Sebulan yang lalu, beberapa truk mengangkut sejumlah orang kembali ke Timor Timur. Katanya mereka akan mengikuti jajak pendapat untuk menentukan masa depan mareka. Atau bersama Indonesia atau otonom. Saya tidak tahu sampai ke situ. Yang saya dengar, katanya bapak presiden Indonesia sudah memberi instruksi. Mereka hanya memilih di antara dua opsi itu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak susah juga.
Penduduk desa saya memang
paling ujung dari Kabupaten Kupang. Bersebelahan langsung dengan Citrana, Timor-Timur.
Desa Netemnanu Utara namanya. Sebagian penduduk adalah masyarakat asli,
sebagian lagi keturunan Oecussi, Timor-Timur, sebagian lagi pendatang dari
beberapa desa tetangga. Saya sendiri yang adalah putera tunggal dalam keluarga
yang diklasifikasikan sebagai pendatang. Ayah suku pendatang, menikah dengan ibu
suku asli setempat. Saya dan orangtua saya tidak termasuk dalam kelompok orang
yang harus memilih dua opsi bapak presiden. Sejak orangtua hingga saya, kami
tetap cinta Indonesia.
Benar. Baru dua hari,
sebagain masyarakat yang berangkat untuk coblos sudah pulang. Sebagian lagi baru
pulang hari berikutnya. Hari-hari setelah kepulangan mereka diisi berbagi
cerita mulai dari kegiatan mencolos hingga kunjungan keluarga. Masing-masing
dengan versinya sendiri. Singkatnya, dua atau tiga minggu ke depan akan
diperdengarkan hasil coblosan mereka.
Sebulan berselang dentuman
senjata dan kupulan asap hitam menghiasai udara. Antara mereka yang pro
Indonesia dan kontra Indonesia saling membunuh, menjarah, mengejar, dan bahkan
saling membantai. Rakyat Timor-Timur berbondong-bondong meninggalkan rumah.
Mereka lari. Mereka menghindari peluru para penjaga keamanan. Pengungsian
dimulai. Ada yang terpisah dari orangtuanya. Ada yang terpisah dari kekasihnya.
Ada yang terpisah dari adik, kakak, tante, ataupun pamannya. Semua mimpi indah
coblos telah berubah.
Rumah kami kedatangan
sekitar sepuluh kepala keluarga. Kami tinggal apa adanya. Semua serba terbatas.
Tempat untuk tidur, makan, masak pun seadanya. Kebersihan tampak jauh dari
harapan. Jumlah penduduk desa membengkak hingga tiga kali lipat.
Di sekolah pun sama
adanya. Kepala sekolah saya mengambil kebijakan untuk menerima anak-anak
pengungsi yang mau melanjutkan pendidikan. Jumlah siswa semakin bertambah.
Sampai-sampai satu kelas bisa berisi 50-60 siswa. Saya yang waktu itu kelas II
SMP tidak mempersoalkan hal itu. Nyatanya, saya punya lebih banyak teman. Saya
bisa bermain sepak bola dengan mereka atau memancing di sungai. Sederet rekreasi
ala anak kampung lainnya juga kami lakukan.
Di rumah tetangga ada
seorang gadis paroh baya. Namanya Ditta. Usianya baru genap 15 tahun. Saya tahu
karena baru masuk seminggu di sekolah kami ia merayakan ulang tahunnya bersama
teman-temannya. Saya juga diundang. Bila dipandang sekejap, Ditta memang tidak
cantik. Tapi menurutku ia manis. Warna kulitnya sawo matang. Rambutnya ikal.
Bola matanya lentik kecoklatan. Hidungnya mancung. Postur tubuh, menurut saya,
ideal. Ibunya keturunan portugis. Yah, kurang lebih itulah Ditta, bila ingin
dibahasakan.
Semenjak perayaan ulang
tahunnya itu, kami cukup akrab. Beberapa kali kami pergi bersama. Entah ke
pantai, atau ke sawah milik kami. Bila malam menjelang, kami sering duduk dan
bercanda bersama.
“Roy, malam ini kamu mau ke mana?” tanya Ditta saat kami berpapasan di
sumur. Ia hendak mandi.
“Saya di rumah saja. Tidak ke mana-mana. Kenapa?”
“Tidak. Saya hanya ingin cerita lagi
seperti dua malam lalu.”
“Oh, boleh. Tapi kamu sudah menyelesaikan tugas matematikamu?”
“Tinggal beberapa nomor lagi. Mungkin baik kita selesaikan bersama, baru
kita mulai cerita.”
Tugas-tugas itu cepat kami selesaikan. Sebab, kata Ditta, ia punya cerita
yang lebih menarik dari dua malam lalu.
“Saya masih ingat sama paman saya. Waktu kami mengungsi ia tertinggal di
rumah,” Ditta mengawali cerita.
“Memangnya kenapa sehingga dia tidak ikut?”
“Waktu itu sekitar pukul 19.00. Segerombol tentanra datang membawa senjata
lengkap dan memaksa kami keluar rumah malam itu juga. Kami dibawa ke kantor
desa. Di sana sudah disiapkan truk. Lalu kami dibawa ke sini.”
“Emangnya dia tidak tahu tentang kedatangan para tentara itu?”
“Om saya lagi sakit. Ia kena strocke
setahun yang lalu. Sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Waktu kami dipaksa keluar
rumah, ia masih tertinggal di dalam kamar. Saya dan mama panik. Yang saya
ingat, adik saya yang baru tujuh tahunan itu yang berteriak-teriak ingin
memberitahu tentara-tentara itu bahwa Om masih tertinggal di dalam kamar. Tapi
mereka tidak menghiraukannya. Malah ketika kami sudah di atas truk, dari jauh
terlihat kepulan asap hitang keluar dari bubungan rumah kami. Dugaan saya, Om
ikut terbakar di dalam rumah itu.”
“Sadis juga ya.”
“Ah, kamu tidak tau Roy. Tentara itu sudah banyak membunuh orang-orang
kami. Ayahnya Metty yang di bangsal sebelah itu saja sampai sekarang belum
ditemukan. Kemungkinan ia dibunuh. Soalnya, waktu kami mau berangkat ke sini,
ayahnya bilang ia akan menyusul besok karena barang-barang di rumah belum
terangkut semuanya. Tapi toh sampai sekarang tidak ada kabar.”
Begitulah Ditta. Ia banyak berkisah tentang kampung
halamannya yang kini hangus terbakar dan luluh lantah. Kadang ia bercerita
sambil tertawa, kadang juga diwarnai tangis. Aku lebih banyak mendengar dari
pada menanggapi. Saat ada waktu luang di sekolah pun kami memakainya untuk
bercerita. Ia selalu bercerita tentang kejadian-kejadian baru.
Karena keseringan berdua, orang menyangka kami
berpacaran. Tapi sebanarnya antara saya dan Ditta hanga terhubung oleh rasa
ingin berbagi dan kasihan. Ditta ingin membagikan apa yang menyesakkan dadanya
saat menyaksikan perlakuan para tentanra terhadap orang-orangnya dan kampung
halamnnya. Sementara saya hanya merasa kasihan mendengar cerita-cerita itu. Tak
pernah terbesit dalam pikiran kami bahwa semua yang terjadi itu terbingkai
dalam ironi politik. Kami hanya yakin bahwa semua telah rusak, hangus, dan
berantakan.
Suatu malam di awal pekan, kami bercerita hingga tengah
malam. Orang-orang di rumah saya sudah pada lelap. Malam terasa sepi. Ditta
masih komat-kamit tanpa henti. Di sela-sela ceritanya saya bertanya,
“Suatu saat jika semua kejadian menakutkan ini berakhir, apakah kamu akan
kembali ke kampungmu?”
“Tergantung orangtua saya. Tapi saya masih takut pulang. Kan bisa saja kejadian
sadis itu terulang lagi.”
“Saya pasti merindukan kamu dan cerita-ceritamu.”
“Yah, saya hanya menceritakan apa yang terjadi di kampung saya. Terima
kasih kamu mau mendengarnya.”
“Oh, tentu saja ini cerita yang menarik. Saya senang mendengarnya.”
“Saya ingin punya waktu lebih banyak bersama dengan kamu.”
“Kecuali kamu tidak pulang ke Timor Timur,” jawabku disambut senyum Ditta.
Yah, senyuman Ditta selalu menggoda. Lesung pipinya
selalu membuatnya dikagumi teman-teman di sekolah. Penampilannya yang selalu
kalem dan tak banyak dandanan semakin mengundang tatapan lama. Tak heran banyak
dari teman-teman yang ingin mendekati Ditta.
Malam itu, Ditta tidak ingin pulang ke rumahnya. Ia mau
menginap di rumah saya. Meski saya meyakinkankanya bahwa semua kamar sudah
terisi, ia tetap memintanya.
“Satu-satunya kamar yang masih kosong adalah kamar saya.”
“Saya tidak keberatan tidur dengan kamu.”
“Eh, bagaimana dengan orangtuamu nanti?”
“Tidak masalah. Di rumah tempat kami menginap pun sudah penuh. Tiap malam
saya sama ibu tidurnya ganti-gantian antara kursi dan sebilah papan.”
“Oh, okey….. Tapi tempat tidur saya juga kecil, ukuran satu orang.”
“Atau kamu tidak suka tidur dengan saya?”
“Oh tidak Ditta. Jangan salah paham. Silakan!”
Kami berbaring berdua. Ditta masih bercerita lagi. Posisi
tidur kami sangat dekat. Tanganku menyentuh pipi Ditta. Ia berhenti dari
ceritanya. Ia menatap saya lebih dalam. Jarinya menggenggam tanganku cukup erat.
Sebuah kecupan saya daratkan di keningnya. Ia masih terdiam. Aku juga terdiam. “Kamu
adalah sahabat terbaik yang pernah saya punya. Kamu bersedia mendengarkan
cerita dan keluhan saya,” bisik Ditta perlahan.
Dari balik jendela kamar orang mulai lalu-lalang di jalan
raya. Beberapa teman sudah mengenakan seragam lengkap melenggang ke sekolah.
Saya segera melompat dari tempat tidur. Ditta tak kelihatan lagi. Setengah jam
kemudian saya tiba di sekolah. Ditta belum tampak juga. Pelajaran matematika
sudah dimulai. Saya masih gelisah karena Ditta masih tak kelihatan. Apakah dia
kesakitan? Ataukah ia dimarahi ibunya? Ataukah ia masih ngantuk karena semalam
kurang tidur? Segudang pertanyaan dibumbui rasa gelisah dan takut menghatui
pikiran saya.
Hari itu Ditta tak kelihatan di sekolah. Beberapa
temannya asal Timor Timur juga tak kelihatan. “Sepulang sekolah, saya akan
bertanya kepadanya, mengapa ia tidak datang ke sekolah,” demikian saya
meyakinkan diri agar mengurangi rasa takut dan kuatir.
Ketika lonceng berdentang panjang tanda waktu sekolah
usai, saya cepat-cepat meninggalkan halaman sekolah. Di halaman Gereja yang
letaknya tak jauh dari sekolah saya terlihat beberapa truk besar bertuliskan
UNHCR. Orang beramai-ramai datang ke Gereja. Ada yang membawa tas, kasur, dan
beberapa barang lain.
Oh, rupanya hari ini para pengungsi Timor Timur akan
kembali ke kampung halaman mereka. Apakah Ditta juga? Saya berlari
sekencang-kencangnya ke rumah tempat Ditta dan keluarganya tinggal. Di sana
tampak sepi. Dari tetangga kami itu saya mendapat informasi, Ditta bersama
keluarganya sudah kembeli ke kampung halaman mereka. Mereka diangkut dengan truk
pertama, sekitar pukul 11.00 tadi.
Dengan langlah lunglai saya kembali ke rumah. Di kamar dan
di tempat tidur saya yang kecil, saya membayangkan pengalaman semalam bersama
Ditta. Rasanya begitu asik dan nikmat. Sebenarnya saya tak ingin semua berakhir
seperti ini. Tetapi kenapa Ditta pergi begitu cepat? Apakah itu ungkapan
perpisahan yang hendak ia berikan kepada saya? Mengapa ia tidak mengatakannya
jauh-jauh hari? Mengapa ia diam-diam dan pergi tanpa memberitahu saya? Apakah
ia tidak menyukai saya? Ataukah orangtuanya yang tidak suka agar Ditta berteman
dengan saya?
Saya hanya bisa mengira-ngira mengapa Ditta terlalu cepat
pergi. Tapi tak satu pun terjawab. Saya masih berbaring lemas di kamar. Suara
truk terus menderu dan akhirnya menghilang. Semua kembali sepi.
(Steve Agusta)