mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru dia berkata pada ayah, “Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu.” Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak perlu kagum, kamum juga bisa.”
Ayah berkata lagi, “Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan? Intinya adalah harus bisa belajar saling pengertian dan toleran. Setiap orang memiliki masa emosional. Ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu itu ayah bersembunyi di depan rumah. Dalam buku catatan, ayah tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali dalam hati ayah penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya dan sampai sobek akibat tembus oleh pena. Tapi, ayah masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya. Ayah renungkan bolak-balik dan akhirnya emosi itu tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu.”
Dengan terpesona MIchael mendengarkannya. Lalu dia bertanya pada ayah, “Ayah, apakah ibu pernah melihat catatan ini?” Ayah hanya tertawa dan berkata, “Ibumu juga memiliki buku catatan. Buku catatannya berisi kebaikan diriku. Kadang kala malam hari, menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. Ha...ha...ha...” Saat memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia pernikahan, “Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan pasangan. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain.”
Inspirasi
Untuk Direnungkan : Apakah anda berencana menikah? Hidup pernikahan tidak selalu indah. Andalah yang membuatnya indah.
Apakah anda sudah menikah? Mana yang lebih banyak anda lakukan, mencatat kebaikan pasangan atau keburukannya? Pilihlah kebaikan!
Untuk Dilakukan : “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib.”
Jika anda kesulitan untuk memuji orang lain, jangan-jangan anda pun jarang sekali mendapat pujian. Lihatlah hal-hal positif atau kebaikan orang lain apa lagi pasangan kita! Karena dengan berbuat demikian maka, hubungan kita akan lebih langgeng, mengurangi prejudis, pikiran negatif yang dapat merusak hubungan dengan orang lain terlebih pasangan. Hidup ini hanya sekali kita jalani, buatlah itu indah karena bilamana keharmonisan terbentuk dalam rumah tangga! Maka itu kita akan bawah sampai ke dalam surga. Mulailah sekarang memberikan pujian, kepada pasangan kita niscaya kelak kita akan tuai hasilnya yaitu menjadi pasangan yang harmonis didunia sampai keakhirat. Tumbuhkan rasa toleransi dan pupuklah selalu komunikasi yang baik dengan demikian dunia akan tersenyum melihat anda. Memang susah dilakukan ... tapi setidaknya ... Cobalah ..

Sumber: APIK Katolik, sebuah milis evangelisasi