Jumat, 10 Februari 2012

Syukuri Pesona yang Kian Terancam




Kuterawangi waktu yang terbeber di hadapanku. Kurenungi kisah di jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun yang beranjak pergi. Kudapati diriku masih berlangkah hingga detik ini. Ironi memang. Aku terangkai dalam waktu dan ruang. Aku berlangkah maju, terkadang sedikit mundur, dan akhirnya maju lagi hingga merengkuh ditik ini. Semua itu kujalani terkadang dengan sadar dan atau tanpa sadar.
        Terkadang aku terkesima ketika membayangkan bahwa kemarin aku makan dan hari ini aku kembali makan dalam derap yang telah berbeda. Aku melewati sehari. Artinya masa laluku bertambah sehari, masa depanku berkuarang sehari, dan usiaku bertambah sehari.
        Kupandangi sekucur tubuhku yang telah lekang dimakan waktu. Urat-urat rambutku tampak berubah warna. Lipatan-lipatan ‘tanah’ pada wajah kian bergelombang. Barisan penghacur makanan tampak miring ke kiri dan ke kanan. Ah, bahkan ada yang memilih gugur meninggalkan tempatnya. Penopang tubuh rentan pada persendiannya. Rasanya tak sanggup tegap, rupanya sulit ditekuk. Aku benar-benar bingung merenungi diriku.
        Kupertanyakan apa maskud semua ini? Apakah aku salah sarapan pagi tadi? Atau aku terlalu bernafasu ketika melahap isi daging B2 di lapak kemarin siang? Seingatku.....tidak separah itu. Kemarin aku cuman mampir sebentar, menikmati makanan ala kadarnya lalu aku pulang ke rumah. Persinggahan itu pun sebenarnya di luar dugaanku. Hanya anakku yang kucintai itu yang mengajakku ke sana. Katanya ya....mumpung ada waktu makan bersama.
        Mengapa tidak? Semenjak dulu telah kuperah tenagaku buat mencari penjamin masa depannya. Masih terngiang benakku, aku rela bersilang lidah bersama istriku tercinta, yang kupacari dulu ketika aku masih di Seminari karena kami kekurangan dana buat uang kuliah Desy. Ya, itu memang terjadi. Tetapi aku tak mau memperpanjang persilangan itu lagi, bahkan tak pernah mau mengingat-ingat itu lagi. Yang terpenting adalah bagaimana aku hari ini?
        Kutemukan diriku berdiri di sini, Sabtu, 2 Februari 2012, menghadiri sebuah upacara yang kulakoni hampir setip pagi di masa mudaku. Sebanarnya kumerasa cukup dengan itu semua. Tapi semenjak bangun pagi tadi, bahkan semenjak minggu yang lalu, Merry merajut-rajut agar aku bisa hadir di tempat ini. Memang aku kebingungan melihat tingah Merry waktu itu.
        Kupandangi dia dengan tatapan menyelidik. Berkata dalam hati mungkin lebih baik agar Merry tak menyayangkan pikiran yang sedikit kotor ini. Merry, tak usahlah merajut seperti dulu lagi. Tidak sadarkah kamu di depan cermin sehabis mandi? Rambutmu itu telah berubah warna. Bahkan telah berkurang kesuburannya. Tidak seperti dulu lagi, ketika aku bisa membelai-bealinya penuh bangga, bagai pabrikan team kreatif iklan Sunslik tanyangan RCTI itu. Tubuhmu pun kian kurus. Lekukaknnya tak tampak lagi.
Meery, kamu tampak biasa saja di hadapanku. Tidak menggetarkan seperti perjumpaan tatapan pertama kita di ruang Bina Iman Anak waktu itu. Lekukanmu telah habis. Jika hendak jujur, tak ada lagi yang menarik darimu. Tapi biarlah. Kurasa bahwa bukan itu yang menuntun kita untuk sampai ke detik ini. Tapi kisah hati yang saling menyapa ketika awal perjumpaan kita itu yang menuntun kita sampai ke sini.
Sekarang aku masih bisa merasakan, bersanding bersamamu di gedung ini, Gereja St Matias Cinere. Katamu letaknya tak begitu jauh ketika kita hendak berangkat pagi tadi. Meski dalam perjalanan aku harus menahan amarah karena satu setengah jam berlalu di jalanan.
         Saat ini kita duduk sambil berpangku tangan, menyaksikan orang tua itu yang sedang komat-kamit di mimbar. Tampangnya memang sudah lanjut juga. Tidak menarik lagi adalah sebuah kepastian tak terbantah. Ya, si Mgr Consmas Michael Angkur itu memang tidak tampan lagi.
        Tapi sejauh pendengaranku, ia mengatakan sesuatu yang penting. Katanya, “Para lansia ini bukanlah besi tua yang harus dilupakan, tetapi mereka masih berguna bagi Gereja. Mereka patut menghaturkan syukur karena bisa mencapai perjalanan sejauh ini.”
        Yah, itu pasti. Jalan yang aku retas bersama Merry sangat panjang. Semenjak sandingan kami diresmikan 35 tahun silam itu, kami terus berlangkah walau kadang aku lupa menengok bayangan. Atau, bahkan aku lupa menyaksikan Merry sementara melankah di sampingku.
        Sauaranya menukit masuk telingaku lagi, “Seperti Simeon dan Hanna yang berseru, Ya Tuhan, biarlah hamba-Mu ini berpulang karena telah menyaksikan keselatang yang datang dari-Mu, para lansia pun harus bisa berseru, Ya Tuhan, biarlah aku berpulang ke hadapan-Mu karena aku telah beriman kepada Yesus Puteramu.”
        Wah, ini gawat. Imanku kepada Yesus sementara dipertanyakan. Apakah yang aku miliki masih kurang? Apakah aku cukup ‘bekal’ untuk berpulang ke hadapan Bapa?
        Ekor mataku melirik ke samping. Merry masih tertegun mendengar ocehan Uskup Angkur. Yah, rupanya ia menangkap sesuatu, sehingga kadang tersenyum, kadang serius, dan kadang terpaku pada tatapan kosong. Ya, apapun yang kamu peroleh, akan kita diskusikan di rumah nantinya.
        Semua ritual ini hendak berakhir. Aku berlangkah melesuri lorong bangku yang berbaris rapi dengan langkah tak setangkas dulu lagi. Merry mengikuti dari belakang. Mmmmm, aku harus rela melepas kebiasaan bergandeng mesra bersama Merry karena lorong ini hanya untuk langkah seorang.
        Oh ya....hampir lupa. Acara ini adalah HUT ke-2 Paguyuban Lansia Dekenat Utara Keuskupan Bogor. Mari kita berpulang dalam damai, sampai perjumpaan kita di tahun depan, atau di rumah Bapa, jika ada yang akan menempuh langkah seribu guna mendahului.


Kos Bambu, 08 Februari 2012
stefanus p. elu

Tidak ada komentar: