Jumat, 23 Desember 2011

Narasi Petualangan Sehari: Nyata dan Idea


Pagi itu, Senin, 19 Desember 2011. Saya tampaknya cukup bersemangat, meski harus berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Sekitar pukul 08.30 saya tiba di kantor. Di sana teman saya sudah menunggu. Wah ternyata ia tiba lebih awal lagi.
          Seturut rencana kami, hari ini kami akan berangkat ke UI Depok untuk meliput beberapa kegiatan di sana. Ruas jalan yang tampak sedikit macet dan mulai terasa panas pun kami telusuri. Kalau dibilang malas sih, iya. Tapi ada yang lebih di sana. Ada “bening-bening” di sana. Hahahahahaha…..tentu bukan itulah motivasi utamanya, tapi sampingan yang cukup menarik tentunya.
          Sama-sama orang baru, memasuki area kampus UI Depok yang masih dalam balutan nuansa alam oleh pohon-pohon rindang itu membuat kami bangga dan sedikit bingung. Ya, meskipun tidak kuliah di sana, paling tidak pernah masuk dan sedikit menikamati aura kampus yang tenar dan familiar dalam perbandingan kampus-kampus di Indonesia ini.
          Mulanya, kami mengikuti ujian promosi doktor seorang imam diosesan Keuskupan Palembang, Pastor Yustinus Slamet Antono Pr. Pastor yang adalah dosen tetap Fakultas Filsafat Unika St Thomas Pematangsiantar, Sumatera Utara, sejak 2001 ini menghadapi ujian promosi doktor dengan judul disertasi “Ziarah dalam Perspektif Sosiologi Studi Keagamaan Populer di Keuskupan Agung Semarang”.
          Paling tidak yang bisa saya tangkap dari presentasi Pastor Slamet ini adalah bahwa gabungan antara religiositas lokal (Jawa) dan relgiositas Katolik tidak mengandung pretensi untuk saling meniadakan, tetapi justru saling memeperkaya. Juga, seseorang yang memilih untuk memeluk religiositas Katolik tidak pernah serentak pula melepaskan religiositas lokalnya. Justru ia harus berani menemukan unsur-unsur terdalam yang ada dalam religiositas kedua ‘agama’ itu sehingga menopangnya untuk menyembah sekaligus membawanya untuk dekat dengan Sang Pencipta.
          Selepas ujian Pastor Slamet yang diraih dengan lulusan cum laude ini, saya bersama dengan teman saya menemui Dosen Sastra UI Depok dan seorang tokoh feminis, Manneke Budiman, untuk mewawancarainya.
          Banyak hal yang kami bicarakan di sini. Hal yang paling menarik bagi saya adalah pernyataan Manneke “seorang seniman yang baik adalah seorang yang membiarkan dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi orang lain untuk berkreasi. “Kita tidak punya hak untuk menghalangi orang yang mau menulis atau memulai sesuatu, terutama di bidang sastra,” tuturnya. Menurut Manneke, apapun tulisan yang dihasilkan oleh orang lain, entah itu ia seorang penulis terkenal atau bukan, perlu dihargai dengan cita rasa yang sama.
          Kebiasaan yang terjadi adalah kita membaca tulisan orang lain bukan untuk menemukan hal-hal baru atau makna tulisannya, melainkan mencari kelemahan-kelemahan yang tampak dalam tulisan itu untuk dijadikan senjata kritik penulisnya. Kita membaca sebuah teks dengan sejuta klasifikasi dan penilaian yang kita miliki. Maka, yang terjadi adalah bukan mendapatkan hal baru, tapi kelemahan untuk menyerang atau menilai buruk tulisan orang lain. “Ini biasanya dilakukan oleh mereka yang sudah senior di bidang tertentu,” tegas Manneke.
          Manneke melanjutkan, sudah saatnya kita memberikan ruang kreasi yang cukup bagi penulis-penulis muda. Biarkanlah mereka berkreasi dengan kemampuan yang mereka miliki. Para senior hanya membantu mereka untuk menemukan kelebihan dan menguatkan kelemahan mereka demi kemajuan bersama. Akhir-akhir ini, banyak orang muda yang begitu berprestasi di bidang tulis-menulis.
          Hal ini terbukti. Dua jam setelah perjumpaan itu, kami menyisihkan waktu untuk menghadiri sebuah seminar bertajuk “Cinta dan Kematian.” Meski kami adalah tamu yang tidak diundang, karena hanya mampir karena sempat melirik spanduk yang terpajang di area kampus, toh yang kami inginkan adalah pengetahuan yang bisa kami dapatkan dalam seminar itu.
          Dari tiga pembicara yang hadir, dua di antaranya masih sangat muda. Mereka adalah Saraswati Dewi dan James Farlow Mendrofa M. Hum. Kedua pembicara muda ini sangat berbakat dalam mengemukakan pengertian yang mereka miliki terkait tajuk seminar. Paling tidak dalam perspektif saya.
          Kedua pembicara ini, termasuk pembicara ketiga yang sudah lebih senior di lingkungan UI Depok, Tommy, berusaha mengelaborasi makna dan inti terdalam dari cinta. Jika mengacu pada statement awal makalah Saras, “Cinta mudah diterjemahkan ke dalam pusi, lagu, dan tarian, karena ranah cinta dan irasionalitas jauh lebih mudah diekspresikan, tetapi bisakah kita mendiskursuskan cinta?, memang pendekatan yang dipakai cukup mengena dengan mengacu pada cinta platonis. Tetapi rupanya jika tidak hati-hati, maka kita akan salah jalur. Pasalnya, ketika Platon mendiskursukan cinta, ia menempatkannya dalam karangka besar pemikirannya “Dunia Idea”.
Platon tidak pernah berbicara tantang realitas. Jika Platon berbicara tentang individu yang mencintai dan dicintai, individu yang dirujuk adalah individu dalam dunia idea. Demikianpun cinta ala platonis. Meskipun dalam kelanjutannya, individu-individu ini akan beremanasi.
Akhir diskursus dari permenungan panjang dan ruwet ini, adalah “biarkanalah cinta mengalir dalam ranahnya sendiri. Janganlah kita mereduksi cinta pada ruang dan waktu dalam perpektif keterbatasan kita. Sebab cinta adalah konsep yang tiada mengenal batas waktu dan ruang, melampaui batas-batas netra.”

Stefanus P. Elu
Kebun Jeruk, 24 Desember 2011

Kesadaran Di Hari Ibu


Suatu ketika, seorang senior di tempat kerja saya mengatakan bahwa “seorang bayi belajar mengenali ibunya dari baunya. Bau dari seorang ibu lah yang pertama terekan rapi dalam pikiran dan rasa si bayi.”
Bila dibayangkan, pernyataan ini benar. Seorang bayi akan menangis tiada henti bila ia tidak digendong oleh ibunya. Ia akan selalu mencari ibunya di saat ia merasa lapar dan haus. Ia akan menangis histeris bila dalam jangka waktu yang lama ia tidak berada dalam dekapan ibunya. Begitulah kedekatan seorang ibu dengan bayinya, atau sebaliknya.
Peran seorang ibu, mulai dari perencanaan hadirnya seorang bayi hingga tumbuh dan menjadi dewasa tak ternilai harganya hingga sampai pada pertaruhan nyawa. Seorang ibu akan selalu merindukan anaknya. Benarkah demikian?
Masih terekam betul dalam ingatan saya iluastrasi, bahkan kenyataan yang diungkapkan oleh seorang teman saya. Saya selalu mengingat cerita dari teman itu karena saya sendiri pernah mengalaminya. Beginilah ceritanya.
Biasanya, kita membunuh ayam untuk dijadikan lauk makan malam dalam keluarga. Kebiasaan ini biasanya terjadi di kampung-kampung karena tidak ada pasar yang menyediakan daging ayam jadi. Kita membunuh ayam itu kemudian meraciknya menjadi menu paling enak yang akan kita nikmati bersama dalam keluarga. Bahkan, sepotong daging pun jangan sampai tercecer, mengingat cukup atau tidaknya daging ayam itu untuk jumlah anggota keluarga yang ada. Biasanya ibu lah yang sungguh berperan dalam proses pengolahan ini. Syukur kalau anaknya ingin membantu.
Setelah semua persiapan makan malam selesai, tibalah saatnya untuk bersantap malam bersama. Ibu bisanya mempersilakan ayah dan anak untuk mengambil terlebih dahulu.
Tiba giliran ibu. Setelah mengambil nasi, ibu mengambil hanya daging kaki ayam. Ya,,,,,biasanya juga dengan daging yang lain, tapi bila itu diperlukan. Ibu selalu merasa cukup hanya dengan “kaki ayam” itu. Ketika kita menanyakan atau memintanya mengambil daging yang lain, ia hanya menjawab, “Nak, kaki ayam ini daging paling enak. Ibu suka sekali daging ini”. Lalu kita pun membiarkannya.
Menurut teman saya, bukan itulah realitas yang sebenarnya. Ibu berani melakukan itu karena ia sangat mencintai ayah dan anaknya. “Jangan sampai mereka kekurangan daging.” Ia merasa cukup dengan daging kaki ayan itu, karena ia mau memberikan yang terbaik dan termanis bagi ayah dan anaknya.
Mmmmmm……saya sangat tersentuh dengan kisah ini. Sebelumnya memang saya mengalaminya beberapa kali dalam hidup saya. Tetapi saya belum pernah berpikir sejauh ini. Inilah hal yang biasa. Cukup mengharukan bukan?
Bila disimak lebih jauh, seorang ibu rela menekan rasa pribadinya demi kebahagiaan sang suami dan anak-anaknya. Tapi terkadang kita lupa mengucapkan terima kasih. Atau paling tidak “I LOVE YOU MAM”.
Sekiranya kita mulai belajar dengan giat untuk merasakan kasih sayang besar ini. Selamat Hari Ibu, 22 Desember.
Stefanus P. Elu
Kebun Jeruk, 24 Desember 2011

Seni Wayang Orang


Orang yang mengutamakan seni dalam hidupnya adalah orang yang sungguh kritis memilih mana yang baik dan mana yang jelek. Bayangkanlah kalau kita datang ke sebuah mall atau supermarket lalu kita tidak memiliki jiwa seni sehingga tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan celana dan baju dengan mode terbaru. Ironi bukan?
Seni juga terkadang menjadi tempati kreativitas. Misalnya, beberapa bulan lalu sekelompok orang di Surabaya melayangkan protes kepada langkah lambat pemerintah Indonesia menemukan dan memulangkan tersangka Wisma Atlet Palembang, Muhammad Nazardin dengan melakonkan proses penangkapan Nazarudin di pinggir jalan. Ternyata Nazarudin hanya bersembunyi di balik sebuah pohon dan ditemukan oleh seorang hansip. Tidak perlu inteligen khusus bukan?
            Malam itu, Rabu, 14 Desember 2011, Panitia Pembangunan Gereja Paroki Ratu Rosari Jakakarsa Tangerang, Banten bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata mengadakan Pagelaran Wayang Orang bertajuk “Gatotkaca Ngedan” di Gedung Graha Bakti  Budaya Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Mereka memakai seni Wayang Orang untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gereja Jakakarsa.
            Wayang orang yang disaksikan sekitar 300 orang ini menceritakan Negara Amarta yang damai dan tenang oleh Karena kebijakan yang berpihak pada rakyatnya. Situasi ini membuat Negara-negara tetangganya merasa iri dan ingin menguasai Negara itu. Sementara di dalam kerajaan itu sendiri, terjalin sebuah komunikasi dan kerjasama yang begitu erat sehingga dengan mudah mereka dapat menampik semua tantangan dari luar. Maka usaha mereka sebenarnya sia-sia saja.
            Pastor Paroki Ratu Rosari Jakakarsa yang merupakan salam satu pelakon, Celtus Winarno Hardosuyatno MSF, ketika diwawacara mengungkapkan rasa terima kasih dan apresisasi yang sangat tinggi bagi umat separoki, terlebih bagi OMK dan anak-anak yang mau terlibat dalam pementasan ini. “Kita perlu mendukung kaum muda dan anak-anak agar mereka berusaha mengenal budaya-budaya yang kita miliki saat ini. Memang, tujuan pagelaran ini adalah pencarian dana untuk pembangunan gereja kami, tetapi usaha untuk memperkenalkan budaya kepada anak adalah hal yang urgen juga,”  pungkas Pastor Hardo.
            Senada dengan Pastor Hardo, Ketua Panitia Pagelaran, FX. Djoko Purwanto juga melihat kesempatan ini sebagai kesempatan baik untuk pengenalan budaya kepada masyarakat. “Kebetulan mayoritas paroki kami adalam orang Jawa. Di sana juga Paguyuban Seni dan Budaya yang beranggotakan orang-orang yang mencintai dan punya kepedulian pada dunia seni. Dari sinilah kita mengeksplorasi dan mulai mengenalkannya budaya kepada umat,” kata Joko.
            Pentas yang memakan waktu persiapan selama tiga bulan ini melibatkan sekitar 70 pelakon. Di antara para pelakon itu terdapat tiga pastor, tiga suster, dan satu Bruder. Mereka bersatu dalam sutradara dan koreografi Surip Handayani dari Wayang Orang Bharata.
            Secara spesifik, lakon “Gatotkaca Ngedan” ini mengisahkan pentingnya kebersamaan dan komunikasidi dalam keluarga. Apabila di dalam rumah dapat terjalin kebersamaan dan komunikasi yang baik antaranggota keluarga, maka tidak mustahil kebahagiaan yang diidamkan dapat terwujud dan dirasakansemua anggota keluarga.
            Walau sejujurnya harus saya katakana bahwa saya susah menangkap apa yang diperckapkn di panggung, karena semua komunikasi memakai bahasa Jawa kerajaan, saya bisa menangkap pesan lewat gerak-gerik para pelakon dan runutan aktivitas di panggung.
            Pementasan ini, Joko menjelaskan, adalah pementasan yang ketiga. Dan pentas kali ini melibatkan kaum muda dan anak-anak lebih banyak dari du pentas sebelumnya. Tentu ada perbaikan dan penyempurnaan pada pentas kali ini.

Stefanus P. Elu
Kebun Jeruk, 23 Desember 2011

Minggu, 11 Desember 2011

Gosip adalah Proses Penyayatan


“Jangan pernah menyebarkan gossip. Karena ketika Anda menyebarkan gosip, maka Anda menjadikan orang lain tong sampah, dan Anda sendiri adalah sampahnya.”

***
        Ungkapan ini mengingatkan saya akan sebuah ilustrasi saat saya masih aktif sebagai pendaping Bina Iman Anak di Sekolah Minggu. Kira-kira ceriteranya seperti ini:
        Suatu hari, seorang ibu datang mengaku dosa kepada pastor parokinya. Dalam pengakuan itu, tampak bahwa dosa yang paling banyak dilakukan oleh itu adalah bergosip ria setiap hari. Sebelum pastor, atas nama Gereja memberi absolusi atau pengampunan, pastor itu meminta si ibu pulang ke rumah untuk mencabut semua bulu ayam yang ada di rumah lalu menyebarkan bulu-bulu itu dari atas atap rumah.
        Ibu itu pun pergi dan melakukan sesuai apa yang diperintahkan kepadanya. Setelah itu, ia pulang dan melaporkan hasil kerjanya kepada pastor. Kemudian pastor itu, sekali lagi menyuruh ibu itu untuk pulang dan mengumpulkan kembali semua bulu ayam itu. Ibu itu mulai membantah! “Tentu saja saya tidak bisa mengumpulkan semuanya, karena bulu-bulu ayam itu sudah dibawa angin ke mana-mana,” keluh si ibu.
        Pastor parokinya menjawab, “begitu pula dengan gosip. Ketika Anda menjelek-jelekan nama orang lain, kabar itu akan kian cepat tersiar. Anda tidak mungkin bisa mengumpulkannya lagi. Dan nama orang yang Anda gosipkan semakin jelek. Sekarang, pulanglah dan jangan bergosip lagi.”
***
Persoalan gosip memang sering terjadi dalam hidup kita. Sadar atau tidak, dalam takaran sedikitpun kita pasti pernah melakukannya. Kadang kita hanya mau iseng-iseng, ataupun serius. Ketika kita sedang bergosip, kita tidak pernah berpikir, apa yang akan dirasakan orang itu kalau sampai ia mendengar hal ini? Atau paling tidak kita perlu bertanya diri, apakah saya pun punya salah dan kemarin, atau hari ini, atau esok nanti saya akan digosipkan juga?
Membicarakan orang lain memang perlu karena dapat berfungsi sebagai alat kontrol social. Akan tetapi hal ini akan menjadi momok yang keji bila disertai dengan pendapat pribadi yang bertujuan melumpuhkan orang yang dibicarakan. Ini adalah pembunuhan.
Bukankah orang sering berpendapat, ‘mending sekali ditikam langsung mati, daripada disayat perlahan-lahan’. Gosip adalah bagian dari penyayatan secara perlahan itu.

Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 11 Desember 2011

Penentuan Diri dan Dialog untuk Papua


Persoalan Papua perlahan menyita perhatian Negara Repubik Indinesia (NKRI) dan dunia. Penembakan terhadap rakyat sipil semakin meningkat tanpa ada kelompok yang mau bertanggung jawab. Tuduhan terhadap para kelompok separatis OPM semakin menguat, walau tanpa bukti-bukti otentik. Persoalan ini pun kian rumit. Masing-masing mempertahankan pola pemikirannya, seolah itulah yang paling benar. OPM perlahan mengarah ke “Penentuan Diri Sendiri”, sedangkan NKRI mengusahakan persatuan dan kesatuan sebagai satu kesatuan, se-bangsa dan se-tanah air.
Jika disinyalir lebih jauh, hembusan perjuangan orang-orang Papua untuk “menentukan diri sendiri” semakin hari semakin kencang. Mereka mengarahkan pandangan ke suatu situasi di mana mereka akan hidup tanpa tekanan dan bebas dari eksploitasi. Harapan ini tampak dalam semiar yang dilangsungkan di Ruang Seminar Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Utara, Sabtu, 10 Desember 2011.
Seminar yang bertajuk “Orang Papua dan Penentuan Sendiri” menghadirkan pembicara Ketua Ikatan Mahasisa Papua, Siprianus Bonai, Ketua Sinode Gereja Babtis Papua, Pendeta Socratez Sofian Yoman, Guru Besar STF Driyarkara Jakarta, Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, dan Sekretaris Presidium Dewan Papua, Thaha Muhammad Alhamid.
Siprianus mengemukakan secara detail dinamika perjuangan NKRI untuk mengintegrasikan Papua menjadi salah satu bagiannya.  Terdapat berbagai proses ‘abu-abu’ yang sampai saat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya:
1.    Pada 1961, Belanda membentuk Neuw Guinea Raad yang selanjutnya Papua mendeklarasikan kemerdekaannya pada 19 Oktober 1961, sementara upacara kemerdekaannya dilaksanakan pada 1 Desember 1961. Sejak saat itu hingga sekarang, orang Papua merasa bahwa mereka telah merdeka. Mereka adalah satu Negara.
2.    Pidato Soekarno di Yogyakarta 1961 yang dikenal dengen TRIKORA, dalam perspektif Papua adalah awal pencaplokkan bangsa Papua ke Indonesia. Semenjak itu, pengiriman TNI ke Papua semakin meningkat.
3.    Perjanjian New York 1962 adalah hasil persekongkolan belaka. Dalam membuat perjanjian itu, orang Papua tidak dilibatkan secara adil. Dari hasil persengkongkolan itu, Papua diintegrasikan ke dalam NKRI.
4.    PAPERA 1969 dilaksanakan dalam tekanan, intimidasi, dan penipuan. Jumlah orang Papua yang diikutsertakan dalam pertemuan itu hanya 1025 dari 800.000 jiwa penduduk Papua saat itu. Dari mereka ditanya apakah memilih NKRI atau mau terpisah. Hasilnya, bersatu dengan Indonesia. Jelas! Jumlah ini tidak bisa mewakili seluruh pendapat orang-orang Papua.
          Senada dengan data-data Siprianus, Pendeta Yoman menambah berbagai perkembangan ketimpangan baik dari masa lalu hingga saat ini. Pendeta Yoman bereferensi pada bukunya, 2011, West Papua: Persoalan Internasional, Jayapura: Cendrawasih Press. Berbagai hal dikemukakan dalam buku ini. Secara umum, asumsi Pendeta Yoman dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya orang Papua menentukan dirinya sendiri. Sudah sejak lama, orang Papua hidup dalam tekakanan dan rasa takut. Orang-orang Papua juga adalah  manusia. Maka harkat dan martabat mereka harus dihargai dan diperlakukan sebagaimana mestinya.
           Sementara itu, Pastor Magnis-Suseno juga mengamini bahwa akhir-akhir ini terjadi pelanggaran HAM paling besar di Papua. Orang-orang dibunuh seperti binatang. Orang tidak lagi melihat manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Kenyataan ini, menurut Magnis, kiranya menjadi cermin bagi perjuangan bangsa Papua. Segala keputusan yang mereka ambil akan selalu berisiko. Maka, orang-orang Papua perlu berpikir serius dua kali sebelum sampai pada sebuah keputusan final. Pelanggaran HAM tidak perlu terjadi lagi. Jangan sampai kejadian di Timor Leste terulang lagi. Apalagi, hingga saat ini, populasi penduduk asli Papua tinggal 35%. Hal ini sangat menyedihkan karena terncam habis.
          Thaha mengatakan, saat ini TNI berjuang mati-matian untuk mempertahankan Papua karena mereka merasa berjasa membawa masuk Papua ke NKRI. Ini merupakan paham yang terus dibangun sehingga kekerasan itu tidak pernah akan berakhir.
          Jika kita memikirkannya dari sudut ‘perlakuan yang adil’ maka saya yakin kita akan sepakat bahwa orang-orang Papua pun harus diperlakukan seperti orang Jawa, Orang Jakarta, dan orang-orang dari seluruh pelosok negeri ini. Jika kita menganggab mereka sebagai bagian dari NKRI mengapa kita harus memakai senjata untuk memanggil atau mendekati mereka? Bukankah hanya binatang buruan yang perlu dihadapi dengan senjata dan pentungan? Jika orang-orang Papua adalah bagian dari bangsa ini, maka dialog dengan komitmen saling menghargai adalah mediasi atas persoalan-persoalan yang ada.

          Mungkinkan sebuah dialog damai dapat ditempatkan sebagai opsi utama dalam menyelesaikan konfik yang semakin hari semakian miningkat di Papua saat ini?

Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 11 Desember 2011