Selasa, 01 Februari 2011

Rasa Benci Membuat Mandul

Permenungan ini berangkat dari sebuah keprihatinan yang saya alami di sekolah tempat saya mengajar. Sebagai seorang guru yang dipercayakan untuk mengampuh mata pelajaran agama Katolik, saya mempunyai tugas yang boleh dibilang berat tertama untuk memperhatikan pola laku anak-anak didik di sekolah. Salah satu fenomena yang sering saya lihat ketika berada di tengah-tengah siswa adalah adanya kebencian dari para siswa terhadap guru-guru tertentu sehingga mereka akan selalu menunjukkan sifat pembangkang ketika berhadapan dengan guru tersebut. Tidak sedikit dari para siswa yang mulai timbul rasa benci dalam diri terhadap guru tersebut. Ketika saya mulai memikirkan hal ini saya mulai bertanya: mengapa orang hidup dalam satu “rumah” (sekolah) tetapi masih saling membenci?
Ketika saya mempertimbangkan lebih dalam tentang kebencian, ada dua hal pokok yang kiranya menjadi dasar timbulnya rasa benci. Pertama, saya membenci seseorang karena sifat dari orang tersebut yang salah dan meyebalkan. Kedua, saya membenci seseorang karena kehadiriannya mengancam keberadaanku. Artinya, saya membenci seseorang karena saya tidak merasa nyaman kitika ia mulai menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Ketika ia mengatakan saya salah, atau lebih tepatnya dikoreksi, saya mulai merasa terancam oleh koreksian itu.
Berdasarkan dua pertimbangan ini, saya berasumsi bahwa setiap manusia perlu memikirkan secara kritis segala perasaan yang timbul dalam hatinya. Kebetulan saja yang saya pikirkan sekarang adalah soal kebencian. Teman-teman yang lain bisa memikirkan aneka perasaan lain yang hampir setiap hati timbul dalam hati kita. Tidak perlulah memikirkan hal-hal yang besar. Kali ini, cukup tentang persaan kita. Karena, jika hal ini dipikirkan secara baik, maka sebenarnya kita sedang membuat diri kita bertumbuh.
Menurut saya, rasa benci hanya akan membuat diri kita mandul. Kita tidak dapat menciptakan hal-hal menarik, karena kita selalu merasa terganggu dengan kehadiran orang-orang yang kita benci. Apalagi jika orang itu tinggal serumah dengan kita, atau bahkan sekamar (suami-istri). Begi mereka yang telah berkeluarga, kebencian adalah cikal bakal perceraian. Karena, rasa benci jika tidak dioleh dengan baik akan berujung pada niat untuk saling meniadakan. Rasa benci membuat mata dan hati kita tertutup. Rasa benci membuat kita terhindarkan dari perubahan-perubahan. Secara pribadi saya yakin bahwa kehadiran setiap orang selalu membawa perubahan, entah itu yang langsung terasa ataupun yang butuh waktu lama. Sangat disayanagkan bahwa kebencian telah membuat kita kita menutup diri terhadap perubahan yang ada di depan mata. Inilah yang ingin saya katakan mandul. Kita tidak menjadi pribadi yang produktif. Kita tidak produktif untuk perubahan diri kita sendiri dan juga untuk perubahan orang lain dan alam sekitar kita.
Maka, jadilah orang yang pandai menilai perasaannya sendiri. Jadilah orang yang setiap hari berusaha untuk memikirkan kesehariannya. Jadilah pribadi yang pandai menevaluasi diri dari pada pandai mengevaluasi orang lain. Rene Descartes pernah mengatakan “cogito ergo sum.” Saya berpikir maka saya ada. Kegiatan berpikir menjadi ukuran bagi keberadaan kita. Kegiatan berpikir membuat kita sadar bahwa kita adalah subjek yang disebut manusia. Jika kita melewati satu hari tanpa berpikir berarti kita sedang melawan kodrat kita sebagai manusia. Marilah kita lebih rajin memikirkan pikiran dan perasaan yang timbul dalam hati dan pikiran kita setiap hari. (stefanus p. elu)


Jakarta, 28 Januari 2011
Pkl. 20.30

Tidak ada komentar: