Senin, 08 April 2013

Pilih Indonesia


Sejak tiga bulan yang lalu, bapak lebih banyak diam. Ia sering termenung sendiri. Amarahnya meledak-ledak saat Jerio atau salah satu dari kami berbuat salah. Apalagi mama. Ia selalu yang menjadi sasaran amarahnya. Bila ia pulang dari kebun dan belum ada nasi atau sayur, dinding rumah tak kuasa menahan lengking suaranya. Kalau sudah begitu, kami lebih banyak diam.
            Saya sendiri bingung. Kenapa bapak tiba-tiba menjadi sangat kejam. Dengan umur yang baru menginjak 13 tahun, saya bertanya-tanya tentang perubahan sikap bapak. Saya pikir, kami tidak pernah menyakitinya. Nakal juga tidak. Kami selalu mengikuti apa yang diinginkannya.
            Seingat saya, tiga bulan lalu bapak mendapat telepon dari Om di Timor Leste. Katanya, nenek sakit parah. Ia meminta kami untuk menjenguknya. Dulu kami memang sama-sama di Bauccau. Tapi, semenjak kerusuhan pasca jajak pendapat 1999, kami mengungsi ke Oepoli – sebuah desa terpencil di ujung timur Kabupaten Kupang. Kami hanya menjalin komunikasi dengan nenek, Om, Tante, dan beberapa keluarga lain di Baucau lewat handphone. Itupun harus berjalan kaki sekitar 15 kilometer untuk mendapatkan signal telkomsel. Yah, beginilah nasip tinggal di daerah terisolir. Tempat lain sudah sangat maju, desa ini masih jauh dari terbelakang. Jangankan signal telkomsel, listrik saja belum ada. Di rumah kami memakai pelita yang terbuat dari benang dan kaleng sprite berbahan bakar minyak tanah sebagai penerang.
            Saya menduga, akhir-akhir ini bapak sering marah karena pikirannya dibebani permintaan Om. Kami harus ke Baucau. Sementara untuk sampai ke sana, kami harus punya paspor. Untuk mengurusi paspor, per orang dikenakan biaya Rp 500.000. Berarti kalau untuk kami tujuh orang, bapak harus mengeluarkan uang sebanyak Rp. 3.500.000. Itu belum termasuk biaya visa dan transportasi. Belum lagi syarat-syarat pembuatan paspor. Katanya harus punya KTP dan Kartu Keluarga. Rasanya bapak dan mama belum punya KTP Indonesia. Dua tahun yang lalu, Kepala Desa mengumumkan bahwa akan membuatkan KTP bagi para penduduk eks Timor Leste. Tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.
            Tidak mungkin bapak bisa menyiapkan uang sebanyak itu. Dengan bekerja hanya sebagai petani penggarap, untuk mendapat uang sepuluh ribu saja susahnya minta ampun. Untuk biaya sekolah saja, saya dan Jerio harus membantu mencari uang dengan menanam padi di sawah milik orang-orang sekampung.
***
            Malam itu hanya saya, Jerio, bapak, dan mama yang belum tidur. Saya baru saja menyelesaikan tugas Biologi. Bapak dan mama duduk diam di balik tungku dapur. Sepintas saya memandang mereka, lalu melangkah ke kamar.
“Raul ….” suara bapak menghentikan langkah saya. “Panggil Jerio. Kalian berdua ke sini.” Saya dan Jerio berjalan ke arah mereka. Mama mengangkat wajahnya. Matanya sedikit kemerahan. Pipinya lembab. Sepertinya mama baru habis menangis. “Apakah bapak memukulnya, atau memarahinya?” saya menduga-duga.
“Jerio, bagaimana sekolahmu?” tanya bapak dengan suara datar.
“Baik bapak.”
“Apakah tidak ada waktu untuk libur?”
“Tidak. Mungkin setelah ujian semester.”
“Berapa bulan lagi?”
“Empat setengah bulan. Sekitar akhir Juni.”
“Sesekali tidak usah ke sekolah. Bantu bapak di sawah.”
Kami terdiam. Tak mungkin saya atau Jerio membantah perintah bapak. Kami takut ia marah. Apalagi sudah lewat tengah malam. Semua tetangga sudah tidur. Perkampungan sepi.
“Besok bilang ke gurumu bahwa minggu depan kita mau ke Baucau. Nenekmu sakit berat. Siang tadi Om menelepon lagi. Katanya, nenek mengharapkan kita menjenguknya. Tau kan sifat Ommu itu. Kalau kita tidak datang, ia pasti marah besar. Pake denda segala. Apalagi, ini permintaan dari nenek sendiri.”
Ia memandang ibu sebentar. Lalu melanjutkan, “hanya kita berdua. Raul, Mama, dan adik-adik tinggal. Kalau semua berangkat kita tak punya uang. Kalau urusan di batas tidak rumit, baik kalau kamu sama mama yang berangkat.”
Kami hanya bisa mendengarkan ocehan bapak. Sebenarnya saya kurang setuju dengan ide bapak. Tinggal seminggu lagi, saya dan Jerio harus ikut Ujian Tengah Semester. Tapi kalau sudah begini, bapak pasti tidak peduli. Tak mungkin juga ibu mengubah keputusannya.

***
Suara parau bus satu-satunya yang selama ini melayani transportasi andalan kami ke kota menyibakkan telinga. Jerio dan bapak sudah menanti di depan rumah. Mama hanya terdiam. Wajahnya muram. Saya rasa ia sangat sedih. Ia pasti merindukan kesempatan untuk bertemu dengan saudara-saudaranya. Ia merindukan kesempatan bersua dengan mamanya. Paling tidak sebuah pelukan kasih dari seorang ibu kepada anaknya, yang telah lama “menghilang”. Maklum, sudah tigabelas tahun semenjak jajak pendapat, mereka belum pernah bertemu. Komunikasi hanya lewat handphone.
Menjelang sore, Jerio dan bapak tiba di Atambua. Mereka menginap di sebuah keluarga kenalan bapak. Jerio merasa sangat lelah. Maklum kondisi jalan masih jauh dari layak. Berlubang-lubang, belum beraspal, dan berdebu. Orang-orang kampung sering berseloroh, ‘silih satu lubang, masuk lima lubang’.
Sekitar pukul 06.00, bapak membangunkan Jerio, dan menyuruhnya mencuci piring. Ia mengikuti saja. Ia takut kalau bapak marah. Apalagi mereka sedang di rumah orang. Setelah makan pagi mereka berangkat ke basecamp Timor Travel, sebuah agen travel yang melayani transportasi Atambua-Dili (Pergi-Pulang).
“Mana paspornya pak?” tanya petugas travel.
“Kami orang asli Timor Leste yang masih tinggal di Indonesia sejak jajak pendapat”.
“Bapak mau ke mana?”
“Ke Baucau”.
“Bapak harus membuat paspor dulu. Kalau mau masuk ke sana harus pakai paspor.”
“Saya tidak punya waktu dan uang untuk buat paspor.”
“Kalau begitu Bapak tidak bisa ke sana.”
“Saya mohon dicarikan caranya agar saya bisa ke sana. Ibu mertua saya sakit keras.”
“Ya, tapi untuk masuk ke sana Bapak harus pakai paspor.”
“Jangankan paspor. KTP saja saya tidak punya. Pernah dijanjikan untuk diuruskan. Kami sudah membayar per Kepala Keluarga seratus ribu. Tapi, sampai sekarang belum ada.”
“Sudah berapa lama tinggal di Indoensia?”
“Sejak pasca jajak pendapat. Kurang lebih tigabelas tahun.”
“Mengapa tidak kembali saja ke Bauccau?”
“Saya bersama keluarga sudah pilih Indonesia. Meski harus melarat seperti ini, kami tetap pilih Indonesia.”
“Oh……”
“Ferdi, Bapak sama anaknya ini mau ke Bauccau, tapi tidak punya paspor. Kamu bisa bantu?”
“Kalau dua orang kena $100 USA. Pulang juga sama,” jawab sang sopir travel.
Bapak mengangguk. Jerio hanya diam. Ia tak tahu mereka akan dibuat seperti apa. Bapak berbisik, “Ikuti saja apa yang mereka katakan.”
Mobil travel perlahan meninggalkan kota Atambua. Di sisi kiri, tampak areal persawahan dengan padi menghijau terbentang luas. Sementara di kanan, laut biru memukau mata. Di bahu jalan, beberapa anak tampak berpakaian putih-biru. Rupanya mereka baru saja pulang sekolah. Travel melaju kencang diiringi lagu-lagu portu. Dari kejauhan tampak sebuah papan di sisi kiri jalan bertuliskan  “Maliana. Perbatasan Indonesia-Timor Leste”.
Tiba-tiba suara sopir membuyarkan lamunan. “Yang tidak punya paspor masuk ke kolom kursi.”
“Hah? Kenapa bapak?” tanya Jerio.
“Ikuti saja,” perintah bapak sambil menarik lengannya ke bawah.
Jerio melipat badan sedemikian kecil di bawah kursi penumpang agar tidak kelihatan dari jendela mobil. Demikianpun bapak.
“Semua penumpang turun. Silakan lapor ke pos!” terdengar suara Polisi Indonesia.
“Yakin tidak ada orang yang masih tinggal di mobil?”
“Tidak ada Pak. Saya hanya membawa sepuluh penumpang. Nama-nama mereka ada dalam daftar. Di sini hanya barang-barang,” jelas Pak Sopir.
Beberapa Polisi menengok ke dalam mobil.
“Yakin tidak ada orang di dalam,” teriak seorang polisi dari balik jendela mobil.
“Tidak ada Pak”.
“Kamu benar-benar yakin tidak ada? Kalau ada, saya rendam kamu di laut.”
            Jerio ketakutan. Apakah polisi itu melihatnya? Atau Bapaknya? Keringat mulai bercucuran darai kening Jerio. Ia melipat tubuh agar lebih kecil lagi.
“Tidak ada pak. Saya sudah biasa lewat sini. Saya tahu aturan yang berlaku di sini,” kata Pak Sopir.
“Oh. Lalu kaki siapa ini? Buka pintu belakang! Cepat!”
“Crekkk”, bunyi pintu bekang mobil dibuka.
Polisi itu menyibakan tas para penumpang. “Yang ada di dalam mobil keluar”, teriaknya.
“Masih ada orang di dalam mobil?” seru dua orang polisi hampir bersamaan. Mereka mendekat.
Jerio tak bisa menahan rasa takut lagi. Rasanya ingin menjawab atau keluar dari persembunyiannya sebelum mereka ditemukan. Ia melihat ke arah bapaknya. Bapaknya hanya diam. Matanya ditutup rapat. Rasanya seperti seseorang memindahkan tas-tas yang ada di belakang Jerio.
 “Crekk!” Pintu belakang kembali ditutup. Oh, rupanya sopir yang merapikan kembali tas para penumpang. Syukur, kalau semua ini berakhir,” keluh Jerio sambil meneghembuskan napas yang sudah ia tahan dari tadi.
            Penumpang lain kembali ke atas mobil. Pak Sopir menginjak pedal gas. Mobil meluncur cepat. Jerio hendak mendorong tubuh keluar dari bawah kursi. Tapi, Bapak manahan tubuhnya. Ia memberi isyarat diam. Tak sampai sepuluh menit kami sampai ke Pos TNI. Penumpang lain turun. Pak Sopir menghampiri mereka. “Tunggu saya di sini,” pesan Pak Sopir.
Tak lama berselang, ia datang bersama seorang tentara dan seorang pemuda. Jerio dan Bapaknya dibawa masuk ke salah satu ruangan. Seorang pumuda menghampiri mereka. Ia menawarkan penukaran uang dari rupiah ke dollar. Bapak menerima tawaran itu.
Di ruangan itu, sang pemuda meminta bayaran. Bapak memberikan $100.
“Pembagiannya setelah saya kembali,” jelas si pemuda disambut angguk pak sopir dan pak tentara.
            Jerio dan Bapaknya dibawa keluar dari ruangan lewat pintu belakang. “Tunggu saya di sini”, kata si pemuda. Tak lama kemudian ia muncul lagi dengan mengenderai sebuah sepeda motor. “Ayo naik”. Ia memacu motor melewati gerbang perbatasan bertuliskan “Welcome to Timor Leste”. Ketika sampai ke Pos Polisi Timor Leste, mereka berhenti. Ia turun, mengatakan bebera kalimat kepada polisi yang sedang berdiri di palang pembatas. Ia menyodorkan genggaman tangannya kepada polisi itu, lalu kembali ke arah mereka. Motor dihidupkan dan mereka melanjutkan perjalanan.
            Sekitar satu tikungan dari pos perbatasan ada sebuah warung. Mereka berhenti di situ. Katanya, “Kalian tunggu di sini. Sepuluh menit lagi travel yang tadi berhenti di Pos Polisi Timor Leste akan datang. Kalian numpang saja. Tidak usah takut. Semua aman.” Ia pun pergi.        
            Benar. Tak lama berselang, travel yang dimaksud datang. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Rumah penduduk masih sangat sederhana. Hanya beratap daun dan berdinding bebak. Belum ada perubahan signifikan.
            Malam sudah memeluk bumi Lorosae. Mobil yang mereka tumpangi meliuk-liuk kencang di tikungan-tikungan tajam yang kadang menanjak, kadang menurun. Ketika mereka memasuki kota Dili, Om menelpon bapak. Jerio tak bisa mendengar apa yang dikatakan Omnya. Hanya jawaban “ya” yang keluar dari mulut bapak. Penumpang lain sudah turun di tempat tujuan mereka masing-masing. Tinggal Jerio dan bapak. Sopir menginjak pedal gas. Mobil meluncur kencang ke balik bukit, ke arah Bauccau. Di tengah jalan, mereka dihadang. Beberapa orang bangkit dari tidurnya di semak-semak pinggir jalan. Di antara mereka muncul juga Om. Ia menghampiri mobil. Bapak turun dari mobil. Om mendekatinya. Dalam hitungan detik, bapak terkulai. Darah bercucuran deras dari balik bajunya. Jerio hanya diam di kursinya. “Mungkinkah Om membunuh bapak karena kami memilih Indonesia?” pikir Jerio.
“Kau, turun!” teriak Omnya.
Dengan sigap Jerio menjatuhkan handphone milik bapanya ke pangkuan sopir. “Mudah-mudahan sopir membawa rekaman ini kepadamu, mama. Kami tak pernah tahu nenek sakit atau tidak. Saya dan bapak telah tiada. Kami mati karena pilih Indonesia,” pikir Jerio sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

steve agusta

*) Bauccau adalah salah satu kampung yang terletak di pinggir kota Dili, Timor Leste.
*) Lorosae dalam Bahasa Tetun (Timor Leste) berarti matahari terbit. Sapaan ini biasanya dipakai untuk menyebut Timor Leste yang letaknya paling Timur dari Pulau Timor.


Cat: Cerpen ini masuk dalam kategori 10 cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen 2013 yang diadakan oleh FAM Indonesia.


Tidak ada komentar: