Sabtu, 18 Mei 2013

Kisah dari Balik Gunung


Hari itu udara terasa panas, di akhir September 2011. Matahari berdiri tegak di puncaknya. Hawa yang turun dari kebun para petani ladang menyambangi tubuh yang sedikit berkeringat. Saya bersama keempat belas teman mulai berbenah. Pakaian dilipat sekecil mungkin dan disusun sangat berdekatan, tampak berhimpitan. Potongan besi, terpal, makanan, dan sejumlah peralatan terkumpul menjadi satu. Beberapa kali saya menoleh ke arah teman-teman lain yang hampir rampung pengepakkannya. “Jangan lupa, masing-masing wajib membawa satu kantong plastik,” tutur Galuh, seorang teman yang dipercaya sebagai pemandu.
            Hari itu merupakan pengalaman perdana perjalan saya bersama kelompok ini. Kata mereka, bila sudah sudah mencapai tujuan kenikmatan tiada tara akan memenuhi jiwa dan raga. Itulah sepenggal kalimat yang berkali-kali dilontarkan kepada saya, saat diajak untuk bergabung bersama kelompok ini. Ini merupakan babak baru dalam rajutan pengalaman kehidupan saya bersama Jelajah Alam Driyarkara atau yang sering kami sebut JELADRI. Ia adalah kumpulan para pencinta alam dari sebuhan Sekolah Tinggi di Jakarta bernama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Memang, sangat susah menemukan korelasi antara filsafat dan alam. Tapi, paling tidak kondisi alam yang tenang, asri, dan hijau mampu melahirkan buah-buah pikiran kritis dan revolutif.
            Sejak berdiri hampir sepuluh tahun lebih, kelompok ini memang tidak mau menamai diri sebagai pencinta alam. Seturut warisan cerita yang kami terima, para pendahulu kami tidak mau menamai diri sebagai pencinta alam karena kesempatan untuk bersenggama dengan alam hutan hanya beberapa hari, bahkan beberapa jam saat pendakian. Akan tetapi pengalaman puncak yang diperoleh di puncak gunung itulah yang hendaknya di bawa pulang untuk diaktulisasikan di lingkungan kampus. “Kita cukup menjelajah untuk menemukan keindahan alam puncak, memotretnya dalam ingatan, dan mencetaknya dalam tindakan di kampus,” itu pesan Galuh sewaktu bertolak dari kampus kemarin sore.
            Kami akan mendaki Gunung Salak dari jalur Cimelati. Katanya, jalur ini cepat karena paling pendek tetapi cukup berat karena terus menanjak dan tidak ada air di sepanjang perjalanan ke puncak. “Masing-masing memegang kantung plastiknya dari naik sampai turun harus tetap ada di tangan dan tetap utuh. Apapun alasannya,” petuah Galuh sekali lagi menyentuh telinga. “Untuk apa sih? Masak dipegang terus? Emang, kalau capek nggak boleh dibuang ya?” sanggahku dalam hati.
            Sekitar baru 10 menit perjalanan, Galuh membuka kantung plastiknya. Sejumlah sampah yang berseliweran di sisi jalan dipungutnya satu persatu dan dimasukannya ke dalam kantong pelastiknya. Kemudian ia kembali melanjutkan perjalanan.  Aku terheran-heran melihat apa yang dibuatnya. Tapi, beberapa teman lain pun membuat hal serupa. Akhirnya aku pun ikut-ikutan. Meski dalam hati membayangkan seberapa berat kantong pelastik ini nantinya. “Masalahnya sampah-sampah ini akan terkumpul dari sejak naik sampai turun. Berapa banyak nantinya?” gumamku.
            Sepanjang jalan kami terus memungut sampah plastik yang kami temukan. Baru sekitar dua jam perjalanan, kantong pelastiknya sudah setengah penuh. Ternyata gunung yang sepi dari jamahan jemari khalayak pun punya sampah.  Hampir bisa dipastikan bahwa sampah-sampah ini ditinggalkan oleh para pendaki gunung juga. Mereka menamakan diri pencinta alam tapi tidak mencintai alam. Tempat yang sepi sampah malah bermandi sampah karena tindakan tak terpuji mereka. Sebuah tindakan kontraprodukstif untuk semangatnya sendiri.
            Tapi, apapun alasan di balik semua kenyataan, rasanya di sini bukan tempatnya untuk saling menghina dan mengklaim siapa yang lebih unggul. Yang terpenting apa yang dapat dilakukan hari ini, lakukanlah. Tidak perlu menunggu, apalagi menuntut agar itu dilakukan oleh kelompok lain.
            Seperti pesan kewajiban Galuh, kami terus memungut sampah-sampah dari kaki Gunung Salak hingga ke puncak, kemudian membawanya kembali turun ke bawah kaki gunung. Kami berhasil mengumpulkan sampah sekitar tiga belas kantong pelastik besar. Sebuah pekerjaan yang gila dan sia-sia. Toh, kalau besok ada pendaki lain yang mengadakan pendakian, sampah akan kembali ditebar. Itulah pikiran pesimistis yang menghatui saya.
            Delapan bulan kemudian, saat kami kembali mengadakan pendakian ke Gunung Merbabu, kegiatan memungut sampah kembali digelar. Meski kini kami dibawah arah Adit, toh semangatnya tetap samah. Kenikmatan puncak harus dipersiapkan sejak langkah pertama. Agar puncak gunung itu indah, rawatlah sisi-sisi yang merangkai puncak itu.
            Bayangkan saja, perjalanan selama hampir tiga hari itu masih harus dibebani dengan tumpukan sampah yang tak tahu dari mana datangnya. Terkadang, menyaksikan banyaknya bungkus mie dan biskuit, teman-teman sempat berkelakar, “mungkin ada alfamart atau indomart di atas”. Di Merbabu kami berhasil mengumpulkan sampah sebanyak tujuh kantong plastik. Sementara pada pendakian enam bulan setelahnya di Gunung Sumbing kami berhasil mengumpulkan sampah sebanyak delapan kantong.
            Bila meninjau apa yang kami lakukan ini, memang tidaklah seberapa. Untuk menyelamatkan bumi yang kian terancam kerusakannya ini, tindakan kami ibarat titik hitam kecil di tengah gurun pasir. Ia sulit untuk dilihat begitu saja, tapi tetap ada. Dengan segala posisi dan pertimbangan yang dimabil oleh para JELADRes – sapaat untuk anggota JELADRI – kami ingin menyanggah perilaku para pecinta alam yang menodai semangat mereka. Semoga sebanyak mungkin orang yang bisa menyadari hal ini. Bila orang belum mampu melihat apa yang Anda lakukan, sekali-sekali jangan berkecil hati. Sebab tujuan kita berbuat sesuatu bukan untuk dilihat. Meski tak terlihat banyak oleh banyak orang, tetapi itu tetap ada. Segala sesuatu yang kita lakukan itu ada, dan akan tetap ada, meski secara kasat mata tak terlihat.

steve agusta

*). Tulisan ini terbit dalam buku Antologi bersama berjudul "Think Green, Go Green", Pustaka Jingga, April 2013

Senin, 08 April 2013

alarm Cebongan


Ratap tangis telah berlalu. Kesedihan perlahan beranjak pergi. Atau malah dikaburkan kebencian? Entahlah. Masing-masing kita hanya bisa mereka-reka apa makna dari semua kejadian yang akhir-akhir ini berkecamuk di sekitar kita. Yang pasti, berita angkara lebih menggunung daripada perbuatan-perbuatan baik.
            Salah satunya yang masih hangat di bibir dan nyaring di telingan kita adalah kasus pembuhan di LP Cebongan. Tapi, ia pun perlahan berlalu. Para korban sudah beristirahat di peraduan kekal. Tubuh mereka meretas jalan kembali ke asalnya, debu. Jiwa mereka kembali ke Sang Pemilik yaitu Tuhan sendiri. Apakah mereka akan masuk neraka karena baru saja membunuh anggota Kopasus? Atau malah masuk surga karena sempat bertobat di detik-detik terakhir, seperti sang penjahat yang disalibkan bersama Yesus? Kita tahu. Itu urusan Tuhan.
            Namun, belakangan ini, kasus penyerangan di Cebongan kembali menjadi buah bibir media massa dan elektronik, lantaran pengakuan sebelas anggota Kopasus bahwa merekalah para pelaku penyerangan berdurasi lima belas menit itu. Beragam spekulasi mencuat tiada henti. Di satu sisi, ada yang mempersalahkan para korban dan dikelompokkan sebagai preman. Paling tidak itu juga statement yang dikeluarkan oleh Tim Investigasi dari kalangan TNI. Lalu, diberitakan pula, masyarakat akar rumput Yogyakarta lebih condong mendukung Kopasus dengan argumen, premanisme harus dibasmi! Yang menjadi pertanyaannya adalah yang perlu dibasmi adalah tindakan premanisme atau mereka yang menganut prinsip, sikap, dan ideologi premanisme? Tentu kedua hal ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, tetapi bila ditelisik lebih dalam, keduanya berbeda.
             Sementara di lain sisi, sebagian masyarakat membela para korban. Mereka mengklasifikasi tindakan penyerangan di LP Cebongan itu sebagai penyelesaian masalah berdasarkan prinsip hukum rimba. Zaman semakin modern, peradaban semakin mapan, maukah kita kembali ke zaman kuno, dimana belum ada peradaban, kebudayaan, peraturan, atau sosok yang bisa menjadi panutan? Kita patut sedikit menengok teori kontrak sosial yang pernah digaungkan John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseau. Mereka berusaha menganalisa kondisi kehidupan manusia dari masa ke masa, lalu berusaha merumuskannya. Itulah yang kita kenal sebagai teori kontrak sosial-orang membangun kesepakatan untuk tidak saling menyerang atau menyakitkan. Di sinilah fondasi dasar Hak Asasi Manusia.
            Beranglkat dari dua gelombang bersama dengan latar belakang argumentasinya masing-masing ini, kita tentu bertanya, manakah yang benar? Manakah yang perlu kita bela?
            Saya rasa, berhadapan dengan peristiwa seperti ini, tidak penting untuk saling menuding siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi layaklah kita sedikit rendah hati untuk menilai rekam jejak yang sudah kita bangun. Di sini saya hanya memfokuskan diri dari dua macam sudut pandang, yakni budaya dan pendidikan.

Budaya
            Dari sisi prinsip budaya, segala macam tindak pembunuhan di zaman ini adalah sesuatu yang perlu ditolak. Karena tindakan menghilangkan nyawa orang lain adalah merampas legitimasi Tuhan atas karyanya. Ia-lah yang menciptakan manusia, biarlah ia sendiri yang mengambilnya kembali.
            Dalam warisan budaya Indonesia pun tidak dibenarkan tindakan saling membunuh. Tindakan membunuh adalah model penyangkalan paling nyata terhadap salah satu warisan paling mulia dari nenek moyang pertiwi ini yaitu kekeluargaan. Bayangkanlah, bila kita tidak memiliki budaya kekeluargaan, bagaimana orang Papua bisa hidup besama dengan orang Jawa? Orang Jawa bisa hidup bersama orang Aceh? Orang Jawa bisa menikah dengan orang NTT? Orang Bali bisa manggung budaya bersama orang Makasar? Sungguh, tak dapat disangkal bahwa dasar dari kemampuan untuk saling menerima dan hidup bersama adalah karena kita merasa satu bagian dari yang lain.
Meminjam apa yang pernah dikumandangkan Emmanuel Levinas bahwa “yang lain adalah cermin dari diriku sendiri. Artinya, aku mampu melihat bayangan diriku dalam diri orang lain. Maka tentu aku tak rela meniadakan diriku sendiri”. Kiranya inilah yang menjadi dasar pembentukkan peradaban kasih yang layak kita pertahankan di tanah pertiwi ini.
            Sejauh saya ingat, dalam keluarga-keluarga di NTT pun tidak diajarkan untuk membunuh orang lain atas dasar alasan apapun. Adalah kemauan untuk menghargai mereka yang berbeda-lah yang menjadi warna dasar pendidikan kita sejak dini. Bergaulah pada adalam NTT dinama pohon tuak tidak berusaha menyingkirkan rumput karena masing-masing menjalankan fungsi yang sama yakni membuat tanah NTT menjadi harum di mata tetangga-tetangganya.

Pendidikan
            Peristiwa penyerangan LP Cebongan yang menewaskan empat tahanan asal NTT pun patut dipandang sebagai alarm bagi sistem pendidikan kita, khususnya bagi pendidikan muda-mudi NTT. Mungkinkah ada yang salah, dan marak dipertahankan menjadi pola laku bersama sehingga menimbulkan kecemburuan pihak tertentu?
            Muda-mudi NTT berangkat dari daerah masing-masing dengan tujuan untuk mengenyam pendidikan di Jawa. Orangtua membanting tulang menafkahi, memenuhi uang kuliah, dan menanggung segala biaya rekreatif kita yang seringkali kita tidak secara terbuka mengemukakan hal itu kepada mereka. Diam-diam kita melakonkan hal-hal yang mencederai nama baik kita sendiri.
            Peristiwa Cebongan layak dipandang sebagai alarm yang berdentang nyaring menyentuh bilik-bilik terdalam hati kita untuk mulai menengok rongsokan apa yang masih tersisa dalam hati, perilaku, dan tutur kata kita untuk segera ditinggalkan. Sudah saatnya kita berbenah laku dan berbenah tutur untuk semakin meperlihatkan kualitas kita sebagai orang terpelajar.
            Kita tak perlu menuntut siapapun untuk memutihkan coretan hitam di Cebogan. Kita sendiri, warga dan masyarakat NTT-lah yang harus bertanggungjawab memulihkan oretan hitam di Cebongan untuk kembali menebarkan harum cendana yang selama ini menjadi identitas tanah NTT.
            Peristiwa Cebongan juga tampil sebagai pengetuk pintu rumah keluarga-keluarga di NTT untuk segera membenahi cara pendidikan yang diterapkan kepada anak-anaknya. Mungkin metode rotan sang ayah dan ibu tak layak lagi diacungkan karena akan meninggalkan jejak dalam hati anak-anaknya, sehingga ketika beranjak dewasa, ia pun akan merotani orang lain. Layak dicoba pendidikan yang mengedepankan narasi budaya zaman dulu, kesalehan hidup tokoh-tokoh tertentu sehingga mampu menggerangkan hati dan pikiran sang buah hati untuk berpikir dan merasakan auranya. Mungkin metode duduk berdua, bertiga, berempat, dst. di tepi tunggu sembari mendengarkan dongeng sang ayah atau sang ibu perlu digalakkan sehingga pendidikan kognitif dan psikomotorik bagi titipan Tuhan ini berkembang bersamaan.
            Suara bedil Cebongan juga mengetuk pintu-pintu ruang kelas sekolah di NTT untuk segera mengevaluasi model pendekatan pendidikan yang selama dipraktikkan. Mungkin tidak tepat lagi guru berdiri di depan kelas dan menyaksikan murid-muridnya berlutut mengelilingi tiang bendera pada pukul 12.00 siang. Sebab yang tertinggal hanyalah kebencian pada sang guru. Bila itu tidak terlampiaskan, maka siapa saja yang menyakitinya ia akan membalasnya, bukan hanya ingin balas dendam tapi sekaligus melampiaskan tumpukan busuk yang selama ini tersusun dalam hatinya.
            Banyak hal yang bisa ditimba dari peristiwa Cebongan. Namun, kesanggupan untuk mengambil satu sisi saja dan konsisten mengaplikasiknnya dalam kehidupan kita, khusunya muda-mudi NTT, layak menjadi prioritas kita. Mari kita bersama-sama menghapus stigma premanisme yang terlanjur dikenakan publik bagi insan-insan NTT. Caranya, warisilah petuah-petuah keijaksaan yang sempat dibisikkan sang ayah atau ibu saat kita hendak berngkat ke tanah rantau.

steve agusta
kebon jeruk, 8 april 2013
*penulis adalah anggota IMMORTA (Ikatan Mahasiswa-mahasiswi Timor-Jakarta).
           

Pilih Indonesia


Sejak tiga bulan yang lalu, bapak lebih banyak diam. Ia sering termenung sendiri. Amarahnya meledak-ledak saat Jerio atau salah satu dari kami berbuat salah. Apalagi mama. Ia selalu yang menjadi sasaran amarahnya. Bila ia pulang dari kebun dan belum ada nasi atau sayur, dinding rumah tak kuasa menahan lengking suaranya. Kalau sudah begitu, kami lebih banyak diam.
            Saya sendiri bingung. Kenapa bapak tiba-tiba menjadi sangat kejam. Dengan umur yang baru menginjak 13 tahun, saya bertanya-tanya tentang perubahan sikap bapak. Saya pikir, kami tidak pernah menyakitinya. Nakal juga tidak. Kami selalu mengikuti apa yang diinginkannya.
            Seingat saya, tiga bulan lalu bapak mendapat telepon dari Om di Timor Leste. Katanya, nenek sakit parah. Ia meminta kami untuk menjenguknya. Dulu kami memang sama-sama di Bauccau. Tapi, semenjak kerusuhan pasca jajak pendapat 1999, kami mengungsi ke Oepoli – sebuah desa terpencil di ujung timur Kabupaten Kupang. Kami hanya menjalin komunikasi dengan nenek, Om, Tante, dan beberapa keluarga lain di Baucau lewat handphone. Itupun harus berjalan kaki sekitar 15 kilometer untuk mendapatkan signal telkomsel. Yah, beginilah nasip tinggal di daerah terisolir. Tempat lain sudah sangat maju, desa ini masih jauh dari terbelakang. Jangankan signal telkomsel, listrik saja belum ada. Di rumah kami memakai pelita yang terbuat dari benang dan kaleng sprite berbahan bakar minyak tanah sebagai penerang.
            Saya menduga, akhir-akhir ini bapak sering marah karena pikirannya dibebani permintaan Om. Kami harus ke Baucau. Sementara untuk sampai ke sana, kami harus punya paspor. Untuk mengurusi paspor, per orang dikenakan biaya Rp 500.000. Berarti kalau untuk kami tujuh orang, bapak harus mengeluarkan uang sebanyak Rp. 3.500.000. Itu belum termasuk biaya visa dan transportasi. Belum lagi syarat-syarat pembuatan paspor. Katanya harus punya KTP dan Kartu Keluarga. Rasanya bapak dan mama belum punya KTP Indonesia. Dua tahun yang lalu, Kepala Desa mengumumkan bahwa akan membuatkan KTP bagi para penduduk eks Timor Leste. Tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
            Tidak mungkin bapak bisa menyiapkan uang sebanyak itu. Dengan bekerja hanya sebagai petani penggarap, untuk mendapat uang sepuluh ribu saja susahnya minta ampun. Untuk biaya sekolah saja, saya dan Jerio harus membantu mencari uang dengan menanam padi di sawah milik orang-orang sekampung.
***
            Malam itu hanya saya, Jerio, bapak, dan mama yang belum tidur. Saya baru saja menyelesaikan tugas Biologi. Bapak dan mama duduk diam di balik tungku dapur. Sepintas saya memandang mereka, lalu melangkah ke kamar.
“Raul ….” suara bapak menghentikan langkah saya. “Panggil Jerio. Kalian berdua ke sini.” Saya dan Jerio berjalan ke arah mereka. Mama mengangkat wajahnya. Matanya sedikit kemerahan. Pipinya lembab. Sepertinya mama baru habis menangis. “Apakah bapak memukulnya, atau memarahinya?” saya menduga-duga.
“Jerio, bagaimana sekolahmu?” tanya bapak dengan suara datar.
“Baik bapak.”
“Apakah tidak ada waktu untuk libur?”
“Tidak. Mungkin setelah ujian semester.”
“Berapa bulan lagi?”
“Empat setengah bulan. Sekitar akhir Juni.”
“Sesekali tidak usah ke sekolah. Bantu bapak di sawah.”
Kami terdiam. Tak mungkin saya atau Jerio membantah perintah bapak. Kami takut ia marah. Apalagi sudah lewat tengah malam. Semua tetangga sudah tidur. Perkampungan sepi.
“Besok bilang ke gurumu bahwa minggu depan kita mau ke Baucau. Nenekmu sakit berat. Siang tadi Om menelepon lagi. Katanya, nenek mengharapkan kita menjenguknya. Tau kan sifat Ommu itu. Kalau kita tidak datang, ia pasti marah besar. Pake denda segala. Apalagi, ini permintaan dari nenek sendiri.”
Ia memandang ibu sebentar. Lalu melanjutkan, “hanya kita berdua. Raul, Mama, dan adik-adik tinggal. Kalau semua berangkat kita tak punya uang. Kalau urusan di batas tidak rumit, baik kalau kamu sama mama yang berangkat.”
Kami hanya bisa mendengarkan ocehan bapak. Sebenarnya saya kurang setuju dengan ide bapak. Tinggal seminggu lagi, saya dan Jerio harus ikut Ujian Tengah Semester. Tapi kalau sudah begini, bapak pasti tidak peduli. Tak mungkin juga ibu mengubah keputusannya.

***
Suara parau bus satu-satunya yang selama ini melayani transportasi andalan kami ke kota menyibakkan telinga. Jerio dan bapak sudah menanti di depan rumah. Mama hanya terdiam. Wajahnya muram. Saya rasa ia sangat sedih. Ia pasti merindukan kesempatan untuk bertemu dengan saudara-saudaranya. Ia merindukan kesempatan bersua dengan mamanya. Paling tidak sebuah pelukan kasih dari seorang ibu kepada anaknya, yang telah lama “menghilang”. Maklum, sudah tigabelas tahun semenjak jajak pendapat, mereka belum pernah bertemu. Komunikasi hanya lewat handphone.
Menjelang sore, Jerio dan bapak tiba di Atambua. Mereka menginap di sebuah keluarga kenalan bapak. Jerio merasa sangat lelah. Maklum kondisi jalan masih jauh dari layak. Berlubang-lubang, belum beraspal, dan berdebu. Orang-orang kampung sering berseloroh, ‘silih satu lubang, masuk lima lubang’.
Sekitar pukul 06.00, bapak membangunkan Jerio, dan menyuruhnya mencuci piring. Ia mengikuti saja. Ia takut kalau bapak marah. Apalagi mereka sedang di rumah orang. Setelah makan pagi mereka berangkat ke basecamp Timor Travel, sebuah agen travel yang melayani transportasi Atambua-Dili (Pergi-Pulang).
“Mana paspornya pak?” tanya petugas travel.
“Kami orang asli Timor Leste yang masih tinggal di Indonesia sejak jajak pendapat”.
“Bapak mau ke mana?”
“Ke Baucau”.
“Bapak harus membuat paspor dulu. Kalau mau masuk ke sana harus pakai paspor.”
“Saya tidak punya waktu dan uang untuk buat paspor.”
“Kalau begitu Bapak tidak bisa ke sana.”
“Saya mohon dicarikan caranya agar saya bisa ke sana. Ibu mertua saya sakit keras.”
“Ya, tapi untuk masuk ke sana Bapak harus pakai paspor.”
“Jangankan paspor. KTP saja saya tidak punya. Pernah dijanjikan untuk diuruskan. Kami sudah membayar per Kepala Keluarga seratus ribu. Tapi, sampai sekarang belum ada.”
“Sudah berapa lama tinggal di Indoensia?”
“Sejak pasca jajak pendapat. Kurang lebih tigabelas tahun.”
“Mengapa tidak kembali saja ke Bauccau?”
“Saya bersama keluarga sudah pilih Indonesia. Meski harus melarat seperti ini, kami tetap pilih Indonesia.”
“Oh……”
“Ferdi, Bapak sama anaknya ini mau ke Bauccau, tapi tidak punya paspor. Kamu bisa bantu?”
“Kalau dua orang kena $100 USA. Pulang juga sama,” jawab sang sopir travel.
Bapak mengangguk. Jerio hanya diam. Ia tak tahu mereka akan dibuat seperti apa. Bapak berbisik, “Ikuti saja apa yang mereka katakan.”
Mobil travel perlahan meninggalkan kota Atambua. Di sisi kiri, tampak areal persawahan dengan padi menghijau terbentang luas. Sementara di kanan, laut biru memukau mata. Di bahu jalan, beberapa anak tampak berpakaian putih-biru. Rupanya mereka baru saja pulang sekolah. Travel melaju kencang diiringi lagu-lagu portu. Dari kejauhan tampak sebuah papan di sisi kiri jalan bertuliskan  “Maliana. Perbatasan Indonesia-Timor Leste”.
Tiba-tiba suara sopir membuyarkan lamunan. “Yang tidak punya paspor masuk ke kolom kursi.”
“Hah? Kenapa bapak?” tanya Jerio.
“Ikuti saja,” perintah bapak sambil menarik lengannya ke bawah.
Jerio melipat badan sedemikian kecil di bawah kursi penumpang agar tidak kelihatan dari jendela mobil. Demikianpun bapak.
“Semua penumpang turun. Silakan lapor ke pos!” terdengar suara Polisi Indonesia.
“Yakin tidak ada orang yang masih tinggal di mobil?”
“Tidak ada Pak. Saya hanya membawa sepuluh penumpang. Nama-nama mereka ada dalam daftar. Di sini hanya barang-barang,” jelas Pak Sopir.
Beberapa Polisi menengok ke dalam mobil.
“Yakin tidak ada orang di dalam,” teriak seorang polisi dari balik jendela mobil.
“Tidak ada Pak”.
“Kamu benar-benar yakin tidak ada? Kalau ada, saya rendam kamu di laut.”
            Jerio ketakutan. Apakah polisi itu melihatnya? Atau Bapaknya? Keringat mulai bercucuran darai kening Jerio. Ia melipat tubuh agar lebih kecil lagi.
“Tidak ada pak. Saya sudah biasa lewat sini. Saya tahu aturan yang berlaku di sini,” kata Pak Sopir.
“Oh. Lalu kaki siapa ini? Buka pintu belakang! Cepat!”
“Crekkk”, bunyi pintu bekang mobil dibuka.
Polisi itu menyibakan tas para penumpang. “Yang ada di dalam mobil keluar”, teriaknya.
“Masih ada orang di dalam mobil?” seru dua orang polisi hampir bersamaan. Mereka mendekat.
Jerio tak bisa menahan rasa takut lagi. Rasanya ingin menjawab atau keluar dari persembunyiannya sebelum mereka ditemukan. Ia melihat ke arah bapaknya. Bapaknya hanya diam. Matanya ditutup rapat. Rasanya seperti seseorang memindahkan tas-tas yang ada di belakang Jerio.
 “Crekk!” Pintu belakang kembali ditutup. Oh, rupanya sopir yang merapikan kembali tas para penumpang. Syukur, kalau semua ini berakhir,” keluh Jerio sambil meneghembuskan napas yang sudah ia tahan dari tadi.
            Penumpang lain kembali ke atas mobil. Pak Sopir menginjak pedal gas. Mobil meluncur cepat. Jerio hendak mendorong tubuh keluar dari bawah kursi. Tapi, Bapak manahan tubuhnya. Ia memberi isyarat diam. Tak sampai sepuluh menit kami sampai ke Pos TNI. Penumpang lain turun. Pak Sopir menghampiri mereka. “Tunggu saya di sini,” pesan Pak Sopir.
Tak lama berselang, ia datang bersama seorang tentara dan seorang pemuda. Jerio dan Bapaknya dibawa masuk ke salah satu ruangan. Seorang pumuda menghampiri mereka. Ia menawarkan penukaran uang dari rupiah ke dollar. Bapak menerima tawaran itu.
Di ruangan itu, sang pemuda meminta bayaran. Bapak memberikan $100.
“Pembagiannya setelah saya kembali,” jelas si pemuda disambut angguk pak sopir dan pak tentara.
            Jerio dan Bapaknya dibawa keluar dari ruangan lewat pintu belakang. “Tunggu saya di sini”, kata si pemuda. Tak lama kemudian ia muncul lagi dengan mengenderai sebuah sepeda motor. “Ayo naik”. Ia memacu motor melewati gerbang perbatasan bertuliskan “Welcome to Timor Leste”. Ketika sampai ke Pos Polisi Timor Leste, mereka berhenti. Ia turun, mengatakan bebera kalimat kepada polisi yang sedang berdiri di palang pembatas. Ia menyodorkan genggaman tangannya kepada polisi itu, lalu kembali ke arah mereka. Motor dihidupkan dan mereka melanjutkan perjalanan.
            Sekitar satu tikungan dari pos perbatasan ada sebuah warung. Mereka berhenti di situ. Katanya, “Kalian tunggu di sini. Sepuluh menit lagi travel yang tadi berhenti di Pos Polisi Timor Leste akan datang. Kalian numpang saja. Tidak usah takut. Semua aman.” Ia pun pergi.        
            Benar. Tak lama berselang, travel yang dimaksud datang. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Rumah penduduk masih sangat sederhana. Hanya beratap daun dan berdinding bebak. Belum ada perubahan signifikan.
            Malam sudah memeluk bumi Lorosae. Mobil yang mereka tumpangi meliuk-liuk kencang di tikungan-tikungan tajam yang kadang menanjak, kadang menurun. Ketika mereka memasuki kota Dili, Om menelpon bapak. Jerio tak bisa mendengar apa yang dikatakan Omnya. Hanya jawaban “ya” yang keluar dari mulut bapak. Penumpang lain sudah turun di tempat tujuan mereka masing-masing. Tinggal Jerio dan bapak. Sopir menginjak pedal gas. Mobil meluncur kencang ke balik bukit, ke arah Bauccau. Di tengah jalan, mereka dihadang. Beberapa orang bangkit dari tidurnya di semak-semak pinggir jalan. Di antara mereka muncul juga Om. Ia menghampiri mobil. Bapak turun dari mobil. Om mendekatinya. Dalam hitungan detik, bapak terkulai. Darah bercucuran deras dari balik bajunya. Jerio hanya diam di kursinya. “Mungkinkah Om membunuh bapak karena kami memilih Indonesia?” pikir Jerio.
“Kau, turun!” teriak Omnya.
Dengan sigap Jerio menjatuhkan handphone milik bapanya ke pangkuan sopir. “Mudah-mudahan sopir membawa rekaman ini kepadamu, mama. Kami tak pernah tahu nenek sakit atau tidak. Saya dan bapak telah tiada. Kami mati karena pilih Indonesia,” pikir Jerio sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

steve agusta

*) Bauccau adalah salah satu kampung yang terletak di pinggir kota Dili, Timor Leste.
*) Lorosae dalam Bahasa Tetun (Timor Leste) berarti matahari terbit. Sapaan ini biasanya dipakai untuk menyebut Timor Leste yang letaknya paling Timur dari Pulau Timor.


Cat: Cerpen ini masuk dalam kategori 10 cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen 2013 yang diadakan oleh FAM Indonesia.


Sabtu, 02 Februari 2013

50 Penyair Muda Meneropong Realitas Indonesia

Presiden Pertama Indonesia, Soekarno (alm) dalam sebuah pidatonya pernah mengatakan, “Berikanlah kepada saya 1000 orangtua, maka saya akan memindahkan Gunung Simeru dari akarnya; tapi berikan kepada saya 10 pemuda yang berbakti kepada tanah air, maka saya akan mengguncang dunia”. Inilah ungkapan puji dan puja bagi semangat juang para pemuda dan pemudi di masanya. Soekarno menggunakan ungkapan ini untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air para pemuda-pemudi untuk bangkit melawan penjajah. Kemerdekan menjadi tujuan mutlak yang tak bisa ditawar.
            Ungkapan Soekarno ini sangat kontekstual pada masa itu. Namun, bagi kaum muda masa kini, apa implikasi dari ungkapan itu? Sebagai kaum muda yang melek sejarah, sudah sepantasnya ungkapan itu menyisir hati dan jiwa kita untuk melihat laku mana yang harus kita wujudkan dalam keseharian kita. Sekecil apapun itu, pasti memberi efek yang sangat besar di kemudian hari. Sudahkah kaum muda masa kini memikirkan hal ini?
            Pada zaman yang dihiasi hiruk pikuk dan “budaya bunglon” (=suka berubah sesuai tuntutan zaman) ini, beberapa kaum muda secara eksplisit ingin mengatualisasikan sari dari pesan Soekarno. Dengan polos, luguh, dan niat suci mereka mengambil jarak dengan realitas, lalu meneropongnya dalam-dalam. Hasil peneropongan mereka itu dituangkan dalam puisi-puisi yang syarat makna.
            Mereka bukan penyair ternama yang telah mencatatkan namanya di ranah kesusasteraan Indonesia. Mereka bukan politisi yang membicarakan penderitaan rakyat sekaligus mengeruk uang rakyat untuk pesta pora dan biaya kehidupan partai. Mereka hanyalah insan yang lahir ke dunia untuk membawa perubahan-perubahan demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik.
            Dalam buku “Kejora yang Setia Berpijar”, ke-50 penyair muda tampil dengan satu fokus sorotan mata pada makna “Pahlawan di Mataku”. Sembari mengusung semangat warisan Soekarno, mereka memberi warna kepada sejarah Indonesia masa kini. Bagi ke-50 penyair ini, seorang Pahlawan bukan hanya mereka yang mengacungkan bambu runcing di masa Soekarno, bukan juga mereka (menteri) yang berhasil menjalankan amanah Presiden dalam Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu I&II, tapi termasuk pula tukang sapu jalan.
            Jasa para petani yang menyuplai beras bagi kehidupan penduduk Indonesia dan dunia, mendapat porsi perhatian yang sangat besar dalam perspektif para penyair muda ini. //di sisi tebing.// kedua kaki keriput, kedua tangan lemah bertarung dengan ilalang lebat//tulang yang tak kuat bergetar berpegangan pada akar beluar// (Karya Novita Suchi). Atau, //rembulan ini masih sama//purnama ini masih sama//seperti duapuluh tahun lalu//saat pacul tuaku membelah tanah ini//peluh mencair di bidang-bidang pematang// (Karya Steve Agusta). Atau //benih-benih padi terhampar di sawah//sosok pak tua menggarap tanah//peluhnya beradu dengan pasrah//menatap sang surya yang enggan mengalah// (Karya Melati Pertiwi Puteri).
            Selain itu, masih ada sejuta pandang dari sisi lain yang mengangkat jasa orang-orang yang selama ini kita anggap biasa saja. Para guru, ibu rumah tangga, sahabat adalah objek yang disasar ke-50 penyair ini. Mereka mengahdirkan perspektif baru. Dengan rangkaian kata, mereka berusaha menerjemahkan seruan Soekarono tadi dalam buku “Kejora yang Setia Berpijar” yang sarat makna ini.
            Mata dan hati tak akan lelah berdecak kagum pada tarian pena para penyair muda ini. Mereka, dengan segala kemampuan yang dimiliki, menyematkan semangat saling menghargai, apapun profesi yang kita miliki. Lebih dari itu semua, mereka telah mengabadikan setiap momen penglihatan mereka akan realitas yang ada di sekitar mereka. Mata pembaca dijamin tak akan lelah untuk menyisir halaman demi halaman dari “Kejora yang Setia Berpijar”, terbiatan FAM Publishing ini. Selamat memasuki pertapaan penuh makna dalam tuntunan ke-50 penyair muda ini.

Steve Agusta

[Info pemesanan dan penerbitan di FAM Publishing hubungi Call Centre 0812 5982 1511, atau via email forumaktifmenulis@yahoo.com, dan kunjungi web kami di www.famindonesia.com].