Jumat, 03 Februari 2012

Mimpi Nyata Di Ruang Berbeda


Untuk negeriku aku bangkit. Untuk bangsaku aku tersadar. Untuk masa depan masyarakatku aku terusik dari mimpi-mimpi panjang. Aku berbuka mata, pikiran, dan hati untuk berjuang menelusuri lorong-lorong pengetahuan. Meraih ide-ide kreatif dan pikiran-pikiran kritis dalam ruang ilmu.
    Demi ide dan pikiran kreatif  itu, aku duduk saban hari mendengarkan ceramah dosen-dosen yang kadang membosankan dan kadang menyenangkan. Aku tahu, yang namanya dosen tak pernah bisa memenuhi hasrat terdalamku.
    Demi sebuah angka hasil oretan jelek dan sungguh jelek dosenku, aku rela bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam. Apakah itu akan sia-sia? Ku yakini tidak. Aku tidak hanya memakukan pantatku pada kursi yang menyebalkan ini, tetapi aku sedang memakukan kehendakku untuk sukses?
    Apakah sesederhana itu aku mengerti uraian dan perjuangan panjang akan kesuksesan? Tidak, tandasku yakin! Aku mengukir kesuskesan di sanubariku dengan kuas kebiasaan kecil yakni mencintai “mata pada buku”. Mata pada buku harus kupautkan setiap hari untuk menyelami dan memahami arti setiap kata, frasa, kalimat, dan akhirnya dikatat dosen-dosenku yang cukup rajin meraciknya sehingga sangat tebal.
    Aku ingat, suatu hari aku lalai mendidik diri. Penat dalam pikiran cepat mengundang rasa ngantuk. Aku terpekur di hadapan buku, dan tersadar ketika waktu memanggil memasuki ruangan. Aku masuk dengan pikiran hampa, aku melangkah tanpa bekal. Di hati kecil sejumlah keraguan meringsut berkali-kali. Aku takut, aku kuatir, aku ragu.
    Benarlah demikian. Dosen yang kukagumi dengan rasa benci mengadakan sedikit test materi. Aku kelabakan, tak tahu harus berbuat apa. Kupandangi huruf dan kata-kata yang terurai rapi di hadapanku. Rupanya bukanlah “ketik dengan font Times New Roman, ukuran 12, satu setengah spasi”. Begitulah kata-kata yang tampak dari balik kumis tebal dosenku setiap kali hendak memberi tugas. Melainkan, “selesaikan pertanyaan-pertanyaan ini selama setengah jam.
    Hari itu aku benar-benar kapok. Aku tak tahu harus berkata apa pada kelalaianku semalam. Aku mengkhianati perjuangan orang tuaku yang saban hari berjuang membiayai dudukku di ruangan ini. Aku mengkhianati anak-anak negeri yang tidak dapat duduk di ruangan seperti yang kurasakan saat ini. Mungkinkan kami harus berganti posisi dan peran dengan mereka? Lebih layakkah mereka yang duduk di ruangan ini dan aku yang harus berjemur diri di ruas jalan itu sembari mengulur tangan kepada setiap mobil yang akan berhenti di lampu merah?
    Rasanya aku tak sanggup. Rasanya aku malu harus berprofesi seperti itu. Bukannya aku mengejek, tapi harus kuakui bahwa aku tak sanggup seperti itu.
    Akan kubayar mahal pengalaman hari ini. Akan kurangkai indah pengalaman ini, tentu dengan perjuangan dan usaha yang lebih tajam. Perlahan kubangun niat dan tindakan nyata sepulang dari ruangan itu.
    Akhirnya hari ini, Sabtu, 28 Januari 2012, aku berdiri tegap di rungan AC yang cukup nyaman ini. Aroma rangkaian bunga tangan-tangan kreatif menyelimuti ruangan. Aku berdiri dengan dandanan yang tidak biasanya. Aku terpaku pada langkah-langkah sejengkal, tidak seperti pagi-pagi yang lalu, harus kuperpanjang langkah kaki melebihi ukuran tinggi badanku lantaran mengejar bus menuju ruangan itu.
    Kronologi hari ini mengangkat aku menjadi seorang yang dewasa dan berhasil kreatif, paling kurang dari rungan itu. Dua sosok yang dari mereka aku dapat berdiri di sini, bergandengan mesra memasuki rungan, bersungging senyum kebahagiaan.
    Hari ini aku tampil beda ayah dan ibu. Aku berpakaian hitam, bertopi hitam, dengan garis-garis hijau dan orange di leherku. Senyum kebahagiaan berhias air mata menjadi pemandangan Anda berdua hari ini. Terima kasih Ayah! Terima kasih Ibu. Aku telah menyelesaikan masa-masa di rungan itu. Hari ini, di ruangan yang lebih luas dari biasanya, di Gedung Manggala Wanabakti Senayan, Jakarta, aku berdiri merayakan rangkuman hari-hari perjuangan di masa kemarin, tiga dan empat tahun.
    Mari bersama kita mengumandangkan nada syukur. Kita mengumandankan perjuangan baru. Kita mendendangkan karya-karya nyata.

Kos Bambu, Selasa, 31 Januari 2012
stefanus p. elu

Tidak ada komentar: