Sejak tiga bulan yang lalu, bapak lebih banyak diam. Ia
sering termenung sendiri. Amarahnya meledak-ledak saat Jerio atau salah satu
dari kami berbuat salah. Apalagi mama. Ia selalu yang menjadi sasaran
amarahnya. Bila ia pulang dari kebun dan belum ada nasi atau sayur, dinding
rumah tak kuasa menahan lengking suaranya. Kalau sudah begitu, kami lebih
banyak diam.
Saya sendiri bingung. Kenapa bapak
tiba-tiba menjadi sangat kejam. Dengan umur yang baru menginjak 13 tahun, saya
bertanya-tanya tentang perubahan sikap bapak. Saya pikir, kami tidak pernah
menyakitinya. Nakal juga tidak. Kami selalu mengikuti apa yang diinginkannya.
Seingat saya, tiga bulan lalu bapak
mendapat telepon dari Om di Timor Leste. Katanya, nenek sakit parah. Ia meminta
kami untuk menjenguknya. Dulu kami memang sama-sama di Bauccau. Tapi, semenjak
kerusuhan pasca jajak pendapat 1999, kami mengungsi ke Oepoli – sebuah desa
terpencil di ujung timur Kabupaten Kupang. Kami hanya menjalin komunikasi
dengan nenek, Om, Tante, dan beberapa keluarga lain di Baucau lewat handphone. Itupun harus berjalan kaki
sekitar 15 kilometer untuk mendapatkan signal telkomsel. Yah, beginilah nasip
tinggal di daerah terisolir. Tempat lain sudah sangat maju, desa ini masih jauh
dari terbelakang. Jangankan signal telkomsel, listrik saja belum ada. Di rumah
kami memakai pelita yang terbuat dari benang dan kaleng sprite berbahan bakar minyak tanah sebagai penerang.
Saya menduga, akhir-akhir ini bapak
sering marah karena pikirannya dibebani permintaan Om. Kami harus ke Baucau.
Sementara untuk sampai ke sana, kami harus punya paspor. Untuk mengurusi
paspor, per orang dikenakan biaya Rp 500.000. Berarti kalau untuk kami tujuh
orang, bapak harus mengeluarkan uang sebanyak Rp. 3.500.000. Itu belum termasuk
biaya visa dan transportasi. Belum lagi syarat-syarat pembuatan paspor. Katanya
harus punya KTP dan Kartu Keluarga. Rasanya bapak dan mama belum punya KTP
Indonesia. Dua tahun yang lalu, Kepala Desa mengumumkan bahwa akan membuatkan
KTP bagi para penduduk eks Timor Leste. Tapi sampai saat ini belum ada tindak
lanjutnya.
Tidak mungkin bapak bisa menyiapkan
uang sebanyak itu. Dengan bekerja hanya sebagai petani penggarap, untuk
mendapat uang sepuluh ribu saja susahnya minta ampun. Untuk biaya sekolah saja,
saya dan Jerio harus membantu mencari uang dengan menanam padi di sawah milik
orang-orang sekampung.
***
Malam itu hanya saya, Jerio, bapak,
dan mama yang belum tidur. Saya baru saja menyelesaikan tugas Biologi. Bapak
dan mama duduk diam di balik tungku dapur. Sepintas saya memandang mereka, lalu
melangkah ke kamar.
“Raul
….” suara bapak menghentikan langkah saya. “Panggil Jerio. Kalian berdua ke
sini.” Saya dan Jerio berjalan ke arah mereka. Mama mengangkat wajahnya.
Matanya sedikit kemerahan. Pipinya lembab. Sepertinya mama baru habis menangis.
“Apakah bapak memukulnya, atau memarahinya?” saya menduga-duga.
“Jerio,
bagaimana sekolahmu?” tanya bapak dengan suara datar.
“Baik
bapak.”
“Apakah
tidak ada waktu untuk libur?”
“Tidak.
Mungkin setelah ujian semester.”
“Berapa
bulan lagi?”
“Empat
setengah bulan. Sekitar akhir Juni.”
“Sesekali
tidak usah ke sekolah. Bantu bapak di sawah.”
Kami terdiam. Tak mungkin saya atau Jerio membantah
perintah bapak. Kami takut ia marah. Apalagi sudah lewat tengah malam. Semua
tetangga sudah tidur. Perkampungan sepi.
“Besok
bilang ke gurumu bahwa minggu depan kita mau ke Baucau. Nenekmu sakit berat.
Siang tadi Om menelepon lagi. Katanya, nenek mengharapkan kita menjenguknya.
Tau kan sifat Ommu itu. Kalau kita tidak datang, ia pasti marah besar. Pake
denda segala. Apalagi, ini permintaan dari nenek sendiri.”
Ia memandang ibu sebentar. Lalu melanjutkan, “hanya kita
berdua. Raul, Mama, dan adik-adik tinggal. Kalau semua berangkat kita tak punya
uang. Kalau urusan di batas tidak rumit, baik kalau kamu sama mama yang
berangkat.”
Kami hanya bisa mendengarkan ocehan bapak. Sebenarnya
saya kurang setuju dengan ide bapak. Tinggal seminggu lagi, saya dan Jerio
harus ikut Ujian Tengah Semester. Tapi kalau sudah begini, bapak pasti tidak
peduli. Tak mungkin juga ibu mengubah keputusannya.
***
Suara parau bus satu-satunya yang selama ini melayani
transportasi andalan kami ke kota menyibakkan telinga. Jerio dan bapak sudah
menanti di depan rumah. Mama hanya terdiam. Wajahnya muram. Saya rasa ia sangat
sedih. Ia pasti merindukan kesempatan untuk bertemu dengan saudara-saudaranya.
Ia merindukan kesempatan bersua dengan mamanya. Paling tidak sebuah pelukan
kasih dari seorang ibu kepada anaknya, yang telah lama “menghilang”. Maklum,
sudah tigabelas tahun semenjak jajak pendapat, mereka belum pernah bertemu.
Komunikasi hanya lewat handphone.
Menjelang sore, Jerio dan bapak tiba di Atambua. Mereka
menginap di sebuah keluarga kenalan bapak. Jerio merasa sangat lelah. Maklum
kondisi jalan masih jauh dari layak. Berlubang-lubang, belum beraspal, dan
berdebu. Orang-orang kampung sering berseloroh, ‘silih satu lubang, masuk lima
lubang’.
Sekitar pukul 06.00, bapak membangunkan Jerio, dan
menyuruhnya mencuci piring. Ia mengikuti saja. Ia takut kalau bapak marah.
Apalagi mereka sedang di rumah orang. Setelah makan pagi mereka berangkat ke basecamp Timor Travel, sebuah agen
travel yang melayani transportasi Atambua-Dili (Pergi-Pulang).
“Mana
paspornya pak?” tanya petugas travel.
“Kami
orang asli Timor Leste yang masih tinggal di Indonesia sejak jajak pendapat”.
“Bapak
mau ke mana?”
“Ke
Baucau”.
“Bapak
harus membuat paspor dulu. Kalau mau masuk ke sana harus pakai paspor.”
“Saya
tidak punya waktu dan uang untuk buat paspor.”
“Kalau
begitu Bapak tidak bisa ke sana.”
“Saya
mohon dicarikan caranya agar saya bisa ke sana. Ibu mertua saya sakit keras.”
“Ya,
tapi untuk masuk ke sana Bapak harus pakai paspor.”
“Jangankan
paspor. KTP saja saya tidak punya. Pernah dijanjikan untuk diuruskan. Kami
sudah membayar per Kepala Keluarga seratus ribu. Tapi, sampai sekarang belum
ada.”
“Sudah
berapa lama tinggal di Indoensia?”
“Sejak pasca jajak pendapat. Kurang lebih tigabelas
tahun.”
“Mengapa
tidak kembali saja ke Bauccau?”
“Saya
bersama keluarga sudah pilih Indonesia. Meski harus melarat seperti ini, kami
tetap pilih Indonesia.”
“Oh……”
“Ferdi,
Bapak sama anaknya ini mau ke Bauccau, tapi tidak punya paspor. Kamu bisa
bantu?”
“Kalau
dua orang kena $100 USA. Pulang juga sama,” jawab sang sopir travel.
Bapak mengangguk. Jerio hanya diam. Ia tak tahu mereka
akan dibuat seperti apa. Bapak berbisik, “Ikuti saja apa yang mereka katakan.”
Mobil travel perlahan meninggalkan kota Atambua. Di sisi
kiri, tampak areal persawahan dengan padi menghijau terbentang luas. Sementara
di kanan, laut biru memukau mata. Di bahu jalan, beberapa anak tampak
berpakaian putih-biru. Rupanya mereka baru saja pulang sekolah. Travel melaju
kencang diiringi lagu-lagu portu. Dari kejauhan tampak sebuah papan di sisi kiri
jalan bertuliskan “Maliana. Perbatasan
Indonesia-Timor Leste”.
Tiba-tiba suara sopir membuyarkan lamunan. “Yang tidak
punya paspor masuk ke kolom kursi.”
“Hah?
Kenapa bapak?” tanya Jerio.
“Ikuti
saja,” perintah bapak sambil menarik lengannya ke bawah.
Jerio
melipat badan sedemikian kecil di bawah kursi penumpang agar tidak kelihatan
dari jendela mobil. Demikianpun bapak.
“Semua
penumpang turun. Silakan lapor ke pos!” terdengar suara Polisi Indonesia.
“Yakin
tidak ada orang yang masih tinggal di mobil?”
“Tidak
ada Pak. Saya hanya membawa sepuluh penumpang. Nama-nama mereka ada dalam
daftar. Di sini hanya barang-barang,” jelas Pak Sopir.
Beberapa
Polisi menengok ke dalam mobil.
“Yakin
tidak ada orang di dalam,” teriak seorang polisi dari balik jendela mobil.
“Tidak
ada Pak”.
“Kamu
benar-benar yakin tidak ada? Kalau ada, saya rendam kamu di laut.”
Jerio ketakutan. Apakah polisi itu
melihatnya? Atau Bapaknya? Keringat mulai bercucuran darai kening Jerio. Ia
melipat tubuh agar lebih kecil lagi.
“Tidak
ada pak. Saya sudah biasa lewat sini. Saya tahu aturan yang berlaku di sini,”
kata Pak Sopir.
“Oh.
Lalu kaki siapa ini? Buka pintu belakang! Cepat!”
“Crekkk”,
bunyi pintu bekang mobil dibuka.
Polisi
itu menyibakan tas para penumpang. “Yang ada di dalam mobil keluar”, teriaknya.
“Masih
ada orang di dalam mobil?” seru dua orang polisi hampir bersamaan. Mereka
mendekat.
Jerio tak bisa menahan rasa takut lagi. Rasanya ingin
menjawab atau keluar dari persembunyiannya sebelum mereka ditemukan. Ia melihat
ke arah bapaknya. Bapaknya hanya diam. Matanya ditutup rapat. Rasanya seperti
seseorang memindahkan tas-tas yang ada di belakang Jerio.
“Crekk!” Pintu
belakang kembali ditutup. Oh, rupanya sopir yang merapikan kembali tas para
penumpang. Syukur, kalau semua ini berakhir,” keluh Jerio sambil meneghembuskan
napas yang sudah ia tahan dari tadi.
Penumpang lain kembali ke atas
mobil. Pak Sopir menginjak pedal gas. Mobil meluncur cepat. Jerio hendak
mendorong tubuh keluar dari bawah kursi. Tapi, Bapak manahan tubuhnya. Ia
memberi isyarat diam. Tak sampai sepuluh menit kami sampai ke Pos TNI.
Penumpang lain turun. Pak Sopir menghampiri mereka. “Tunggu saya di sini,”
pesan Pak Sopir.
Tak lama berselang, ia datang bersama seorang tentara dan
seorang pemuda. Jerio dan Bapaknya dibawa masuk ke salah satu ruangan. Seorang
pumuda menghampiri mereka. Ia menawarkan penukaran uang dari rupiah ke dollar.
Bapak menerima tawaran itu.
Di ruangan itu, sang pemuda meminta bayaran. Bapak
memberikan $100.
“Pembagiannya
setelah saya kembali,” jelas si pemuda disambut angguk pak sopir dan pak
tentara.
Jerio dan Bapaknya dibawa keluar
dari ruangan lewat pintu belakang. “Tunggu saya di sini”, kata si pemuda. Tak
lama kemudian ia muncul lagi dengan mengenderai sebuah sepeda motor. “Ayo naik”.
Ia memacu motor melewati gerbang perbatasan bertuliskan “Welcome to Timor
Leste”. Ketika sampai ke Pos Polisi Timor Leste, mereka berhenti. Ia turun,
mengatakan bebera kalimat kepada polisi yang sedang berdiri di palang pembatas.
Ia menyodorkan genggaman tangannya kepada polisi itu, lalu kembali ke arah
mereka. Motor dihidupkan dan mereka melanjutkan perjalanan.
Sekitar satu tikungan dari pos
perbatasan ada sebuah warung. Mereka berhenti di situ. Katanya, “Kalian tunggu
di sini. Sepuluh menit lagi travel yang tadi berhenti di Pos Polisi Timor Leste
akan datang. Kalian numpang saja. Tidak usah takut. Semua aman.” Ia pun pergi.
Benar. Tak lama berselang, travel
yang dimaksud datang. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Rumah penduduk masih
sangat sederhana. Hanya beratap daun dan berdinding bebak. Belum ada perubahan
signifikan.
Malam sudah memeluk bumi Lorosae.
Mobil yang mereka tumpangi meliuk-liuk kencang di tikungan-tikungan tajam yang
kadang menanjak, kadang menurun. Ketika mereka memasuki kota Dili, Om menelpon
bapak. Jerio tak bisa mendengar apa yang dikatakan Omnya. Hanya jawaban “ya”
yang keluar dari mulut bapak. Penumpang lain sudah turun di tempat tujuan
mereka masing-masing. Tinggal Jerio dan bapak. Sopir menginjak pedal gas. Mobil
meluncur kencang ke balik bukit, ke arah Bauccau. Di tengah jalan, mereka
dihadang. Beberapa orang bangkit dari tidurnya di semak-semak pinggir jalan. Di
antara mereka muncul juga Om. Ia menghampiri mobil. Bapak turun dari mobil. Om
mendekatinya. Dalam hitungan detik, bapak terkulai. Darah bercucuran deras dari
balik bajunya. Jerio hanya diam di kursinya. “Mungkinkah Om membunuh bapak
karena kami memilih Indonesia?” pikir Jerio.
“Kau,
turun!” teriak Omnya.
Dengan sigap Jerio menjatuhkan handphone milik bapanya ke pangkuan sopir. “Mudah-mudahan sopir
membawa rekaman ini kepadamu, mama. Kami tak pernah tahu nenek sakit atau
tidak. Saya dan bapak telah tiada. Kami mati karena pilih Indonesia,” pikir
Jerio sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
steve agusta
*) Bauccau adalah salah satu kampung yang terletak di
pinggir kota Dili, Timor Leste.
*) Lorosae dalam Bahasa Tetun (Timor Leste) berarti
matahari terbit. Sapaan ini biasanya dipakai untuk menyebut Timor Leste yang
letaknya paling Timur dari Pulau Timor.
Cat: Cerpen ini masuk dalam kategori 10 cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen 2013 yang diadakan oleh FAM Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar