Selasa, 01 Februari 2011

Wajah Sang Pemimpin

“Sekiranya kita memberi kepercayaan kepada lebih dari satu orang, supaya ketika seorang di antara mereka tidak sepenuhnya memenuhi apa yang kita harapkan, kita masih berharap kepada yang satu lagi. Jika tidak demikian, kita akan merasa gagal total ketika orang yang sangat kita percayai tidak memuhi apa yang kita harapkan.” Inilah sepenggal kalimat hasil obrolan bersama teman sekamarku ketika kami pulang dari tempat kerja. Kami mulai berpikir: mengapa orang begitu percaya kepada satu orang, dan ketika orang itu tidak memenuhi apa yang diharapakan ia akan merasa dibohongi dan mulai timbul kebencian terhadap orang itu? Mengapa orang begitu mudah untuk menjatuhkan pilihan kepercayaan terhadap orang-orang tertentu tanpa dipertimbangkan secara matang?
Mungkin inilah sepenggal pengalaman yang saya alami di tempat kerjaku. Sang pemimpin yang mengaku diri sebagai “yang memiliki kuasa” cepat jatuh hati kepada orang-orang yang baru ia kenal (termasuk karyawan baru) sampai –sampai kita yang lain nampak terabaikan. Akan tetapi, ketika orang tersebut bekerja sedikit di luar dari apa yang dikendakinya, maka kepercayaan akan sepenuhnya hilang dari orang itu. Bahkan rasa bencipun datang silih berganti. Hal ini telah kami alami berulang-ulang kali. Berdasarkan pengalaman ini saya mulai berpikir: bukankah sikap seorang pemimpin harus netral tanpa pilih kasih? Bukankah ia harus memperlakukan secara adil karyawan-karyawannya? Bukankah ia pelu bersikap lebih rendah hati untuk memberi kesempatan bagi perkembangan setiap karyawannya?
Saya hanya berpikir bahwa ketika kita berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam tindakan nyata, kita sedang membuat perubahan besar-besaran soal bagaimana memperlakukan manusia sebagaimana dirinya. Setiap orang, menurut saya, harus diperlalukan sebagai subjek dalam segala hal. Hal pertama yang perlu diberikan kepada seseorang adalah bukan kepercayaan untuk menyelesaikan proyek yang telah kita sediakan bagi dia melainkan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk menawarkan ketermapilan yang ia miliki. Ia mungkin butuh sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun untuk dapat mempertunjukkan keterampilan yang ada dalam dirinya.
Bukankah setiap orang memiliki kecepatannya sendiri ketika diikutsertakan dalam sebuah lomba lari? Bagi saya, analogi ini dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana cara setiap orang mengembangkan dirinya. Ada yang membutuhkan waktu sedikit, ada yang lama, dan ada yang sangat lama. Jadi, menurut saya, seorang pimimpin yang bijaksana adalah pemimpin yang mampu mengakomodasi hal-hal tersebut dalam memperlakukan bawahannya. Kepercayaan yang sama, perlakuan yang sama, kesempatan yang sama hendaknya diberikan kepada setiap orang. Hal-hal inilah yang akan mendukung untuk terciptanya suatu lingkungan kerja yang kondusif. (stefanus p. elu)


Jakarta, 27 Januari 2011
Pkl. 18.00

Tidak ada komentar: