Senin, 08 April 2013

alarm Cebongan


Ratap tangis telah berlalu. Kesedihan perlahan beranjak pergi. Atau malah dikaburkan kebencian? Entahlah. Masing-masing kita hanya bisa mereka-reka apa makna dari semua kejadian yang akhir-akhir ini berkecamuk di sekitar kita. Yang pasti, berita angkara lebih menggunung daripada perbuatan-perbuatan baik.
            Salah satunya yang masih hangat di bibir dan nyaring di telingan kita adalah kasus pembuhan di LP Cebongan. Tapi, ia pun perlahan berlalu. Para korban sudah beristirahat di peraduan kekal. Tubuh mereka meretas jalan kembali ke asalnya, debu. Jiwa mereka kembali ke Sang Pemilik yaitu Tuhan sendiri. Apakah mereka akan masuk neraka karena baru saja membunuh anggota Kopasus? Atau malah masuk surga karena sempat bertobat di detik-detik terakhir, seperti sang penjahat yang disalibkan bersama Yesus? Kita tahu. Itu urusan Tuhan.
            Namun, belakangan ini, kasus penyerangan di Cebongan kembali menjadi buah bibir media massa dan elektronik, lantaran pengakuan sebelas anggota Kopasus bahwa merekalah para pelaku penyerangan berdurasi lima belas menit itu. Beragam spekulasi mencuat tiada henti. Di satu sisi, ada yang mempersalahkan para korban dan dikelompokkan sebagai preman. Paling tidak itu juga statement yang dikeluarkan oleh Tim Investigasi dari kalangan TNI. Lalu, diberitakan pula, masyarakat akar rumput Yogyakarta lebih condong mendukung Kopasus dengan argumen, premanisme harus dibasmi! Yang menjadi pertanyaannya adalah yang perlu dibasmi adalah tindakan premanisme atau mereka yang menganut prinsip, sikap, dan ideologi premanisme? Tentu kedua hal ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, tetapi bila ditelisik lebih dalam, keduanya berbeda.
             Sementara di lain sisi, sebagian masyarakat membela para korban. Mereka mengklasifikasi tindakan penyerangan di LP Cebongan itu sebagai penyelesaian masalah berdasarkan prinsip hukum rimba. Zaman semakin modern, peradaban semakin mapan, maukah kita kembali ke zaman kuno, dimana belum ada peradaban, kebudayaan, peraturan, atau sosok yang bisa menjadi panutan? Kita patut sedikit menengok teori kontrak sosial yang pernah digaungkan John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseau. Mereka berusaha menganalisa kondisi kehidupan manusia dari masa ke masa, lalu berusaha merumuskannya. Itulah yang kita kenal sebagai teori kontrak sosial-orang membangun kesepakatan untuk tidak saling menyerang atau menyakitkan. Di sinilah fondasi dasar Hak Asasi Manusia.
            Beranglkat dari dua gelombang bersama dengan latar belakang argumentasinya masing-masing ini, kita tentu bertanya, manakah yang benar? Manakah yang perlu kita bela?
            Saya rasa, berhadapan dengan peristiwa seperti ini, tidak penting untuk saling menuding siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi layaklah kita sedikit rendah hati untuk menilai rekam jejak yang sudah kita bangun. Di sini saya hanya memfokuskan diri dari dua macam sudut pandang, yakni budaya dan pendidikan.

Budaya
            Dari sisi prinsip budaya, segala macam tindak pembunuhan di zaman ini adalah sesuatu yang perlu ditolak. Karena tindakan menghilangkan nyawa orang lain adalah merampas legitimasi Tuhan atas karyanya. Ia-lah yang menciptakan manusia, biarlah ia sendiri yang mengambilnya kembali.
            Dalam warisan budaya Indonesia pun tidak dibenarkan tindakan saling membunuh. Tindakan membunuh adalah model penyangkalan paling nyata terhadap salah satu warisan paling mulia dari nenek moyang pertiwi ini yaitu kekeluargaan. Bayangkanlah, bila kita tidak memiliki budaya kekeluargaan, bagaimana orang Papua bisa hidup besama dengan orang Jawa? Orang Jawa bisa hidup bersama orang Aceh? Orang Jawa bisa menikah dengan orang NTT? Orang Bali bisa manggung budaya bersama orang Makasar? Sungguh, tak dapat disangkal bahwa dasar dari kemampuan untuk saling menerima dan hidup bersama adalah karena kita merasa satu bagian dari yang lain.
Meminjam apa yang pernah dikumandangkan Emmanuel Levinas bahwa “yang lain adalah cermin dari diriku sendiri. Artinya, aku mampu melihat bayangan diriku dalam diri orang lain. Maka tentu aku tak rela meniadakan diriku sendiri”. Kiranya inilah yang menjadi dasar pembentukkan peradaban kasih yang layak kita pertahankan di tanah pertiwi ini.
            Sejauh saya ingat, dalam keluarga-keluarga di NTT pun tidak diajarkan untuk membunuh orang lain atas dasar alasan apapun. Adalah kemauan untuk menghargai mereka yang berbeda-lah yang menjadi warna dasar pendidikan kita sejak dini. Bergaulah pada adalam NTT dinama pohon tuak tidak berusaha menyingkirkan rumput karena masing-masing menjalankan fungsi yang sama yakni membuat tanah NTT menjadi harum di mata tetangga-tetangganya.

Pendidikan
            Peristiwa penyerangan LP Cebongan yang menewaskan empat tahanan asal NTT pun patut dipandang sebagai alarm bagi sistem pendidikan kita, khususnya bagi pendidikan muda-mudi NTT. Mungkinkah ada yang salah, dan marak dipertahankan menjadi pola laku bersama sehingga menimbulkan kecemburuan pihak tertentu?
            Muda-mudi NTT berangkat dari daerah masing-masing dengan tujuan untuk mengenyam pendidikan di Jawa. Orangtua membanting tulang menafkahi, memenuhi uang kuliah, dan menanggung segala biaya rekreatif kita yang seringkali kita tidak secara terbuka mengemukakan hal itu kepada mereka. Diam-diam kita melakonkan hal-hal yang mencederai nama baik kita sendiri.
            Peristiwa Cebongan layak dipandang sebagai alarm yang berdentang nyaring menyentuh bilik-bilik terdalam hati kita untuk mulai menengok rongsokan apa yang masih tersisa dalam hati, perilaku, dan tutur kata kita untuk segera ditinggalkan. Sudah saatnya kita berbenah laku dan berbenah tutur untuk semakin meperlihatkan kualitas kita sebagai orang terpelajar.
            Kita tak perlu menuntut siapapun untuk memutihkan coretan hitam di Cebogan. Kita sendiri, warga dan masyarakat NTT-lah yang harus bertanggungjawab memulihkan oretan hitam di Cebongan untuk kembali menebarkan harum cendana yang selama ini menjadi identitas tanah NTT.
            Peristiwa Cebongan juga tampil sebagai pengetuk pintu rumah keluarga-keluarga di NTT untuk segera membenahi cara pendidikan yang diterapkan kepada anak-anaknya. Mungkin metode rotan sang ayah dan ibu tak layak lagi diacungkan karena akan meninggalkan jejak dalam hati anak-anaknya, sehingga ketika beranjak dewasa, ia pun akan merotani orang lain. Layak dicoba pendidikan yang mengedepankan narasi budaya zaman dulu, kesalehan hidup tokoh-tokoh tertentu sehingga mampu menggerangkan hati dan pikiran sang buah hati untuk berpikir dan merasakan auranya. Mungkin metode duduk berdua, bertiga, berempat, dst. di tepi tunggu sembari mendengarkan dongeng sang ayah atau sang ibu perlu digalakkan sehingga pendidikan kognitif dan psikomotorik bagi titipan Tuhan ini berkembang bersamaan.
            Suara bedil Cebongan juga mengetuk pintu-pintu ruang kelas sekolah di NTT untuk segera mengevaluasi model pendekatan pendidikan yang selama dipraktikkan. Mungkin tidak tepat lagi guru berdiri di depan kelas dan menyaksikan murid-muridnya berlutut mengelilingi tiang bendera pada pukul 12.00 siang. Sebab yang tertinggal hanyalah kebencian pada sang guru. Bila itu tidak terlampiaskan, maka siapa saja yang menyakitinya ia akan membalasnya, bukan hanya ingin balas dendam tapi sekaligus melampiaskan tumpukan busuk yang selama ini tersusun dalam hatinya.
            Banyak hal yang bisa ditimba dari peristiwa Cebongan. Namun, kesanggupan untuk mengambil satu sisi saja dan konsisten mengaplikasiknnya dalam kehidupan kita, khusunya muda-mudi NTT, layak menjadi prioritas kita. Mari kita bersama-sama menghapus stigma premanisme yang terlanjur dikenakan publik bagi insan-insan NTT. Caranya, warisilah petuah-petuah keijaksaan yang sempat dibisikkan sang ayah atau ibu saat kita hendak berngkat ke tanah rantau.

steve agusta
kebon jeruk, 8 april 2013
*penulis adalah anggota IMMORTA (Ikatan Mahasiswa-mahasiswi Timor-Jakarta).
           

Tidak ada komentar: