Rabu, 23 Februari 2011

Kesatuan yang Berbeda

Ibr 9:15:24-28
Mark 3:22-30


Ada 5 orang anak yang hidup di sebuah perkampungan. Mereka hanya tinggal bersama-sama dengan ayahnya yang sedang sakit berat karena ibunya telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Ketika ayah mereka merasa sakitnya semakin berat dan sepertinya akan membawanya kepada kematian, ia menumpulkan anak-anaknya untuk menyampaikan wejangan atau pesan terakhir sebelum ia meninggal. Anak-anaknya pun dengan hati yang galau dan sedih datang dan berdiri mengelilingi ayah mereka yang sedang terbaring lemah di tempat tidur. Ia menyuruh anaknya yang sulung mengambilkan seikat sapu lidi. Ia lalu menyuruh mereka mengambil masing-masing sebatang dan mematahnya hingga ukuran yang paling kecil. Mereka pun melakukan demikian. Setelah itu sang ayah meminta mereka agar secara bersama-sama mematahkan sapu lidi yang masih tersisa dalam ikatan itu tanpa mebagi-baginya. Mereka harus mematahkan sapu lidi itu sampai pada ukuruan yang paling kecil. Setelah bersaha bersama-sama mencobanya berkali-kali, mereka mengatakan kepada ayahnya bahwa mereka semua tidak ada yang berhasil mematahkan seikat sapu lidi tersebut.
Lalu dengan suara yang kian lemah, ayah mereka berpesan: “anak-anakku, sebentar lagi ayah akan pergi meninggalkan kalian sendiri. Hidup kalian harus seperti seikat sapu lidi ini. Kalian harus hidup dalam persatuan satu dengan yang lain agar kalian menjadi kuat. Jika kalian masing-masing hidup sendiri, maka cepat atau lambat kalian akan kalah. Hidup kalian akan hancur berantakan jika masing-masing memilih untuk hidup sendiri. Hendaknya di antara kalian tidak ada perpecahan karena alasan apapun. Perselisihan memang akan selalu ada tetapi bukan berarti harus saling meninggalkan. Perselisihan itulah yang harus membuat kalian kuat. Bila kalian hidup dalam persatuan, keanekaragaman yang ada dalam diri anda sekalian akan mendatangkan kemenangan.” Setelah berpesan demikian, sang ayah pun menutup hayatnya.
Pesan sang ayah kepada kelima anaknya, kiranya layak disimak pula oleh kita masing-masing yang hidup di era modern ini. Era ini menawarkan kepada kita perjuangan untuk mencapai kepuasan diri terus menerus sehingga tanpa disadari kita masuk dalam perangkap individualisme. Kita melihat sesama bahkan saudara bukan lagi sebagai partner untuk mewujudkan kesatuan tetapi sebagai saingan yang selalu menghalangi usaha kita untuk mecapai kepuasan diri. Ketika para ahli Taurat menuduh Yesus sebagai kepala Belzebul yang mempunyai kuasa untuk mengusir setan-setan yang lain, Yesus hanya menjawab bahwa tidak mungkin setan bangkit untuk melawan kawanannya sendiri. Karena jika demikian akan terjadi perpecahan. “jika satu kerajaan terpecah-pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, dan jika sebuah rumah tangga terpecah-pecah, maka rumah tangga itu tidak akan bertahan.” (Mrk 3:24)
Jawaban Yesus ini menyiratkan pesan kesatuan yang tak terbantahkan dalam sebuah perkumpulan (keluarga atau pun kerajaan). Hanya persatuanlah yang menghantar kita pada keutuhan dan rasa saling menerima. Persatuan itu menjadi begitu penting sehingga Yesus selalu menghimbau para murid-Nya untuk mengusahakannya. Yesus mengajak kita untuk bersatu karena Dia sendiri telah merasakan efek positif yang luar biasa dari kesatuan itu. Dalam setiap perkataan dan tindakan-Nya, Yesus selalu mengulang-ulang bahwa Dia dan Bapa adalah satu. Persatuan mereka itu digairahkan oleh Roh Kudus. Roh Kudus menjadi inspirasi dan energi bagi tumbuhnya persatuan itu.
Kita sebagai manusia bersatu bukan karena kita memiliki kesamaan, tetapi kita bersatu justru karena kita berbeda. Perbedaanlah yang menjadikan kita memilih untuk bersatu. Karena perbedaan yang ada dalam kesatuan itu melahirkan keanekaragaman. Dan keanekaragaman itu menampakkan keindahan. Seorang laki-laki dan seorang perempuan akhirnya memutuskan untuk membangun sebuah bahtera keluarga bukan karena mereka sama tetapi justru mereka berbeda. Mereka memilih untuk bersatu karena mereka menyadari bahwa ada perbedaan di antara mereka. Dan mereka mengikat janji setia untuk menjadikan perbedaan yang mereka miliki itu sebagai titik berangkat keluarga yang akan melahirkan keindahan, keharmonisan dan ketenteraman dalam keluarga.
Jadi, perbedaan kiranya menjadi landasan bagi kita untuk bertumbuh dalam kesatuan antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu bagai seikat sapu lidi yang dipersatukan untuk menghasilkan kekuatan yang tak terkalahkan. Seikat sapu lidi dalam ilustrasi tadi, ketika berada dalam kesatuan akan mendatangkan keindahan karena mampu mengumpulkan sampah pada tempatnya. Ketika sebuah keluarga berada dalam kesatuan, kelurga itu akan melahirkan keindahan karena adanya kesempatan untuk saling melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Semoga kita memiliki hati yang kuat untuk menerima perbedaan yang ada dan menjadikannya indah dalam hidup kita masing-masing.
“Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkh 3:11) (stefanus poto elu)

Jakarta, 24 Januari 2011

Tidak ada komentar: