Rabu, 23 Februari 2011

HUKUM DALAM PERSPEKTIF AUSTIN DAN HART

Pengantar
Setelah mengikuti kuliah selama kurang lebih satu semester tentang filsafat hukum, khusus membahas pandangan Austin dan Hart soal pendekatan mereka terhadap hukum , saya tertarik untuk mendalami lebih lanjut pandangan kedua tokoh tersebut. Secara khusus, melalui tulisan singkat ini saya mau mengemukakan pemahaman atau pengertian saya mengenai pendekatan hukum yang dikemukakan oleh kedua tokoh ini. Pertama-tama saya kemukakan pandangan atau model pendekatan hukum yang dikemukakan oleh Austin, kemudian bagaimana tanggapan Hart mengenai konsep hukum yang dikemukakan oleh Austin ini. Lalu pada bagian berikut, saya mengemukakan pandangan Hart sendiri tentang hukum dan bagaimana Joseph Raz mengajukan kritik atas pandangan Hart ini. Pada bagian akhir saya juga sedikit mengemukakan pandangan saya sendiri atas dua model pendekatan ini dan segi manakah dari hukum itu sendiri yang sebenarnya menjadi titik fokus saya sendiri.
A. Konsep Hukum dalam Perspektif John Austin
1. Latar Belakang Pemikiran Austin
Teori hukum positif yang dikemukakan oleh Austin ini diperkirakan diinspirasi oleh pendekatan positif Kaisar Justinianus I terhadap hokum. Kaisar Justinianus I adalah seorang kaisar yang memerintah kekaisaran Romawi pada 527-565 M. kaisar ini menjadi terkenal oleh karena kemampuannya mensistemtisasi hokum Romawi dalam dua tahap, yakni: Codex Iustinianum I (528 M) dan Codex Iustinianum II (534 M).
Kaisar Justinianus adalah seorang kaisar yang sangat cerdas, lebih dari penguasa-penguasa Romawi lain pada masa itu. Dalam sejarah hokum, Codex Iustinianum diterima sebagai cikal bakal dari berbagai kitab hokum. Berkaitan dengan konsep hokum, ia terkenal dengan sbuah ungkapannya demikian: apa yang menyenangkan Pangeran memiliki kekuatan hokum. Artinya, hokum adalah apa yang dikehendaki oleh penguasa politik. Dengan kata lain, sebuah peraturan memiliki kekuatan hokum apabila merupakan pengungkapan atau sesuai dengan keinginan penguasa yang berdaulat.
Dalam terminology modern, apapun yang diberikan oleh badan pembuat hokum dengan sendirinya harus dapat diterima sebagai hokum universal yang berlaku dalam masyarrakat, menjangkau setiap orang tanpa kecuali. Tesis inilah yang menjadi pegangan bagi para penganut positivisme hukum modern. Dalam semangat dan iklim positivism inilah John Austin memperkenalkan teori hukumnya. Maka, dapat diperkirakan bahwa dasar pemikiran Kaisar Justinianum inilah yang menjadi latar belakang pemikiran John Austin tentang positivisme hukum.
2. Dua Dimensi Hukum
John Austin adalah seorang alhi filsafat hukum Inggris. John Austin secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokok John Austin tentang positivisme hokum ini tertuang dalam bukunya yang berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Austin menjelaskan bahwa filsafat hukum memiliki dua tugas penting yang berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni: yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif.
Pada dimensi yurisprudensi analitis, tugas filsafat hokum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hokum dan struktur hokum sebagaimana adanya. Misalnya, ketika kita mengajukan pertanyaan tentang apa itu hukum, pertanyaan ini meruapakan salah satu canto perntanyaan-pertanyaan khas yang diajukan oleh para pemikir hokum sebagai titik tolak untuk menganalisis kemudian mencoba memahami konsep dasar tersebut.
Pada dimensi yurisprudensi normatif, tugas filsafat hokum adalah berusaha mengevaluasi atayu mengkritik hokum dengan titik berangkat adalah konsep hukum sebagaimana seharusnya. Contoh pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan pada bagian ini adalah alasan hukum disebut hukum, mengapa kita mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum, manakah basis faliditas hukum, dan lain-lain sebagainya. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini dimensi yang kedua ini menyangkut dimensi ideal dari hukum itu sendiri.
3. Hukum sebagai Komando (Law is Command of a Sovereign)
Menurut Austin, hukum harus dipahami sebagai ‘komando.’ Hukum selalu merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando (laws are commands). Hukum selalu berwatak komando. Dengan demikian, menurut Austin, yang menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority). Atau, Austin menyebutnya sebagai sovereign: penguasa yang berdaulat atas warganya. Otoritas ini berfungsi mengatur perilaku setiap anggota masyarakatnya. Pemegang otoritas tertinggi ini bisa saja oleh sekelompok orang maupun hanya satu orang. Syarat bagi pemegang otoritas tertinggi ini antara lain: pertama, pemegang otoritas ini haruslah seorang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa kecuali. Kedua, pemegang otoritas ini (baik satu orang maupun sekelompok orang) tidak patuh kepada siapapun. Artinya, pemegang otoritas ini adalah penguasa mutlak, menguasai semua, tidak berada di bawah penguasa lain. Dia adalah penguasa tertinggi.
Berangkat dari pemikiran Austin ini, kita dapat melihat bahwa yang menjadi sumber hokum adalah penguasa tertinggi tersebut yang de facto dipatuhi oleh semua warga atau anggota masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Ia tidak tunduk kepada siapapun. Dengan demikian, perintah (hukum) merupakan imperatif dari penguasa. Di sini, Austin berusaha mempertanggungjawabkan validitas hokum dengan merujuk pada ‘asal usul’ atau ‘sumber’ yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum.
Lebih lanjut, Austin mengatakan bahwa hokum harus dipahami dalam arti komando karena hokum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih: apakah mematuhi atau tidak mematuhi. Hokum bersifat non-optional. Arinya, perintah yang keluarkan oleh sovereign harus ditaati oleh semua warganya tanpa kecuali dan tanpa pilihan. Dengan pemikiran seperti ini Austin mau menegaskan bahwa hokum bukanlah setumpuk peraturan atau nasihat moral. Jika hukum hanyalah setumpuk peraturan atau nasihat moral, maka hukum tidak memiliki implikasi hukuman apapun. Ketika hokum tidak lagi dapat dipakasakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hokum, maka hokum tidak lagi dapat disebut hokum. Hukum kehilangan esensinya sebagai komando. Maka, kepatuhan pada hokum adalah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar.
Hal lain yang patut menjadi tekanan penting di sini adalah bahwa hokum tidak hanya bersifat komando saja tetapi dibarengi dengan sanksi bagi yang tidak mentaatinya. Konamdo dari sovereign diafirmasi dengan sanksi. Austin menjelaskan bahwa ketika kita menyebut perintah sebagai hokum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan mealalui sanksi hokum adalah absurd. Hokum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat control terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal fungsi utama dari hokum adalah mengontrol perilaku masyarakat.
Hokum sebagai komando dalam perspektif Austin ini memuat dua elemen dasar, yakni: pertama, hokum sebagai komando mengandung pentingnya keinginan, yaitu keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja, semua keinginan tidak mempunyai kekuatan sebagai hukum. Austin memberi canto: jika saya ingin makan, keinginan seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai sebuah hokum. Karena itu keinginan dalam arti hokum memiliki kekhususan, yakni pihak yang terekena hokum harus menanggung akibat yang tidak menyenagkan atau membahayakan dari yang lain apabila memenuhi hokum yang berlaku.
Dengan demikian hokum dalam arti komando mengungkapkan keinginan penguasa. Pada dasarnya memuat pula ancaman hukuman bagi siapapun yang berada di bawah hokum yang berlaku. Kedua, bahwa hokum memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang menyenangkan atau bahkan mengancam subjek yang melanggarnya. Setiap orang yang menjadi sasaran atau tujuan dari komando tersebut dengan sendirinya terikat, wajib berada di bawah keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dikomandokan. Kegagalan memenuhi komando akan berakibat buruk atau secara pasti akan mendatangkan sanksi bagi subjek yang terkena komando.
Dari pandangan Austin ini jelas bahwa dalam teori hokum sebagai komando terdapat relasi tak terpisahkan atara komando dan hukuman, yang memperlihatkan adanya kewajiban yang tak terelakkan pada pihak yang diatur oleh hokum. Di sini tampak bahwa situasi komando merefleksikan relasi antara yang superior dan inferior, di mana yang superior memiliki kedaulatan mutlak terhadap yang inferior. Bahkan semua hokum yang berasal dari penguasa yang superior ini dipandang oleh Austin sebagai kebnaran niscaya, karenanya tidak memerlukan tanggapan, apabila ada unsure-unsur kebenaran yang dikemukakan oleh pihak bawahan. Selain itu, penguasa dengan sendirinya berada di luar hokum, dia tidak terkena hokum. Karena jika dia sendiri berada dalam hokum dalam arti bahwa masih memiliki kewajiban untuk mentaati suatu hokum, sekalipun hokum itu dikeluarkan olehnya, maka dia bukanlah sovereign. Dengan pandangan seperti ini, Austin manarik satu garis pemisah yang tegas antara penguasa dan rakyat biasa dan mendasarkan validitas keseluruhan hokum pada kenyataan faktual empiris kedaulatan seorang penguasa.
4. Kritik Atas Konsep Hukum Austin
Ada beberapa tokoh pemikir hukum yang dengan serius mengkritik pemikiran Austin ini. Mereka adalah Hans Kelsen, Lon L. Fuller, dan H. L. A. Hart. Namun, di sini saya hanya akan membahas kritik yang dikemukakan oleh Hart atas pemikiran hukum sebagai komando tersebut. Hart mengatakan bahwa kesulitan Austin pertama-tama terletak pada pandangan Austin yagn melihat hokum sebagai emanasi atau jelmaan dari penguasa absolut. Berdasarkan pandangannya ini Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori komando Austin demikian.
Pertama, Hart mengatakan bahwa hokum harus memiliki keberlansungan hokum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu. Hokum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal continuity). Jika hukum diasalkan hanya pada person tertentu, dalam hal ini penguasa absolut, maka akan menimbulkan kekosongan hukum ketika yang bersangkutan meinggal dunia. Artinya, ketika sovereign yang mengeluarkan perintah meninggal dunia maka di situ timbul ambiguitas, apakah perintah yang pernah ia keluarkan masih tetap berlaku atau tidak.
Kedua, menurut Hart hokum seharusnya berlaku bagi segenap anggota masyarakat, termasuk penguasa, tanpa kecuali. Jika hokum dilihat sebagai emanasi keinginan penguasa, maka di sini tidak ada kepastian apakah penguasa sendiri tunduk pada hokum yang berlaku atau tidak. Teori kedaulatan Austin tidak tegas dalam membuka kemungkinan bagi penguasa untuk tunduk pada hokum buatannya sendiri. Dengan demikian, teori kedaulatan Austin ini menciptakan problem of self-limitation, karena tidak mudah seorang penguasa memrintahkan atau membatasi apalagi menghukum dirinya sendiri. Teori kedaulatan Austin ini secara tidak langsung membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa. Penguasa dapat menjalankan hokum sesuai dengan keinginan pribadi atau untuk menjunjung tinggi ideology pribadinya.
Ketiga, Austin gagal membedakan dengan tepat konsep “berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan.” Hart mengemukakan kritik ini dengan mengacu pada kasus penodongan yang diajukan Austin sebagai ilustrasi teorinya. Hart mengatakan bahwa dalam situasi tertodong, orang tersebut berada dalam situasi paksaan (being obliged atau being forced) untuk menyerahkan uang yang dia punyai agar dia tidak kehilangan nyawanya. Akan tetapi, tidak masuk akal untuk menatakan bahwa dalam kasus seperti ini orang tersebut mempunyai kewajiban (under a duty) untuk menyerahkan uangnya. Menurut Hart yang tepat adalah bahwa dalam situasi ini orang tersebut terpaksa – dan bukan mempunyai kewajiban atau beeada di bawah kewajiban – untuk menyerahkan uangnya. Tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being obliged atau being forced) adalah dua hal yang sangat berbeda.
Kritik lain dari Hart juga adalah bahwa konsep hokum yang dikemukakan oleh Austin ini sifatnya terlalu sederhana dan tidak mampu menjelaskan realitas zaman modern. Dalam sistem liberal-demokratis (adanya parlemen) apakah model pemerintahannya sama dengan sovereign? Karena dari teori Austin ini terlihat jelas bahwa pembuat hokum atau sovereign ini berada di luar hokum. Hal ini tidak cocok untuk zaman sekarang.
B. Konsep Hukum dalam Perspektif Hart
Bertolak dari kritiknya atas teori hokum Austin di atas, Hart membangun teorinya dengan mengasalkan validitas hukum pada sistem hukum itu sendiri. Teori hukum Hart ini dituangkan dalam bukunya, The Concept of Law (1972). Dalam bukunya ini Hart membangun sistem hokum yang memungkinkan tertentu dapt dipertanggungjawabkan secara hokum pula. Kerena itu, Hart berpendapat bahwa hokum pertama-tama harus dipahami sebagai sistem peraturan. Dalam kaitan dengan ini Hart membedakan peraturan menjadi dua macam yakni peraturan primer dan peraturan sekunder.
1. Peraturan Primer
Hart menilai bahwa dalam dunia non-legal atau dunia yang belum mengenal hokum terdapat berbagai patologi sosial. Hal ini mengingatkan kita akan apa yang oleh Thomas Hobbes menyebutnya sebagai homo homini lupus. Hobbes mengatakan bahwa homo homini lupus tersebut merupakan state of nature masyarakat manusia dan yang pada akhirnya mendorong mereka untuk membentuk Negara sebagai bentuk kontrak sosial.
Secara umum, masyarakat prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Struktur sosial yang mengatur perilaku masyarakan prahukum inilah yang oleh Hart disebutnya sebagai “peraturan primer” atau tepatnya “peraturan kewajiban primer.” Peraturan primer ini kurang lebih sama dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya demikian karena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang menjadi panduan perilaku manusia.
Lebih lanjut Hart menjelaskan bahwa peraturan primer tersebut hanya bisa efektif mengatur tatatertib sosial apabila: a) membuat pembatasan terhadap kekerasan, pencurian dan penipuan; b) mendapat dukungan mayorita; dan c) masyarakatnya relatif memiliki keterikatan primordial (misalnya ikatan darah, perasaan dan keyakinan). Akan tetapi, meskipun peraturan primer telah memenuhi syarat-syarat tersebut, peraturan primer belum tentu berlaku efektif seperti halnya hokum. Alasannya, peraturan primer bukanlah sistem hukum, melainkan sejumlah standar umum yang terpisah satu sama lain. Problem ini menjadi semakin serius terutama dalam masyarakat modern yang memang pluralistik dan kompleks. Meskipun berfungsi sebagai truktur sosial, peraturan primer memiliki beberapa kelemahan mendasar, yakni:
• Dalam peraturan primer tidak ada lembaga atau otoritas resmi yang berfungsi melakukan penilaian dan menyelesaikan konflik. Akibatnya terjadi ketidakpastian dalam pelaksanaan peraturan primer.
• Peraturan primer bersifat statis. Bila terjadi perubahan, maka perubahan itu berjalan begitu lamban sehingga tidak cukup responsit terhadap perkembangan masyarakat. Karena dalam skemanya, masih dibutuhkan proses dimana peraturan itu harus menjadi kebiasaan terlebih dahulu sebelum diterima dan diakui sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan kadangkala peraturan primer ini bersifat statis dalam arti radikal dan sulit sekali untuk dirubah.
• Kelemahan selanjutnya adalah inefisiensi dalam penegakan peraturan primer. Dapat saja terjadi perdebatan berkepanjangan apakah terjadi pelanggaran atau tidakl terhadap peraturan tertentu tanpa adanya penyelesaian yang jelas karena peraturan primer tidak memiliki otoritas penentu terakhir.
2. Peraturan Sekunder
Berdasarkan kelemahan-kelemahan peraturan primer di atas, maka menurut Hart, jalan keluar untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah harus ada peraturan sekunder. Dengan demikian peraturan sekunder pada intinya berfungsi mengatur lebih lanjut peraturan primer. Peraturan sekunder sendiri menjelaskan cara dimana peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta pelanggarannya juga ditentukan secara pasti.
Hart membedakan lagi preraturan sekunder ini menjadi tiga bagian lagi yakni: peraturan pengakuan, peraturan perubahan dan peraturan penilaian dan penyelesaian konflik. Pertama, peraturan pangakuan adalah peraturan yang berfungsi mengatasi problem ketidakpastian peraturan primer. Peraturan pengakuan menetapkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh peraturan agar dapat disebut peraturan bagi kelompok atau masyarakat, dan karenanya menwajibkan mewajibkan masyarakat untuk mengakui dan mendukungnya. Pengakuan oleh masyarakat memungkinkan adanya dukungan luas berupa tekanan sosial.
Dalam sistem hukum yang lebih maju peraturan pengakuan menjadi lebih kompleks. Dan dalam level yang lebih kompleks, peraturan tidak diidentifikasi berdasarkan teks atau daftar, melainkan dengan merujuk apda sejumlah ciri umum yang harus dimiliki peraturan primer supaya disebut hukum. Misalnya, peraturan primer disebut hukum karena fakta bahwa diberlakukan secara khusus, atau karena sudah menjadi praktek umum dalam jangka waktu lama, atau karena keterkaitannya dengan keputusan (yurisprudensi). Jadi, peraturan pengakuan dalam masyarakat modern dapat sangat kompleks dan berfariasi dibandingkan dengan penerimaan secara sederhana melalui teks yang resmi atau otoritatif.
Pada level sederhana, peraturan pengakuan memang hanya cukup mengacu pada daftar peraturan resmi. Meskipun sederhana, yang paling penting aalah bahwa perturan pengakuan itu memuat banyak elemen yang khas hukum. Dengan itu peraturan pengakuan, meskipun dalam bentuk sederhana, memperkenalkan hukum sebagai sistem karena hukum sekarang tidak lagi merupakan bagian yang lepas dan terpisah satu sama lain, melainkan sebagai satu kesatuan sistematis. Dengan merujuk pada daftar resmi yang memberi status hukum pada peraturan. Di sinilah cikal bakal gagasan tentang validitas hukum.
Kedua, peraturan perubahan yaitu peraturan yang berfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan sifat status peraturan primer. Ini merupakan mekanisme otoritatif untuk memberlakukan dan membatalkan atau mengubah hukum. Peraturan sekunder dalam bentuknya yang sederhana memberi kekuasaan pada individu atau badan untuk memperkenalkan peraturan primer baru sebagai standar perilaku kehidupan kelompok dan menyingkirkan peraturan yang lama. Pada tahap ini kita bertemu dengan gagasan tentang perlunya badan legislatif. Meskipun berbeda peratuan pengakuan dan peraturan perubahan erat terkait satu sama lain, karena eksistensi yang satu mengandaikan eksistensi yang lain.
Peraturan perubahan secara niscaya merujuk pada lembaga legislasi sebagai cirri pengenal peraturan, meskipun tidak harus seluruhnya merujuk pada detail prosedur dalam proses legislasi. Dalam kasus di mana legislasi menjadi satu-satunya sumber hukum, peraturan pengakuan akan menunjuk pada fakta pemberlakuan peraturan oleh badan legislatif sebagai kriterium validitas peraturan.
Ketiga, peraturan penilaian dan penyelesaian konflik. Peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem inefisiensi dalam peraturan primer. Hadirnya pengadilan merupakan jalan untuk mengatasi kebuntuan berkaitan dengan kontroversi yang terjadi dalam peraturan primer. Di sini peraturan sekunder berfungsi memberi kekuasaan kepada orang atau lembaga untuk menilai dan menetapkan apakah peraturan telah dilanggar atau tidak; apakah peraturan dipahami secara tepat atau tidak. Inilah bentuk minimal dari perturan penilaian.
3. Kritik Atas Konsep Hukum Hart
Kritik yang ingin saya kemukakan atas konsep hukum Hart ini adalah kritik yang dikemukakan oleh Joseph Raz. Raz mengajukan dua keberatan atas konsep hukum Hart ini demikian: pertama, apa yang disebut peraturan pengakuan (recognition rules) lebih baik dipahami sebagai fakta daripada sekedar perturan. Maksudnya, yang penting adalah fakta bahwa ada sumber tertentu yang diambil menjadi sumber hukum. Dengan kata lain, peraturan saja tidak mencukupi. Yanh terpenting adalah pengakuan factual bahwa hukum berlaku. Selain itu, yang seharusnya dirubah bukan saja pertauran primer, tetapi juga peraturan pengakuan out sendiri. Itu berarti peraturan yang mengatur peraturan primer juga harus terbuka untuk dirubah apabila dipandang perlu. Dengan kata lain, apabila Hart memandang peraturan primer cebderung statis dan karenanya membutuhkan peraturan agar dapat membuatnya lebih dinamis, maka prinsip yang sama juga harus berlaku bagi poeraturan sekunder sehingga lebih responsive terhadap tunutan manusia.
Kedua, analisis Hart menurut Raz terlalu sederhana. Padahal ada banyak peraturan yang sifatnya bukan memaksa melainkan memberi peluang. Dalam hal penguasa, hukum pada kenyataannya bahkan menciptakan sejumlah pengecualian bagi pejabat Negara. Dengan demikian, tidak semua hukum masuk dalam kategori hukum primer (beruapa paksaan kewajiban bagi warga negara) atau kategori perturan sekunder. Kompleksitas ini haraus diperhatikan dalam membangun hukum sebagai sistem.
Keberatan umum terhadap teori Hart adalah bahwa teori ini terlalu formal. Hart terlalu memperhatikan dimensi formal sehingga mengabaikan isi atau substansi hukum. Padahal isi atau substansi hukum sangat penting khususnya jika dikaitkan dengan kepentingan manusia sebagai tujuan hukum. Hukum tidak dibangun untuk hukum itu sendiri tetapi untuk melayani kepentingan manusia. Dalam arti ini substansi hukum menjadi factor yang sangat menetukan tingkat kontiribusi hukum bagi manusia.
C. Catatan Kritis
Dari kedua macam teori yang dikemukakan oleh kedua tokoh ini, kiranya menjadi jelas bagi saya bawha setiap hukum yang diciptakan adalah hanya untuk melayani kepentingan manusia. Hukum berfungsi untuk mengantar manusia pada suatu bentuk kehidupan yang lebih nyaman. Karena permasalahan dasarnya bukan terletak pada berapa banyak hukum yang diciptakan tetapi apakah hukum itu benar-benar tepat sasar dan dapat mensejaterakan manusia.
Austin mengemukakan teori hukumnya dengan terlalu menekankan segi komando sampai-sampai melupakan apakah seseorang melaksanakan hukum berdasarkan kebebasan yang ada dalam dirinya atau hanya karena takut dihukum bila tidak mentaati sebuah peraturan. Jika hukum hanya dilihat sebagai sebuah perintah dari penguasa dan pelanggarannya akan dikenakan sanksi, maka menurut saya kita hanya akan menghasilkan orang-orang yang munafik dan tidak dewasa. Orang akan menjalankan aturan bila dikontrol. Bila tidak maka peraturan itu tidak akan berfungsi sama sekali. Berdasarkan pertimbangan ini, saya sendiri agak keberatan untuk menerima pendekatan hukum yang dikemukakan oleh Austin ini.
Sedangkan, berkaitan dengan konsep hukum yang dikemukakan oleh Hart, bagi saya sudah sangat baik, karena Hart lebih meneliti unsure formal dari hukum itu. Akan tatapi, hampir sama dengan Raz, saya berpendapat bahwa Hart terlalu terfokus pada unsur formal atau tidaknya sebuah hukum sehingga hukum itu dapat memiliki dasar pijak yang kuat. Sistem hukum lebih menjadi tekanan oleh Hart sampai-samapai masalah dasar apakah hukum itu dapat bersifat membebaskan manusia itu sebenarnya kurang tersentuh. Hart melupakan bahwa meskipun sistem hukum itu sudah paten dan teratur toh belum menjamin apakah setiap subjek pelaku hukum menjalankan hukum itu dengan rasa penuh bebas dan tanggung jawab atau tidak.
Maka, menurut saya, perhatian dalam hukum saat ini harus menjalankan fungsinya secara tepat yakni sebagai alat control bukan sebagai hakim agung dengan rentetan sanksi bagi orang yang melanggarnya. Contohnya, dalam konteks Indonesia, ketik seorang Polantas sedang bertugas untuk menjalankan tugasnya mengamankan lalulintas, bagi saya, yang benar adalah berdiri tepat pada lampu merah untuk memperingatkan para pengenderai kendaraan agar tidak berjalan terus saat tanda berhenti (lampu merah). Bukan Polantas berdiri setelah tanda lampu merah untuk ‘menangkap’ setiap pengendera kendaraan yang melintas saat masih belangsung tanda berehenti atau lampu merah. Dengan demikian yang ingin dicapai di sini adalah membangkitkan kesadaran terus menerus bagi para pengendera bukan menunggu mereka samapai melanggar dulu, dihukum barulah timbul kesadaran. Semoga semakin hari hukum di Indonesia semakin baik dan semakin dapat dipertanggungjawabkan.



DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, M. Hum, 1999, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hart, H. L. A, 1994, The Concept of Law, New York: Oxford University Press Inc.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius

Kesatuan yang Berbeda

Ibr 9:15:24-28
Mark 3:22-30


Ada 5 orang anak yang hidup di sebuah perkampungan. Mereka hanya tinggal bersama-sama dengan ayahnya yang sedang sakit berat karena ibunya telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Ketika ayah mereka merasa sakitnya semakin berat dan sepertinya akan membawanya kepada kematian, ia menumpulkan anak-anaknya untuk menyampaikan wejangan atau pesan terakhir sebelum ia meninggal. Anak-anaknya pun dengan hati yang galau dan sedih datang dan berdiri mengelilingi ayah mereka yang sedang terbaring lemah di tempat tidur. Ia menyuruh anaknya yang sulung mengambilkan seikat sapu lidi. Ia lalu menyuruh mereka mengambil masing-masing sebatang dan mematahnya hingga ukuran yang paling kecil. Mereka pun melakukan demikian. Setelah itu sang ayah meminta mereka agar secara bersama-sama mematahkan sapu lidi yang masih tersisa dalam ikatan itu tanpa mebagi-baginya. Mereka harus mematahkan sapu lidi itu sampai pada ukuruan yang paling kecil. Setelah bersaha bersama-sama mencobanya berkali-kali, mereka mengatakan kepada ayahnya bahwa mereka semua tidak ada yang berhasil mematahkan seikat sapu lidi tersebut.
Lalu dengan suara yang kian lemah, ayah mereka berpesan: “anak-anakku, sebentar lagi ayah akan pergi meninggalkan kalian sendiri. Hidup kalian harus seperti seikat sapu lidi ini. Kalian harus hidup dalam persatuan satu dengan yang lain agar kalian menjadi kuat. Jika kalian masing-masing hidup sendiri, maka cepat atau lambat kalian akan kalah. Hidup kalian akan hancur berantakan jika masing-masing memilih untuk hidup sendiri. Hendaknya di antara kalian tidak ada perpecahan karena alasan apapun. Perselisihan memang akan selalu ada tetapi bukan berarti harus saling meninggalkan. Perselisihan itulah yang harus membuat kalian kuat. Bila kalian hidup dalam persatuan, keanekaragaman yang ada dalam diri anda sekalian akan mendatangkan kemenangan.” Setelah berpesan demikian, sang ayah pun menutup hayatnya.
Pesan sang ayah kepada kelima anaknya, kiranya layak disimak pula oleh kita masing-masing yang hidup di era modern ini. Era ini menawarkan kepada kita perjuangan untuk mencapai kepuasan diri terus menerus sehingga tanpa disadari kita masuk dalam perangkap individualisme. Kita melihat sesama bahkan saudara bukan lagi sebagai partner untuk mewujudkan kesatuan tetapi sebagai saingan yang selalu menghalangi usaha kita untuk mecapai kepuasan diri. Ketika para ahli Taurat menuduh Yesus sebagai kepala Belzebul yang mempunyai kuasa untuk mengusir setan-setan yang lain, Yesus hanya menjawab bahwa tidak mungkin setan bangkit untuk melawan kawanannya sendiri. Karena jika demikian akan terjadi perpecahan. “jika satu kerajaan terpecah-pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, dan jika sebuah rumah tangga terpecah-pecah, maka rumah tangga itu tidak akan bertahan.” (Mrk 3:24)
Jawaban Yesus ini menyiratkan pesan kesatuan yang tak terbantahkan dalam sebuah perkumpulan (keluarga atau pun kerajaan). Hanya persatuanlah yang menghantar kita pada keutuhan dan rasa saling menerima. Persatuan itu menjadi begitu penting sehingga Yesus selalu menghimbau para murid-Nya untuk mengusahakannya. Yesus mengajak kita untuk bersatu karena Dia sendiri telah merasakan efek positif yang luar biasa dari kesatuan itu. Dalam setiap perkataan dan tindakan-Nya, Yesus selalu mengulang-ulang bahwa Dia dan Bapa adalah satu. Persatuan mereka itu digairahkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus menjadi inspirasi dan energi bagi tumbuhnya persatuan itu.
Kita sebagai manusia bersatu bukan karena kita memiliki kesamaan, tetapi kita bersatu justru karena kita berbeda. Perbedaanlah yang menjadikan kita memilih untuk bersatu. Karena perbedaan yang ada dalam kesatuan itu melahirkan keanekaragaman. Dan keanekaragaman itu menampakkan keindahan. Seorang laki-laki dan seorang perempuan akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah bahtera keluarga bukan karena mereka sama tetapi justru mereka berbeda. Mereka memilih untuk bersatu karena mereka menyadari bahwa ada perbedaan di antara mereka. Dan mereka mengikat janji setia untuk menjadikan perbedaan yang mereka miliki itu sebagai titik berangkat keluarga yang akan melahirkan keindahan, keharmonisan dan ketenteraman dalam keluarga.
Jadi, perbedaan kiranya menjadi landasan bagi kita untuk bertumbuh dalam kesatuan antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu bagai seikat sapu lidi yang dipersatukan untuk menghasilkan kekuatan yang tak terkalahkan. Seikat sapu lidi dalam ilustrasi tadi, ketika berada dalam kesatuan akan mendatangkan keindahan karena mampu mengumpulkan sampah pada tempatnya. Ketika sebuah keluarga berada dalam kesatuan, kelurga itu akan melahirkan keindahan karena adanya kesempatan untuk saling melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Semoga kita memiliki hati yang kuat untuk menerima perbedaan yang ada dan menjadikannya indah dalam hidup kita masing-masing.
“Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkh 3:11) (stefanus poto elu)

Jakarta, 24 Januari 2011

Selasa, 15 Februari 2011

Kado ULTAH-ku Buat IBU

Kado apakah yang akan diberikan oleh orang tua saya, saat saya berulah tahun nanti? Demikian pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran dan hati kita menjelang perayaan ulang tahun kita. Kita mengimpikan kado ulang tahun yang istimewa bahkan terkadang kita mengenangnya sebagai kado yang tidak akan terlupakan. Saat kita berulang tahun kita mengimpikan kado, kita mengimpikan kasih sayang, kita mengimpikan perhatian dan macam-macam. Pokoknya ada berbagai hal yang kita inginkan untuk turut melengkapi kebahagiaan kita pada hari itu.
Suatu ketika saat berbicanng-bincang dengan seorang teman saya, ia mengatakan bahwa ia kurang suka sekaligus kurang terlalu setuju jika ulang tahunnya dipestakan. Apalagi diberi kado oleh orang tua. Alasan yang dikemukakan oleh teman saya itu adalah bahwa pada saat ia merayakan ulang tahun, ialah yang harus memberi kado kepada orang tuanya (khusus ibunya) karena pada hari itulah (saat ia lahir) ibunya mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkan dia. Begitu banyak darah yang harus ditumpahkan oleh ibunya untuk mengeluarkan dia dari rahimnya. Bagitu bayak tenaga dan pengorbanan yang terkuras saat itu
Setelah saya memikirkan pendapat teman saya ini dengan lebih cermat, ternyata ada benarnya juga. Dalam kenyataannya, ketika kita merayakan ulang tahun kita diberi hadiah pertama-tama dari orang tua lalu dari teman-teman dan sahabat kenalan kita. Ini adalah kenyataan yang tidak salah. Namun, menurut saya, ada sesutu yang terlupakan di sana, terutama hal yang dikemukakan oleh teman saya itu. Seharusnya, saat kita merayankan ulang tahun kita pun harus memberikan kado kepada ibu kita yang pada hari itu (waktu kita lahir) mempertaruhkan nyawanya antara hidup dan mati untuk melahirkan kita. Perjuangan seorang ibu untuk melahirkan kita sangat berat. Ia mengorbankan tenaga, jiwa dan raganya untuk melahirkan kita. Mengapa kita tega melupakan pengorbanan ibu kita yang tak ternilai itu? Bukanakah dalam kenyataannya banyak ibu yang akhirnya harus mengakhiri hidupnya lebih cepat karena gagal melahirkan bayi yang ada dalam kandungannya? Pernahkah kita memikirkan kenyataan “pahit” yang dialami oleh seorang ibu saat-saat itu?
Mari kita lebih menyadari pendapat yang dikemukakan oleh teman saya ini. Mungkin kita akan lebih berani untuk menghargai dan mencintai ibu kita. Mungkin juga kita tidak akan menuntut ibu kita untuk memberikan kado istimewa saat kita merayakan ulang tahun, tetapi justru kita membuka hati dan tangan untuk memberi kado kepada ibu kita yang tercinta.



Ibu,,,
Aku ingin tahu apa yang engkau rasakan
Saat-saat berjuang melahirkan aku dari kandunganmu yang suci?
Berapa banyak tetes daramu yang tertumpah?
Berapa banyak tenaga yang engkau kuras?
Aku ingin tahu ibu.
Tidak untuk aku kembalikan,
karena semua itu tak ternilai harganya
Aku tak sanggup menggantikannya
Aku tak bisa membayarnya
Aku hanya ingin mengatakan aku kagum padamu ibu
Aku lalai mengingat pengorbanan itu
Maafkan aku ibuku tercinta
Kini aku belajar untuk tidak meminta kado darimu saat aku berulang tahun
Karena kado terbesar darimu telah aku terima saat aku lahir
“Kado kehidupan”
Aku akan belajar memberimu kado saat aku berulang tahun
Terima kasih ibu,,,,,,


Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia……


jakarta, 14 - 02 - 2011
stefanus poto elu

Selasa, 01 Februari 2011

Penegak Hukumku yang Lemah

Terik panas matahari mengiringi langkah demi langkah dalam perjalanan pulang dari tempat kerja saya dan seorang teman ke kontrakan. Obrolan dan canda tawa dengan teman ‘senasip’ (jalan kaki) menjadi penghambar sesaat terik sang raja siang. Lalu lintas bagitu ramai berkejar-kejaran tiada henti. Mereka seolah tidak menyadari bahwa saya dan teman itu sedang berusaha melawan teriknya matahari di siang itu. Keringat pun mulai membasahi wajah, leher dan akhirnya ke seluruh tubuh. Mata saya melanglang ke mana-mana memperhatikan mobil, motor, ataupun para pengenderainya Yng melintas. Tanpa kami sadari melintaslah sebuah mobil patroli polisi. Dari dalam mebil terlihat seorang polisi sedang mengenderai dengan santai. Ketika dia melewati langkah kami, kurang lebih 5 meter, ia menyalakan lampu senen kiri tanda akan menepi ke bahu kiri jalan. Berselang beberapa mobil di belakang mobil polisi itu, susul sebuah mobil truk dengan muatan yang cukup banyak. Rupanya saya dan temanku tidak tidak mungkin melihat apa yang ada di dalam bak truk itu karena tertutup terpal.
Dari depan tampak sang polisi memberi tanda mendekat kepada truk itu. Secepat kilat sang sopir truk membuka pintu dan berjalan menghampiri mobil polisi tersebut. Melihat kenyataan itu, saya berkata kepada teman saya, “dia pasti ditahan.” Mata saya memperhatikan secara cermat langkah sang sopir truk. Ternyata di genggaman tanga kanannya ada sejumlan uang. Saya dan temanku mempercepat langkah ke depan mobil polisi untuk mengatahui apa yang akan terjadi di sana. Ketika sang sopir truk menghampiri pintu mobil patroli itu, polisi yang berada di dalam menurunkan kaca mobil. Si sopir memasukan tangan kanannya ke arah polisi yang masih duduk santai di belakang kemudi.
Dalam hitungan detik polisi membuka tangan menerima isi genggapan si sopir truk, memutar kemudi dan beranjak pergi. Saya dan temanku yang hanya berdiri beberapa meter tertegun melihat kejadian itu. Kurang dari 5 menit ‘tansaksi’ itu selesai. “wah, gimana ne. Polisi kok bersikap seperti itu? Gampang disuap ya!” kata saya kepada temanku. Apa yang harus saya lakukan? Saya mengeluarkan handphione dari dalam saku jacket, jari-jariku memencet dengan begitu cepat sambil terus melihat plat nomor polisi yang tertulis di belakang mobil. “Teman, kayaknya itu data penting yang perlu diabadikan,” kata temanku.
Setelah semuanya berlalu, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Saya mulai berpikir apakah ini tindakan yang layak untuk dilakukan oleh subjek yang berpredikat penegak hukum? Apakah hukum dapat diladeni dengan secarik uang kertas hasil cetakan negara Indonesia yang tercinta ini? Apakah setiap warga negara dapat membeli hukum? Lebih dari ini, satu hal yang paling mengganjal dalam pikiran dan hati saya adalah mengapa polisi yang mengaku diri sebagai penegak aturan begitu mudahnya diperalat dengan uang? Apakah saya bisa membeli hukum, terutama ketika saya bersalah seperti si sopir truk?
Wel, mungkin orang akan menanggapi pengalaman saya ini dengan mengatakan bahwa itu hanya pengalaman kecil dan tidak dapat dijadikan fakta untuk mendapatkan kesimpulan universal terkait kelakuan polisi Indonesia. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih jauh ada fakta-fakta yang lebih besar tentang kejadian serupa. Di negeri ini, orang begitu mudah membeli hukum. Kasarnya, uang memperlancar proses hukum. Penegak hukum bertekuk lutut di bawah sang raja yang disebut uang. Manakah yang salah! Uang atau penegak hukum? Nurani manusia begitu lemah di depan uang.
Hal yang sama kiranya terjadi pula pada tindakan para polisi Indonesia ketika menjalankan tugas menertibkan lalu lintas. Mereka menertibkan lalu lintas setelah rambu-rambu lalu lintas. Contohnya, polisi mengambil posisi setelah lampu merah, bahkan bersembunyi di balik pohon ataupun di kegelapan untuk ‘menangkap’ setiap kendaraan yang masih melintas ketika tanda berhenti (lampu merah). Biasanya ada dua pilihan ketika seseorang ditahan karena melanggar larangan berhenti ini. Kita diberikan kertas atau memberikan ‘kertas.’ Artinya, ketika kita diberikan kertas dengan wajah yang sedikit berkerut mengertilah bahwa urusannya belum selesai. Kita masih harus datang ke Pengadilan Negeri untuk membereskan kesalahan kita. Sebaliknya, jika kita yang memberikan ‘kertas,’ maka urusan pun selesai. Sang polisi ‘mungkin’ dengan senyum sungging dan wajah berseri-seri pergi karena ‘kertas’ kita. Sungguh aneh.
Memikirkan kenyataan-kenyataan ini saya bertanya mengapa aturan tidak berfungsi untuk mengatur perilaku masyarakat tetapi malah berfungsi menjerat orang untuk jatuh dalam hukuman? Berdasarkan kasus-kasus ini, saya pikir, aturan bagai sebuah jurang yang berada ujung jalan (di situlah tempat berdirinya polisi) dan setiap orang yang tidak berhati-hati akan jatuh ke dalam jurang tersebut. Jika polisi mengingat bahwa aturan lalu lintas berfungsi untuk mengatur tindakan masyarakat dan mencegah masyarakat agar tidak salah dalam bertindak, maka polisi akan berdiri sebelum jurang itu (lampu merah) untuk mengingatkan agar setiap kendaraan yang melintas tidak perlu jatuh ke dalam jurang tersebut (melewati lampu merah karena masih tanda berhenti). Mengapa kita lebih tertarik untuk mengobati (menjerat denga hukuman) dari pada mencegah agar tidak terjadi pelanggaran lalu lintas?
Inilah fenomena-fenomen yang terjadi berulang-ulang di negeri ini. Menurut saya, kita belum sadar untuk memaknai aturan pada dirinya sendiri. Kita masih memandang aturan sebagai sebuah alat untuk mencapai keinginan-keinginan kita. Marilah kita menjadi manusia yang sadar akan makna aturan dan menjadikan manusia yang lain sebagai mitra kerja dalam menjalankan dan menegakkan aturan yang ada di negeri ini. Cukuplah aturan berfungsi sebagai pencegah, janganlah sebagai penjerat. (Stefanus p. elu)


Jakarta, 29 Januari 2011
Pkl. 12.05

Rasa Benci Membuat Mandul

Permenungan ini berangkat dari sebuah keprihatinan yang saya alami di sekolah tempat saya mengajar. Sebagai seorang guru yang dipercayakan untuk mengampuh mata pelajaran agama Katolik, saya mempunyai tugas yang boleh dibilang berat tertama untuk memperhatikan pola laku anak-anak didik di sekolah. Salah satu fenomena yang sering saya lihat ketika berada di tengah-tengah siswa adalah adanya kebencian dari para siswa terhadap guru-guru tertentu sehingga mereka akan selalu menunjukkan sifat pembangkang ketika berhadapan dengan guru tersebut. Tidak sedikit dari para siswa yang mulai timbul rasa benci dalam diri terhadap guru tersebut. Ketika saya mulai memikirkan hal ini saya mulai bertanya: mengapa orang hidup dalam satu “rumah” (sekolah) tetapi masih saling membenci?
Ketika saya mempertimbangkan lebih dalam tentang kebencian, ada dua hal pokok yang kiranya menjadi dasar timbulnya rasa benci. Pertama, saya membenci seseorang karena sifat dari orang tersebut yang salah dan meyebalkan. Kedua, saya membenci seseorang karena kehadiriannya mengancam keberadaanku. Artinya, saya membenci seseorang karena saya tidak merasa nyaman kitika ia mulai menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Ketika ia mengatakan saya salah, atau lebih tepatnya dikoreksi, saya mulai merasa terancam oleh koreksian itu.
Berdasarkan dua pertimbangan ini, saya berasumsi bahwa setiap manusia perlu memikirkan secara kritis segala perasaan yang timbul dalam hatinya. Kebetulan saja yang saya pikirkan sekarang adalah soal kebencian. Teman-teman yang lain bisa memikirkan aneka perasaan lain yang hampir setiap hati timbul dalam hati kita. Tidak perlulah memikirkan hal-hal yang besar. Kali ini, cukup tentang persaan kita. Karena, jika hal ini dipikirkan secara baik, maka sebenarnya kita sedang membuat diri kita bertumbuh.
Menurut saya, rasa benci hanya akan membuat diri kita mandul. Kita tidak dapat menciptakan hal-hal menarik, karena kita selalu merasa terganggu dengan kehadiran orang-orang yang kita benci. Apalagi jika orang itu tinggal serumah dengan kita, atau bahkan sekamar (suami-istri). Begi mereka yang telah berkeluarga, kebencian adalah cikal bakal perceraian. Karena, rasa benci jika tidak dioleh dengan baik akan berujung pada niat untuk saling meniadakan. Rasa benci membuat mata dan hati kita tertutup. Rasa benci membuat kita terhindarkan dari perubahan-perubahan. Secara pribadi saya yakin bahwa kehadiran setiap orang selalu membawa perubahan, entah itu yang langsung terasa ataupun yang butuh waktu lama. Sangat disayanagkan bahwa kebencian telah membuat kita kita menutup diri terhadap perubahan yang ada di depan mata. Inilah yang ingin saya katakan mandul. Kita tidak menjadi pribadi yang produktif. Kita tidak produktif untuk perubahan diri kita sendiri dan juga untuk perubahan orang lain dan alam sekitar kita.
Maka, jadilah orang yang pandai menilai perasaannya sendiri. Jadilah orang yang setiap hari berusaha untuk memikirkan kesehariannya. Jadilah pribadi yang pandai menevaluasi diri dari pada pandai mengevaluasi orang lain. Rene Descartes pernah mengatakan “cogito ergo sum.” Saya berpikir maka saya ada. Kegiatan berpikir menjadi ukuran bagi keberadaan kita. Kegiatan berpikir membuat kita sadar bahwa kita adalah subjek yang disebut manusia. Jika kita melewati satu hari tanpa berpikir berarti kita sedang melawan kodrat kita sebagai manusia. Marilah kita lebih rajin memikirkan pikiran dan perasaan yang timbul dalam hati dan pikiran kita setiap hari. (stefanus p. elu)


Jakarta, 28 Januari 2011
Pkl. 20.30

Wajah Sang Pemimpin

“Sekiranya kita memberi kepercayaan kepada lebih dari satu orang, supaya ketika seorang di antara mereka tidak sepenuhnya memenuhi apa yang kita harapkan, kita masih berharap kepada yang satu lagi. Jika tidak demikian, kita akan merasa gagal total ketika orang yang sangat kita percayai tidak memuhi apa yang kita harapkan.” Inilah sepenggal kalimat hasil obrolan bersama teman sekamarku ketika kami pulang dari tempat kerja. Kami mulai berpikir: mengapa orang begitu percaya kepada satu orang, dan ketika orang itu tidak memenuhi apa yang diharapakan ia akan merasa dibohongi dan mulai timbul kebencian terhadap orang itu? Mengapa orang begitu mudah untuk menjatuhkan pilihan kepercayaan terhadap orang-orang tertentu tanpa dipertimbangkan secara matang?
Mungkin inilah sepenggal pengalaman yang saya alami di tempat kerjaku. Sang pemimpin yang mengaku diri sebagai “yang memiliki kuasa” cepat jatuh hati kepada orang-orang yang baru ia kenal (termasuk karyawan baru) sampai –sampai kita yang lain nampak terabaikan. Akan tetapi, ketika orang tersebut bekerja sedikit di luar dari apa yang dikendakinya, maka kepercayaan akan sepenuhnya hilang dari orang itu. Bahkan rasa bencipun datang silih berganti. Hal ini telah kami alami berulang-ulang kali. Berdasarkan pengalaman ini saya mulai berpikir: bukankah sikap seorang pemimpin harus netral tanpa pilih kasih? Bukankah ia harus memperlakukan secara adil karyawan-karyawannya? Bukankah ia pelu bersikap lebih rendah hati untuk memberi kesempatan bagi perkembangan setiap karyawannya?
Saya hanya berpikir bahwa ketika kita berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam tindakan nyata, kita sedang membuat perubahan besar-besaran soal bagaimana memperlakukan manusia sebagaimana dirinya. Setiap orang, menurut saya, harus diperlalukan sebagai subjek dalam segala hal. Hal pertama yang perlu diberikan kepada seseorang adalah bukan kepercayaan untuk menyelesaikan proyek yang telah kita sediakan bagi dia melainkan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menawarkan ketermapilan yang ia miliki. Ia mungkin butuh sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun untuk dapat mempertunjukkan keterampilan yang ada dalam dirinya.
Bukankah setiap orang memiliki kecepatannya sendiri ketika diikutsertakan dalam sebuah lomba lari? Bagi saya, analogi ini dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana cara setiap orang mengembangkan dirinya. Ada yang membutuhkan waktu sedikit, ada yang lama, dan ada yang sangat lama. Jadi, menurut saya, seorang pimimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang mampu mengakomodasi hal-hal tersebut dalam memperlakukan bawahannya. Kepercayaan yang sama, perlakuan yang sama, kesempatan yang sama hendaknya diberikan kepada setiap orang. Hal-hal inilah yang akan mendukung untuk terciptanya suatu lingkungan kerja yang kondusif. (stefanus p. elu)


Jakarta, 27 Januari 2011
Pkl. 18.00

Aku Haus



Sepenggal kisah di balik jeruji
Memberi kabar bagi hati yang menoleh
Menguak pikiran yang hendak berpikir
Membangunkan lidah dari bahasa lelap
Bangkit dan mendesis

“aku haus”

Akan kuberikan seteguk air putih buat penggilas dahaga
Atau seteguk teh minuman kesukaan masa kecilmu
Atau segelas “kapal api” buatan ibuku kala itu
Atau secangkir arak sulingan nenekku dulu
Ah, pasti kau menyukainya

“aku haus.”
Itu jawabmu?

Aku bukan masa lalu
Aku bukan masa sekarang
Aku bukan masa depan
Aku ada hanya untuk aku

Tidak mungkin, ya tidak mungkin
Janganlah besikap bodoh sebodoh mereka itu
Jangan rela menutup usia sebelum waktu
Jangan mau menutup kisah sebelum kisah menutup diri
Jangan berikir untuk pergi karena telah ditinggal pergi

“aku haus”

Ada yang hilang
Ada ide yang hilang
Ada nurani yang hilang
Ada jiwa yang hilang
Yang tertinggal hanya kamu, aku dan keabadian

Jakarta, 24 Januari 2011