Jumat, 25 November 2011

Pedagogi Reflektif dalam Pendidikan Karakter


“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Demikian ungkapan yang sering kita jumpai. Bahkan sejak duduk di bangku SD saya sudah mengenal ungkapan ini dalam lagu “Hymne Guru” ciptaan Sartono. Waktu itu, karena lagu ini adalah salah satu lagu wajib nasional, maka kami wajib menghafal syair dan nadanya untuk ujian praktik kesenian. Agak lupa juga sih.....waktu itu saya lulus tes ga ya? Hahahahaha....pasti luluslah, makanya bisa naik kelas!
          Seperti syair lagunya “tanpa tanda” begitulah para guru selalu dilupakan. Saya sendiri baru tersadar dari penyakit kelupaan ini ketika menghadiri Seminar bertajuk “Pendidikan Karakter Bercermin pada Hidup dan Perjuangan Mgr Sugijapranata SJ dan I.J Kasimo” di aula Kolese Kanisius Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 25/11.
          Seminar yang bertepatan dengan Hari Guru itu seolah membangunkan saya dari tidur panjang ‘kelupaan’ untuk kembali mengenang jasa-jasa guru yang telah mendidik dan membentuk kepribadian saya untuk tumbuh sebagai seorang yang berkarakter.
          Kepala Sekolah SMA Kolese Kanisius Menteng, Pastor Heru Hendarto SJ dan Pastor I. Ismartono SJ yang hadir sebagai pembicara dan Kepala Sekolah SMP Kolese Kanisius Menteng, Pastor Eduard C. Ratu Dapa SJ sebagai moderator dalam seminar ini mengelaborasi secara detail hal-hal praktis yang dapat membantu anak didik untuk menemukan karakter dasarnya sebagai manusia.
          Memang benarlah bahwa seseorang yang berkarakter akan mengantarnya untuk menemukan sekaligus mempertahankan integitas dirinya. Berbagai persoalan dan pola laku amoral kriranya bersumber dari ketiadaan karakter dalam diri seseorang. Imbasnya, integritas dirinya pun dengan mudah dapat diperjualbelikan.
          Latar belakang diadakan seminar ini, menurut Pastor Heru, adalah keprihatinan pada anak-anak didik saat ini yang makin bingung untuk menentukan masa depan studinya. Mereka tidak tahu mau kuliah apa. Sementara media elektronik dan media masa menawarkan berjuta pilihan, baik itu yang positif maupun yang negatif. “Siswa kelas III SMA, misalnya, tidak tahu harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi mana. Mereka tidak tahu harus kuliah tentang apa,” tandas Pastor Heru.
          Apakah yang dimaksud Pastor Heru di sini hanya tertuju pada mereka yang anak-anak SD sampai SMA? Kalau kita setuju dengan ungkapan “on going formation”, maka dengan sedirinya kita meruntuhkan pandangan awal tadi. Bahwa pendidikan itu berlangsung terus menerus, sepanjang hidup tanpa henti, tanpa mengenal batas umur. Hanya kematianlah yang memberi garis akhir pada “on going formation” ini.
          Berhadapan dengan realita ini, Pastor Heru mengemukakan pedagogi reflektif sebagai solusinya. Artinya, seseorang perlu bersedia untuk menyingkirkan diri dari kesibukan sehari-hari agar ia dapat merefleksikan pengalaman-panglaman dan pilihan-pilihan mana yang harus dikedepankan dalam hidupnya. Ia perlu menyingkirkan diri dan mulai memikirkan dengan serius lagi tegas apa yang hendak ia capai dalam hidupnya.
          Bayangkan dinamika ini. Anda sedang duduk di tepi pantai yang sejuk dan sepi, ditemani angin laut dan riuh ombak. Berlakulah seolah-olah Anda sedang melepaskan diri dari tubuh, meletakkannya di hadapan Anda lalu mulai bertanya kepadanya. Siapakah nama Anda? Apa yang Anda rasakan saat ini? Mengapa Anda berada di sini? Apa yang sementara Anda pikirkan? Apa sajakah yang sudah Anda lakukan selama ini? Apa yang akan Anda lakukan di hari esok? Apa yang Anda ketahui tentang kehidupan? Apakah yang Anda cita-citakan? Tindakan-tindakan pilihan terbaik manakah yang akan Anda lakukan? Ke manakah arah hidup Anda nanti, setelah kita pulang dari sini? Saya yakin, setelah ini kita masih bersama, bahkan masih berjalan bersama menuju Sang Empunya!
           Selain proses dialogis dengan diri, perlu juga ada proses dialogis dengan orangtua dan guru sebagai pendidik. Manusia adalah makhluk komunikatif. Hanya dengan sifat dasarnya inilah, ia perlahan-lahan mengenal dirinya. Maka, dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup perlu ada proses dialogis dengan berbagai pihak.
          Sementara Pastor Ismartono mengatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan yang membantu anak didik untuk berimajinasi tentang dirinya. Anak didik bermimpi akan jadi seperti apa dirinya. Mimpi-mimpi itu perlahan-lahan akan tampak pada keputusan-keputusan yang real dalam keseharian.
Mgr Sugijapranata dan Kasimo sudah membuktikan itu. Kedua tokoh yang hidup di era keterbatasan pendidikan, berimajinasi tentang sebuah bangsa yang merdeka. Mereka bermimpi untuk hidup sebagai orang-orang merdeka, yang mampu bertindak secara bebas setelah melalui proses dialogis positif.
Kedua tokoh ini, meskipun hanya warga minoritas – sebagai Katolik – tetapi memiliki integritas diri yang sangat kuat dan tidak mudah terpatahkan, oleh penjajah sekalipun. Integritas diri mereka tidak mudah diperjualbelikan. Dengan demikian, keputusan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka pun tidak bisa ditawar-tawar.
 “Mari kita meneladani kedua tokoh pahlawan nasional Katolik ini,” ajak Pastor Ismartono menutup presentasinya.

Stefanus P Elu
Kebun Jeruk, 26 November 2011

Minggu, 20 November 2011

Alasdair MacIntyre: Kegiatan Bermakna dan Nilai Moral


“Dengan kegitan bermakna saya memakudkan sebuah bentuk yang koheren dan kompleks kegiatan manusia yang dibangun dalam kerjasama dengan yang lain. Melalui kegiatan bermakna tersebut, nilai-nilai internal kegiatan itu terealisasi dalam rangka mencapai standar-standar keutamaan yang sesuai sehingga manusia benar-benar mencapai keutaman” (Alasdair MacIntyre, After Virtue,University of Notre Dame,1984).

Kutipan ini mendeskripsikan beberapa unsur kegiatan bermana.

Pertama, kegiatan bermakna selalu terjadi dalam kerjasama kooperatif dengan yang lain. Sebuah kegiatan dikatakan bermakna ketika kegiatan itu dapat dirasakan baik atau bermakna oleh orang lain. Selama apa yang kita lakukan hanya bermakna pada diri kita sendiri, maka itu belum dapat dikatakan sebagai kegiatan bermakna. Unsur kooperatif yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa apapun yang kita lakukan, selalu bersentuhan dengan orang lain dan selalu dalam kerangka pemikiran orang lain.
Seribu orang bisa menilai kegiatan kita secara positif. Namun, masih bisa dipastikan bahwa orang pertama setelah seribu itu belum tentu menilainya bermakna. Ia bisa saja melihat bahwa kegiatan yang kita lakukan itu masih setengah bermakna atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Maka suatu kegiatan dikatakan bermakna bukan karena perasaan subjetif kita, melainkan persatuan perasaan obkektivitas bahwa kegiatan itu bermakna.
Dalam pandangan seperti ini nampak bahwa MacIntyre hendak meruntuhkan subjetivisme dalam kegiatan bermakna dan juga menihilkan egoisme. Dalam egoisme, apabila yang dirasakan bermakna atau disetujui oleh diri maka itu diklaim sebagai kebenaran dan langsung dilakukan. Bagi MacIntyre, egoisme bertentangan dengan makna kegiatan bermakna.
Kedua, setiap kegitan bermakna dalam dirinya mengandung nilai-nilai internal, yakni nilai-nilai yang melekat pada sebuah kegiatan dan sekaligus menentukan mutu dari kegiatan tersebut.
MacIntyre berpandangan bahwa setiap kegiatan yang kita lakukan melekat nilai-nilai kebaikan pda diri kegiatan itu. Tidak pernah kegiatan yang kita lakukan tanpa nilai. Kalau toh pada akhirnya kegitan itu tidak bermakna, berarti kita sebagai pelaku kegiatan belum bisa menjangkau nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan.
Lagi-lagi, MacIntyre ingin membedakan nilai yang ada pada setiap kegiatan dan subjektivitas saat kita melakukan sebuah kegiatan. Dalam hal ini kita biasa mengenalnya motivasi. Motivasi yang melandasi kita untuk melakukan suatu kegiatan harus bisa terpadu dengan nilai-nilai yang ada dalam sebuah kegiatan.
Bila motivasi dan nilai dalam sebuah kegiatan dapat terpadu dengan baik maka kegiatan yang kita lakukan dapat dipastikan akan bermakna. Dalam banyak hal, kita masih jatuh pada satu di antara kedua unsur ini. Lebih lagi, yang biasa kita utamakan adalah movtivasi.
Dari penjabaran ini, kita dapat melihat bahwa sikap pertama yang kita ambil ketika hendak melakukan sebuah kegiatan adalah usaha memadukan antara motivasi dan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan.
Ketiga, kegiatan-kegiatan bermakna mengandung pada dirinya sendiri nilai-nilai moral, karena tanpanya kegiatan-kegiatan bermakna tidak dapat berkembang.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan selalu berdimensi moral. Lalu pertanyaannya adalah apakah kegiatan negatif, misalnya membunuh, memiliki dimensi moral?
Bila diterawang dalam kacamata MacIntyre, maka kesalahan atau ketiadaan dimensi moral bukan pada kegiatan membunuh tetapi terletak pada motivasi dan nilai penemuan awal sebelum melakukan pembunuhan.
Kalimat “membunuh adalah dosa karena tidak dikehendaki Allah”, dengan sendirinya mengandung nilai moral di dalamnya. Tindakan membunuh adalah kesimpulan akhir dari motivasi dan ketidakmampuan menangkap dimensi moral frasa membunuh.
MacIntyre ingin mengatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan selalu mengarahkan diri pada nilai-nilai moral.

Sumber: Andre Ata Ujan, dkk (ed.), 2011, Moralitas Lentera Peradaban Dunia, Yogyakarta: Kanisius

Stefanus P Elu
Kos Bambu, 20  November 2011

Yesus Telah Mencintaimu


Gelora Bung Karno (GBK) tampak dibanjiri bolanisti yang akan menyaksikan perhelatan semifinal SEA Ggames U-23 2011 antara Indonesia VS Vietnam. Tampak beberapa orang berkaus merah atau konstum TIMNAS. Beberapa lagi mengenakan asesoris lain, seperti sal atau sticker bendera Merah-Putih pada pipi. Meski pertandingan baru akan dimulai pukul 19.00 nanti, sejak pukul 15.00 ruas jalan di depan GBK mulai ramai dengan kendaranaan bermotor dan mobil.
            Di antara sejumlah motor dan mobil yang berbaris dari arah Pakubono, Jakarta Selatan menuju GBK, saya termasuk salah satu di antara mereka. Akan tetapi tujuan perjalanan saya berbeda dengan mereka.
            Hari itu, Sabtu, 19 November 2011, saya akan datang meliput sebuah acara di Plaza Senayan X-2. Ketika saya menghubungi nomor kontak yang diberikan kepada saya, Didits (sang pemilik nomor), ia mengatakan kepada saya bahwa acara ini adalah doa karismatik yang diadakan secara khusus untuk kaum muda. “Acaranya kami sengaja adakan di Plaza Senayan dan tepat juga pada malam minggu karena yang kita mau rangkul adalah kaum muda,” ungkap Didits.
            Meski agak bingung mencari tempat berlangsungnya acara – karena baru kali ke dua memasuki tempat elit sekelas Plaza Senayan – akhirnya saya menemukannya juga. Acara sudah dimulai setengah jam yang lalu, pukul 16.00. Ketika saya muncul dan memperkenalkan diri dari HIDUP, saya diterima dengan baik dan langsung dibawa menuju ke ruang acara.
            Sekitar 300 kaum muda Katolik sudah berada di sana. Lagu-lagu pujian diserukan dengan meriah, meski bagi ukuran pendengaranku agak bising. Suasana ramai dengan lighting tampak sayup, bagai sedang berada dalam sebuah bar, club, atau diskotik.
            Berselang beberapa menit, Cecilia Dwi Hapsari alias Sisi Idol (jebolan Indonesia Idol season 3) tampil. Wah, untuk pertama kalinya saya melihat langsung orang yang akhir-akhir ini namanya melejit di dunia tarik suara karena berhasil merilis album perdanya yang bertajuk “Romantis.”
            Di sela-sela tarikan suaranya, Sisi rela berbagi pengalamannya. Karena keterbatasan dana, ia rela bekerja di club malam agar bisa mendapatkan uang untuk biaya sekolahnya. Niatnya sangat besar untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Ia bekerja seperti itu dan perlahan-lahan akrab dengan dunia itu.
            Mirip dengan pengalaman Sisi, William Erans Someling pun menuturkan hal yang sama. Semasa SMA, keluarganya mengalami broken home. Ayahnya yang adalah seorang pengusaha menduakan ibunya. “Ayah selalu bersikap kasar pada ibu, saya, dan adik-adik saya. Suatu pagi, saya mendapati Ayah sedang memukul ibu. Karena tak puas, saya balik memukul Ayah. Terjadilah perkelahian saya dan Ayah,” kenang Erans.
            Pengalaman pahit ini tak bisa dipikulnya. Sebagai pelarian, ia terlibat dalam beberapa kegiatan a-moral, seperti: drugs, narkoba, judi, seks bebas, dan clubbing. Semua itu ia jalani beberapa tahun lamanya, tetapi ia tidak mendapatkan ketenangan.
            “Suatu hari minggu, saya mengantar adik saya untuk mengikuti Sekolah Minggu di Paroki Matius Bintaro, Jakarta Selatan. Di sana saya melihat orang-orang tua bernyanyi dan memuji Tuhan dengan begitu bahagia. Saya mulai merenung: apa saja yang membuat mereka tampak selalu bahagia seperti itu?” cerita Erans.
            Di akhir sharing, kedua orang ini sepakat untuk mengatakan bahwa “Tuhan punya rencana tersendiri untuk hidup kita. Ia telah merancangnya dengan indah. Yang terpenting kita mau percaya kepadanya. Kita perlu setia kepada-Nya. Tuhan Yesus begitu baik kepada kita.”

***
            Pastor Moderator Karismatik Dekenat Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Feliks Supranto SSCC, ketika diwawancarai berkata “anak-anak muda yang mengadakan dan hadir dalam acara ini tampak sangat bersemangat. Inilah cara mereka mendekatkan diri dengan Tuhan. Kita harus menghargai ini. Karismatik adalah kekayaan Gereja. Kita perlu menghargai dan merangkul mereka.”
            Senada dengan Pastor Feliks, Koordinator PD Dekenat Tangerang, Gisela Satyani, atau yang biasa disapa Mekky, berkata “kegiatan ini digalang oleh kaum muda Katolik Dekenat Tangerang sendiri. Kita hanya mendampingi mereka. Mereka memiliki bakat-bakat yang luar biasa. Dengan kegiatan ini, kita menjaring kemampuan mereka untuk dipersembahkan kepada Tuhan.”
            Alunan musik dan lagu-lagu yang dipersembahkan sepanjang acara tampak kompak dan teratur. Semua berseru-seru untuk memuji dan memuliakan Allah yang telah mencintai manusia dengan penuh kasih. Di tingah-tengah segala kesibukan, anak-anak muda ini masih menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama dan memuliakan nama Tuhan. Tentu ini adalah sebuah kebanggaan yang luar bisa. Tentu ini adalah iman yang coba diaplikasikan dalam tindakan nyata.
            Acara yang bertajuk “Youth Blazt Tie (d) to J” ini merupakan rangkuman dari Injil Yohanes 15;5: Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbaut apa-apa.
            Seiring tajuk ini, acara ini hendak mengajak kaum  muda untuk mendekatkan diri dengan Yesus, Sang pemberi Hidup. Yesus telah mengasihi kita sehingga Ia mengundang kita untuk datang pada-Nya dan tinggal di dalam-Nya.

Stefanus P Elu
Kos Bambu, 19 November 2011

Rabu, 16 November 2011

Hidup Terus Berjalan Ke Depan


Sebenarnya masih agak malas untuk bangun pagi. Saya masih pengen tidur lebih lama. Maklum, semalam bermain futsal di Monas sampai pukul 23.30. Tubuh masih letih. Namun, ada tugas yang harus saya jalankan.
          Hari ini, saya mendapat tugas meliput Pentas Seni “Serbet” di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Minggu, 13 November 2011. Mau tak mau saya harus bangun untuk menjalankan tugas yang satu ini. Profesionalitas kerja harus tetap dijaga karena di situlah integritas diri sebagai seorang pekerja diukur.
 Ketika sebuah pekerjaan hanya dilihat sebagai sebuah kewajiban belaka, tapi dicintai sebagai sarana pengekspresian diri untuk mencapai kepenuhan sebagai manusia, apapun tantangannya, akan dihadapi dengan sukacita.
Pukul 8.40, saya berangkat dari kos menuju TMII. Saya harus mampir ke Matraman, Jakarta Utara, untuk mengambil kamus di tempat kakakku, yang akan saya titipkan ke adik saya, Edel, di Yogyakarta, Jawa Tengah. Saya memandu motor menelusuri jalanan yang mulai ramai. Dalam benak masih teringat kecelakaan yang baru saja saya alami tiga hari yang lalu. Meski tubuh belum siap benar, saya harus tetap menjaga konsentrasi.
Setelah mengambil kamus, saya meluncur cepat ke arah TMII. Acaranya dimulai pukul 10.00. Saya baru tiba, pukul 10.30. Ketika memasuki ruangan, suasana tampak ramai. Nyanyian dan permaianan yang dipandu grup Wanita Katolik Repubik Indonesia Dewan Pengurus Jakarta (WKRI – DPD Jakarta) dan Komunitas Mitra ImaDEI membuat suasana akrab semakin terasa.
Peserta yang hadir mencapai seratusan orang. Semua anggota adalah para Pekerja Rumah Tangga (PRT). Senyum dan tawa terus terpancar dari wajah mereka. Sebagian dari mereka meloncat-loncat menyaksikan teman mereka yang sementara bermain games. Menarik juga ya.
Luppy Djoko, anggota WKRI, mengatakan bahwa pentas seni ini dikhususkan untuk para pekerja rumah tangga. “Acara ini diberi nama Pentas Seni “Serbet” karena para peserta yang diundang adalah para pekerja rumah tangga. Peserta yang hadir tidak hanya Katolik. Bahkan, delapan puluh persen yang hadir saat ini adala Muslim,” urai Luppy.
Latar belakang peserta membuat mereka manamakan acara ini “serbet.” “Kita mengamabil nama itu karena sebagai pekerja rumah tangga, alat itulah yang menjadi teman akrab mereka sehari-hari. Kita sengaja mengambil nama itu supaya tidak asing bagi mereka,” tambah Luppy.
Sekitar pukul 11.00 acara berpimdah ke bagian dalam, ruang teater. Di sana master of ceremony  sudah menunggu. Para peserta langsung dipandu dengan berbagai games lagi. Rangkaian syair-syair lagu rahani dan dangdut terlontar rapi dari mulut Agung dan teman-temannya. Sembari bergoyang, ia mengundang teman-temannya untuk maju ke depan panggung. Beberapa PRT meliuk-liukan tubuh di depan panggung. Teriakan bernada semangat dan ajakan bersenang-senang terucap tanpa henti.
Acara pentas seni mencapai puncak ketika para PRT diberi kesempatan menyaksikan teater. Teater yang menceritakan nasip seorang anak yang mengikuti anjuran orang tuanya untuk bekerja sebagai PRT, disaksikan dengan hikmat. Sesekali hadirin tertawa kecil menyaksikan adegan-adegan lucu.
Namun, saya menangkap sedikit pesan yang agak berbeda. Di tengah-tengah seluruh adegan itu, ada sebuah titik balik yang bagi saya sangat menarik.
Ibu dari Serbetwati yang sebelumnya bekerja sebagai PRT di rumah Sundoro, menyuruh putrinya, Serbetwati, untuk melanjutkan pekerjaan di rumah Sundoro karena ia jatuh sakit. Beberapa lama, Serbetwati tidak bisa menahan tekanan dari  Sang Majikan. Ia harus bekerja 24 jam tanpa istirahat. Sundoro yang selalu tampil rapi dengan kacamatanya tiada henti memanggil nama Serbetwati untuk mengerjakan banyak hal.
Serbetwati pun merasa lelah. Ia tidak memiliki waktu sedikitpun untuk bergabung sama teman-temannya buat rekreasi sedikitpun. Ia harus selalu standby di rumah untuk meladeni panggilan Sundoro. Ia tampak lelah. Otaknya bekerja keras untuk keluar dari tekanan ini. Akhirnya, Serbetwati memilih kabur dari rumah, kembali ke rumah simbo-nya.
Akan tetapi, ketika di tempat simbo-nya, keputusan Serbetwati tidak diterima. Simbo-nya menangis tersedu-sedu menyesali keputusan Serbetwati. Ia tidak menyangka, putrinya akan menambil keputusan seperti itu. Menurutnya, Sundoro adalah majikan yang baik, dan itulah satu-satunya pekerjaan yang harus putrinya lakukan sebagai kesempatan untuk menyambung hidup.
Serbetwati tidak bisa menerima kenyataan ini. Matanya bulai terbuka. Bila ia mendapat kesempatan lain dan berwirausaha atau bekerja di tempat lain, maka ia akan lebih maju. Ia ingin bebas. Ia ingin mengerjakan sesuatu tanpa tekanan. Menurutnya, itulah yang akan membuat masa depannya lebih baik. Persoalannya, orientasi pemikiran seperti ini tidak bisa diterima simbo-nya. Mereka bertentangan pendapat.
Lagi-lagi, Serbetwati memilih kabur dari rumah karena pertentangan pendapat ini. Dalam pikiran Serbetwati hanyalah kebebasan. Ia ingin mengatur hidupnya sendiri. Meski simbo-nya harus sakit, ia tidak peduli karena apa yang ia pikirkan diyakini benar.
Serbetwati pergi. Di luar sana ia berjumpa dengan Bejo, kenalan lamanya sebelum ia berangkat kerja ke rumah Sundoro. Atas arahan Bejo, ia perlahan-lahan membangun visi dan misi dalam kehidupannya. Sembari merajut kehidupan barunya, berwirausaha, ia ingin membantu teman-temannya agar keluar dari tekanan bekerja sebagai PRT. Unsur-unsur ingin bebas mengalir deras dalam tubuhnya.
Misinya pun berhasil. Ia mampu menikmati hidupnya tanpa tekanan. Ia sendiri yang memenets hidupnya. Ia tampak bebas . Senyuman terurai rapi dari wajahnya. Serbetwati adalah seoarang pemenang. Meski mengawali sesuatu dengan rasa sulit, ia akhirnya mencapai impiannya.
Keputusan-keputusan yang sering kita ambil dalam hidup, kadang tampak menyakitkan. Termasuk orang-orang yang paling dekat dengan kita pun sampai merasa sakit dengannya. Tidak jarang kita ditolak oleh kerena keputusan yang kita ambil dan pertahankan. Tapi apakah kita akan berhenti di situ? Jika kita memiliki jiwa yang kuat, kita tidak akan pernah berhenti berjuang. Kita perlu tetap mengayunkan langkah ke depan tanpa ragu, tanpa dukungan sekalipun. Hidup kita berjalan ke depan, bukan ke belakang.
“Jika ibu sudah PRT, anak atau cucu jangan lagi PRT. Usahakanlah agar hidup itu semakin meningkat,” demikian kesimpulan acara dari MC.

Stefanus P. Elu
Kos Bambu,13 November 2011

Mengorbankan Yang Paling Saya Sayangi


Semua teman kos masih terelap. Saya bangun lebih awal karena ada tugas liputan yang harus saya jalankan, Kamis 10/11/11. Perjalanan kali ini cukup jauh dan memakan tenaga. Pukul 5.20, motor pulsar 180cc saya meluncur kencang. Di luar dugaan dan kendali, saya berpindah tempat ke aspal. Motor kesayangan yang selama ini saya rawat degan penuh kasih sayang terpelantng di atas aspal.
            Seorang bapak yang baru keluar dari gang sebelah, tanpa memandang ke kanan, langsung menyalip. Saya kaget dan menekan cakram. Lutut dan siku serta telapak tangan terseret di atas aspal. Antara rasa sakit, jengkel, dan kasian pada motor bercampur jadi satu. Motor yang telah saya rawat selama tujuh bulan, akhirnya ternoda. Goresan panjang memenuhi batok depan bagian kanan motor. Rasanya tidak nyaman sama seali menyaksikan hal ini. Hati saya sangat sedih melihatnya.
            Tapi apa yang hendak dikata. Semua telah terjadi. Dalam rasa seperti itu, rasa sedikit bersyukur masih terbersit dalam hati. Ini baru awal perjalanan. Sementara, jarak yang harus saya tempuh hari ini masih sangat jauh. Saya akan menghadiri rapat Konsultasi Regional yang diadakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor. Seminar ini secara khusus dijanalankan untuk menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat saat ini mengenai Kitab Suci. Semoga kejadian ini hanya di awal. Semoga semua berjalan lancara sesuai rencana.

***

“Setelah 65 tahun merdeka sebagai bangsa, ternyata kita belum dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepelbagaian agama, suku, ras dan golongan sosial. Hal tersebut mengakibatkan tersendatnya bangsa ini dalam mencapai tujuan kesejahteraannya. Gejala ini dapat ditandai dengan berbagai peristiwa konflik sosial di berbagai tempat. Misalnya, pada awal 2011 terjadi kekerasan yang dilakukan di Cikeusik, Temanggung, dan Pasuruan. Yang lebih mengenaskan dari peristiwa itu adalah selain jatuhnya korban harta dan nyawa, juga tidak adanya kepastian bahwa peristiwa serupa tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
Selain itu, kita juga mencatat bahwa sepanjang kehadiran dan kehidupan Republik ini selama 66 tahun, negara (state) telah melakukan fungsinya dengan tidak optimal. Pembangunan sosial-ekonomi, politik, dan hukum tidak berjalan sesuai harapan rakyat. Pembangunan ekonomi melahirkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang mendalam, karena dasar filosofi, pola, dan orientasi serta wawasan pembangunan ekonomi dilandasi oleh sikap dan wawasan untuk mendapat keuntungan secara cepat (quick yielding approach).
Sikap ini mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam (mineral dan hutan) telah berlangsung tidak efisien dan berakibat pada perusakan lingkungan yang tak terkendali. Hal ini merupakan salah satu akibat dari tidak tertatanya secara sistimatis Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan lingkungan. Akibatnya, semakin banyak tanah pertanian aktif yang hilang dan diganti oleh gedung-gedung perkantoran, perumahan (sederhana, mewah, sampai super mewah), pabrik industri pengolahan, dll.
Kebijakan otonomi daerah yang tidak realistis – tidak atau kurang memperhatikan kelemahan dan kekuatan daerah yang terkait – hanya menghasilkan kebijakan politik yang memungkinkan sekelompok orang ingin dan dapat meraup keuntungan materiil di daerahnya. Semua kondisi tersebut ini diperparah dengan lemahnya penegakkan hukum. Ternyata kelemahan itu memberi peluang pada penegak hukum untuk memanipulasi bunyi aturan-aturan hukum dan peraturan daerah (Perda) untuk kepentingan dan keuntungan pribadi para birokrat daerah.
Ketidakteguhan para penegak hukum melaksanakan hukum secara adil bagi warga negara, mengakibatkan kesan adanya proses ”pembiaran” terjadinya kekacauan (chaos) sosial. Jelaslah kondisi ini merupakan indikasi besarnya hambatan bagi bangsa ini mencapai masyarakat yang adil makmur sekaligus merupakan ancaman terhadap integrasi bangsa ini.
Dalam situasi seperti itu, peran agama masih dipandang mampu memberikan rasa damai dan saling mengasihi antarsesama manusia. Untuk mengaktualisasikan niat itu, kita melihat bahwa peran dari Kitab Suci Agama-agama perlu ditingkatkan. Kita percaya bahwa dengan peningkatan pemahaman yang lebih mendalam akan isi Kitab-kitab Suci itu seharusnya membawa perdamaian di antara sesama manusia.
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap Kitab Suci, masing-masing pengikut agama yang berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal, diharapkan disintegrasi. Hal itu dapat dilaksanakan dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati dan terlebih lagi saling mengasihi dengan tidak menonjolkan perbedaan yang memisahkan kemanusiaan kita.” (Ringksan Bahan Konsulatsi Regional, Bogor, 10 November 2011).

***
            Pengalaman perjumpaan dengan macam-macam orang terjadi di konsultsi Regional ini. Banyak pendeta yang turut menghadiri kegiatan ini. Tapi, umat Katolik hanya sedikit sekali. Imam yang ikut saja tidak sampai lima orang. Jumlah yang sangat minim, bila dibandingkan dengan jumlah pendeta yang hadir.
            Narasumber dalam kegiatan ini adalah Pendeta Weinata Sairin, M.Th, Dr. Deshi Ramadhani SJ, Pendeta Dr. Nus Reimans, Pendeta Dr. Karel P. Erari, Pendeta Dr. Yongki Karman, Prof. Dr. Martin Harun OFM, Drs. Supardan, M.A, Kareasi H. Tambur, M.Th, dan Alpha Martyanta, S.E.
            Dalam acara ini Dr. Martin Harun OFM sebagai Ketua Revisi Deuterokanonika mendengarkan beberapa usulan kata terjemahan yang tepat dari bahasa Yunani ke bahasa Indonesia. Selain itu, dibahas pula berbagai tantangan yang dihadai LAI dalam usahanya menyebarkan Alkitab Ke semua umat Kristiani yang ada di seluruh pelosok Indonesia.
            Melalui kegiatan ini, LAI ingin berkonsultasi degan Gereja-gereja, lembaga-lembaga, dan umat Kristiani untuk melihat berbagai peluang dalam usaha mengaktualisasikan visinya: “Firman Allah hadir bagi semua orang dalam bahasa yang mudah dipahami agar merek dapat bertemu dan berinteraksi degan Allah, dan mengalami hidup baru.”
Drs. Supardan, M.A, Ketua LBI, mengatakan “kita umat Kristiani perlu memiliki optimism bahwa Indonesia telah diserahkan kepada kita. Mari kita tangani dengan baik. Marilah kita bekerjasama sebagai umat Allah untuk membantu saudara-saudara kita yang belum mampu membeli Alkitab.”
Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 14 November 2011

Jumat, 11 November 2011

Takut Pada Bayangan


Alam masih sepi. Sang raja siang belum bangkit dari tidur. Saya bersama ‘teman’ terjaga dari mimpi. Memang demikianlah rencana sebelum pergi tidur semalam. Pukul 4.30, saya dan ‘teman’ saya sudah tampil rapi. Memang, baru  pagi ini saya bagun lebih awal. Apa hendak dikata. Ada tugas yang harus saya selesaikan hari ini. Paling tidak ada dua agenda kegiatan.
            Bersama ‘teman’ saya, kami menelusuri jalan yang masih tampak sepi. Kami akan manghadiri misa hari minggu di Paroki Santa Perawan Maria Ratu Blok Q, Jakrta Selatan. Hari itu Minggu, 23 Oktober 2011. Apa yang saya dan ‘teman’ saya impikan akan menjadi kenyataan. Kami memang telah menantikan kesempatan ini. Dalam agenda kami, suatu saat nanti, mudah-mudahan kami mendapat kesempatan untuk menghadiri Perayaan Ekaristi bersama-sama. Kesempatan ini memang penting bagi kami. Selain merasakan kebersamaan, ada banyak hal yang perlu kami panjatkan dan persembahkan kepada Tuhan. Bila impian lama itu tercapai rasanya akan berbeda.
            Setelah bertanya-tanya tentang alamat gereja, akhirnya kami sampai juga. Letak gereja memang tidak terlalu ‘tersembunyi’ sehingga mudah ditemukan. Pukul 6.30 tepat kami memasuki area parkir gereja. Setelah memarkir motor pada tempatnya, kami berlangkah memasuki gereja yang tidak begitu luas. Kami mengambil tempat yang paing belakang. Duduk berdoa sejenak, saya memilih untuk keluar lagi. Agenda pertama untuk misa bareng paling tidak 75 % sudah tercapai. Tinggal dijalankan.
            Saya kembali ke halaman gereja. Kini agenda kedua dimuai. Saya mendekai satpam yang sedang berdiri di depan pintu gerbang utama. Beberapa pertanyaan saya ajukan sebagai komunikasi awal. Obrolah pun berlanjut.
            Menurut informasi yang sempat saya kumpulkan beberapa hari sebelumnya, Jacob Oetomo biasanya mengikuti misa hari minggu di gereja ini. Katanya, Jacob biasanya mengikuti misa antara pukul 7.00 atau pukul 9.00. Jadi saya harus berjaga di antara kedua jadwal misa ini. Saya harus betemu dengan Jacob. Itulah misi saya yang kedua.
           

***
Bertemu dengan Jacob memang bukan tanpa tujuan. Baru 27 September 2011 lalu, Jacob merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Maka, Majalah HIDUP merasa penting untuk meulis tentang biografi dan kiprahnya pada Sajian Utama. Memang tidaklah salah bila Jacob ditempatkan menjadi berita utama. Mengapa tidak? Di dunia pers, Jacob adalah orang yang sangat dihormati.
Kompas adalah bukti kiprah panjang Jacob di dunia pers. Kompas kini menjelma menjadi surat kabar yang mendunia. Seluruh pelosok tanah air negeri ini pasti pernah bersentuhan dengan kompas. Bahkan di dunia pers, kompas menjadi surat kabar yang bergengsi dan dapat dipercaya. Belakangan, kompas merambah ke dunia entertamen. KompasTV adalah peluncuran terbarunya. Beberapa orang yang pernah mengenal Jacob pasti memiliki kekaguman tersendiri pada tokoh yang satu ini.
Memang, beberapa tehun terakhir ada rumor yang cukup berkembang miring di khalayak umum terkait Jacob. Tetapi, tentu di sini bukan tempat yang tepat untuk membahas isu tanpa bukti-bukti akurat itu. Yang terpenting adalah Jacob telah merintis dan melakukan perubahan besar bagi pers Indonesia.


***
Tugas saya hari ini memang tampak mudah. Akan tetapi, rasanya seperti memikul satu gunung. Mengapa tidak? Saya ditugaskan untuk mengambil gambar Jacob saat mengikuti misa. Beratnya, hal ini tidak perlu dikomunikasikan dengan Jacob. Kasarnya saya ditugaskan ‘mencuri’ gambar Jacob.
Bagamana saya harus melalukan tugas ini? Apakah orang-orang atau pengawalnya akan marah karena saya mengambil gambar tanpa konfirmasi sebelumnya? Memang, Jacob cukup dikenal di paroki ini. Semua orang menghormatinya. Sementara saya, wartawan baru, tidak dikenal berani mengambil foto tanpa konfirmasi.
Cukup lama saya menunggu persis di pintu gerbang gereja. Sudah pukul 7.00. Misa telah dimulai. Jacob belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, menurut satpan gereja ini, Jacob tidak pernah terlambat jika mau mengikuti misa hari minggu. Paling lambat, setengah jam sebelum misa, Jacob sudah tiba di gereja. Apakah memang hari ini dia tidak datang misa? Mudah-mudahan ini perkiraan yang salah.
***

            Saya meninggalkan area gerbang dan masuk ke dalam gereja. ‘Teman’ saya sudah menunggu di sana. Kami mengikuti misa yang penuh hikmat itu. Kepada Tuhan kami persembahkan segala kesulitan dan kegalauan hati yang kami alami selama ini. Rasanya inilah persembahan terindah bagi Tuhan.
            Bila hendak dibayangkan, apa yang kami alami terlalu berat. Hanya ketabahan dan kebesaran hatilah yang mampu menghantar kami untuk mengerti semuanya. Kesulitan memang akan selalu ada. Tetapi harus kami akui bahwa cukup berat untuk urusan yang satu ini.
            Kerinduan yang terpendam selama ini untuk menghadiri Perayaan Ekaristi bersama akhirnya terpenuhi. Segala kegalauan bisa dipersembahkan kepada Tuhan. Kami akan kembali dengan hati baru dan semanat baru. Hanya satu yang kami mohon yakni kebesaran hati untuk menanggung semuanya. Misi pertama selelsai. Saya akan segera mulai menjalankan misi kedua.

***
            Misa pertama telah usai. Saya masih berharap agar Jacob benar-benar datang hari ini. Selain mengambil gambar, saya juga merindukan untuk bertemu dan melihat langsung pemilik Harian Kompas ini. Setelah saya menanyakan perihal apakah Jacob sudah datang atau belum ke satpam, ia hanya menjawab “belum.”
            Kesempatan itu saya manfaatkan untuk mendapatkan beberapa informasi lagi di sekretariat. Beberapa pertanyaan saya ajukan kepada ibu yang ada di sekertariat. Setelah merasa cukup, saya meninggalkan ruangan yang sedikit sepi itu.
            Saya kembali menghampiri satpam yang melambai-lambaikan tangannya mengatur mobil dan motor yang masuk ke lahan parkir. “Apakah Jacob sudah datang?” tanya saya. “Tuh, baru tiba, tapi belum turun dari mobil,” jawab satpam.

            Serentak jantung berdetak makin kencang. Ada ketakutan dan seribu was-was. Jangan-jangan saya akan dimarahi karena memotret  Jacob tanpa ijin. Apakah saya akan diusir? Atau malah dipukuli?
            Saya mengambil posisi di antara mobil yang diparkir di sana, persis menghadap ke pintu masuk gerbang gereja. Kamera canon pinjaman dari kantor tergenggam erat ditangan. Untuk mengurangi segala kecurigaan, saya sengaja memotret gereja dan beberapa umat yang lalu lalang di situ.
            Beberapa menit berselang, Jacob berlangkah masuk. Ia setengah dipapah sang sopir. Belum sempat mengangat pandangannya ke arah saya yang berdiri satu garis lurus dengannya, dua kali jepretan sudah berhasil saya rampungkan. Secepat kilat jepretan lain menyusul. Semua masih diam. Saya turunkan kamera dan membiarkan dia terus berlangkah memasuki gereja. Ia berjalan menuju pintu belakang.
            Saya mengambil jalan pintas melalui pintu samping gereja. Agar mengurangi kecurigaan, saya memotret altar, umat, dan beberapa objek lain yang ada dalam gereja, sambil bergeser menuju tempat di mana Jacob duduk. Ia duduk di bangku urutan lima dari belakang. “Sesuai informasi,” pikir saya.
            Setelah mencapai jarak tiga meter, beberapa jepretan ke arah Jacob berlangsung cepat. Aku berpindah ke sisi kiri Jacob. Beberapa kali jepretan berhasil saya raih. Saya mengambil tempat duduk tiga bangku di depan Jacob karena misa akan segera dimulai. Saya duduk diam sambil menilai hasil jepretan, apakah sudah tepat  atau belum. Kayaknya perlu ditambah.

Perayaan Ekarisrti telah berlangsung. Ketika sampai pada pernyataan tobat, saya keluar dari barisan tempat duduk dan mundur tiga langkah. Kamera Canon kembali saya arahkan ke Jacob. Beberapa jepretan kemali terekam cepat. Saya keluar meninggalkan gereja. 
Baru saya sadari bahwa apa yang saya takuti sebelumnya ternyata tidak terjadi. Saya mulai berpikir, apakah ketakutan ini merupakan kenyataan yang akan terjadi atau hanya bayangan? Apakah saya takut pada hasil konstruksi bayangan saya sendiri? Jika demikian, sungguh ironis dan memalukan. Saya takluk pada bayangan sendiri. Ketakutan yang tanpa alasan. Memang itulah yang sering terjadi dalam hidup dan jarang disadari banyak orang.

Stefanus P. Elu
Kos Bambu,  Kamis 10 November 2011

Senin, 07 November 2011

Cintailah yang Kamu Miliki Saat Ini

Simak deh..
Jika ќαмϋ memancing ikan, setelah ikan îτϋ terikat ϑi mata kail, hendaklah ќαмϋ mengambil Ikan îτϋ...
Janganlah sesekali ќαмϋ lepaskan ia ќεmbali ќε ϑάlάм air begîτϋ saja... Karena ia akan sakit oleh karena ќεtajaman mata kailmu ϑäπ mungkin ia akan menderita selama hidupnya.

♚ Begîτϋlah juga setelah ќαмϋ memberi ϐäπγάќ pengharapan ќεpada seseorαπg...
Setelah ia mulai menyayangimu hendaklah ќαмϋ menjaga hatinya... Janganlah sesekali ќαмϋ meninggalkanγά begîτϋ saja...
Karena ia akan terluka oleh ќεnangan bersamamu ϑäπ mungkin tiϑάќ dapat melupakan segalanya selamanγά...

✽ Jika ќαмϋ telah memiliki sepiring nasi... Yάπĝ pasti baik ϋπτϋќ dirimu, mengenyangkan, berkhasiat.
Mengάƿά ќαмϋ mencoba mencari makanan γάπĝ lain? Terlalu ingin mengejar ќεlezatan.
ќεlak, nasi îτϋ akan basi ϑäπ ќαмϋ tiϑάќ dapat memakannya. ќαмϋ akan menyesal.

✽ Begîτϋ juga jika ќαмϋ telah bertemu ϑëπƍάπ seseorαπg...
Yάπĝ membawa kebaikan ќεpada dirimu, menyayangimu, mengasihimu.
Mengάƿά ќαмϋ mencoba membandingkannγά ϑëπƍάπ Чάπƍ lain?
Terlalu mengejar ќεsempurnaan.
ќεlak, ќαмϋ akan kehilangannγά.

♚Ingatlah.. Jika ќαмϋ memiliki seseorαπg, terimalah dia apa άϑάnγά...