Minggu, 23 Januari 2011

Kamar dalam Hati

Yes 8:23b-9:3
Mat 4:12-23

Hati kita ibarat sebuah rumah yang mengatapi beberapa kamar. Ada kamar tamu, ada kamar tidur dan ada kamar pula untuk memasak (dapur). Kamar tamu dalam hati kita adalah tempat di mana kita berbagi dengan orang lain. Kamar di mana sifat-sifat kita dapat disaksikan atau pun dirasakan oleh orang lain. Kamar ini transparan. Ia memberi kepada setiap orang kesempatan untuk merasakan kehangatannya tanpa menilai orang itu baik atau buruk. Kamar tidur adalah tempat di mana hati kita mempertimbangkan keputusan-keputusan yang akhirnya akan dibawa ke ruang tamu untuk disaksikan orang. Keputusan-keputusan itu disaksikan melalui sikap dan tindakan kita setiap hari. Kamar untuk memasak (dapur) adalah tempat di mana kita mengolah segala sifat yang masih “mentah” untuk menjadi masak dan harum, sehingga ketika disajikan di ruang tamu akan memberi aroma kebahagiaan dan kekaguman bagi semua orang. Karena itu, dapur dalam hati kita harus berfungsi dengan baik agar benar-benar mengolah sifat-sifat kita sehingga keseluruhan diri kita menjadi harum dan memikat.
Yesus menyingkir ke daerah Galilea, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali, ketika mendengar berita tentang Yohanes Pembabtis ditangkap. Yesus menyingkir ke tempat yang sunyi untuk meyentuh pula bangsa yang diam dalam kegelapan (Mat 4:16; Yes 8:23-9:1). Yesus datang membawa terang dan aroma keharuman baru kepada mereka. Dari sana Yesus membawa mereka ke ruang tamu untuk dilihat banyak orang. Yesus merasa bahwa setiap orang pasti mempunyai kabaikan-kebaikan yang dapat disajikan ke ruang tamu untuk dicicipi oleh orang lain. Yesus menghendaki agar semua manusia tidak tinggal dalam kegelapan.
Sebagai pribadi-pribadi , kita diajak oleh Yesus untuk tidak tinggal di dapur saja. Di dapur terkadang gelap karena letaknya yang agak jauh ke belakang. Terkadang kita gagal mengolah sifat kita di dapur. Kita menjadi malu dan tidak berniat menunjukkan diri ke ruang tamu. Kita takut diketahui orang. Yesus mengajak kita untuk keluar dari dapur dan pergi ke ruang tamu. Yesus datang menggenggam tangan kita dan menuntun kita ke ruang tamu. Di sana ada terang. Di sana ada banyak sahabat yang dapat membantu kita untuk memperbaiki diri. Kita memang harus kembali ke dapur untuk mengolah diri lagi tetapi bukan berarti harus tetap tinggal di sana. Antara ruang tamu, ruang tidur dan dapur harus ditempati dengan porsi waktu dan kesempatan yang sama. Karena hanya dengan itu kita menjadi manusia yang dewasa. Yesus setiap hari mengunjungi kita di “rumah” kita masing-masing. Kita diajak untuk keluar dan mulai merasakan bagaimana rasanya jika hidup kita dibagikan kepada orang lain.
Seorang perempuan, seorang ibu rumah tangga pun diajak untuk sejenak meninggalkan dapur dan memberi kesaksian hidup bagi orang lain melalui sikap dan tindakannya. Perempuan harus berani melawan klaim yang selama ini mereka terima. “seorang perempuan atau ibu rumah tangga tempatnya di dapar, menyiapkan masakan untuk disajikan ke ruang tamu.” Yesus datang mengajak kaum perempuan dan meyakinkan mereka bahwa tampatmu bukan hanya di dapur. Di ruang tamu pun masih tersedia “kursi” dan “area” bagimu untuk duduk atau bertindak untuk memberi kesaksian.

Pertanyaan reflektif:
Apakah saya memberi kesempatan kepada Yesus untuk mengunjungi saya di ketiga ruang itu atau menutup diri?
Beranikah saya menyajikan sikap dan tindakan yang harum di ruang tamu?

Jakarta, 23 Januari 2011

Cermin Diri


Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan perlakuan yang baik,
Ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang,
Ia menemukan cinta dalam kehidupan

Warta Minggu Gereja Paskalis
23 Januari 2011
Yes 8:23b-9:3
Mat 4:12-23 Kamar dalam Hati

Hati kita ibarat sebuah rumah yang mengatapi beberapa kamar. Ada kamar tamu, ada kamar tidur dan ada kamar pula untuk memasak (dapur). Kamar tamu dalam hati kita adalah tempat di mana kita berbagi dengan orang lain. Kamar di mana sifat-sifat kita dapat disaksikan atau pun dirasakan oleh orang lain. Kamar ini transparan. Ia memberi kepada setiap orang kesempatan untuk merasakan kehangatannya tanpa menilai orang itu baik atau buruk. Kamar tidur adalah tempat di mana hati kita mempertimbangkan keputusan-keputusan yang akhirnya akan dibawa ke ruang tamu untuk disaksikan orang. Keputusan-keputusan itu disaksikan melalui sikap dan tindakan kita setiap hari. Kamar untuk memasak (dapur) adalah tempat di mana kita mengolah segala sifat yang masih “mentah” untuk menjadi masak dan harum, sehingga ketika disajikan di ruang tamu akan memberi aroma kebahagiaan dan kekaguman bagi semua orang. Karena itu, dapur dalam hati kita harus berfungsi dengan baik agar benar-benar mengolah sifat-sifat kita sehingga keseluruhan diri kita menjadi harum dan memikat.
Yesus menyingkir ke daerah Galilea, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali, ketika mendengar berita tentang Yohanes Pembabtis ditangkap. Yesus menyingkir ke tempat yang sunyi untuk meyentuh pula bangsa yang diam dalam kegelapan (Mat 4:16; Yes 8:23-9:1). Yesus datang membawa terang dan aroma keharuman baru kepada mereka. Dari sana Yesus membawa mereka ke ruang tamu untuk dilihat banyak orang. Yesus merasa bahwa setiap orang pasti mempunyai kabaikan-kebaikan yang dapat disajikan ke ruang tamu untuk dicicipi oleh orang lain. Yesus menghendaki agar semua manusia tidak tinggal dalam kegelapan.
Sebagai pribadi-pribadi , kita diajak oleh Yesus untuk tidak tinggal di dapur saja. Di dapur terkadang gelap karena letaknya yang agak jauh ke belakang. Terkadang kita gagal mengolah sifat kita di dapur. Kita menjadi malu dan tidak berniat menunjukkan diri ke ruang tamu. Kita takut diketahui orang. Yesus mengajak kita untuk keluar dari dapur dan pergi ke ruang tamu. Yesus datang menggenggam tangan kita dan menuntun kita ke ruang tamu. Di sana ada terang. Di sana ada banyak sahabat yang dapat membantu kita untuk memperbaiki diri. Kita memang harus kembali ke dapur untuk mengolah diri lagi tetapi bukan berarti harus tetap tinggal di sana. Antara ruang tamu, ruang tidur dan dapur harus ditempati dengan porsi waktu dan kesempatan yang sama. Karena hanya dengan itu kita menjadi manusia yang dewasa. Yesus setiap hari mengunjungi kita di “rumah” kita masing-masing. Kita diajak untuk keluar dan mulai merasakan bagaimana rasanya jika hidup kita dibagikan kepada orang lain.
Seorang perempuan, seorang ibu rumah tangga pun diajak untuk sejenak meninggalkan dapur dan memberi kesaksian hidup bagi orang lain melalui sikap dan tindakannya. Perempuan harus berani melawan klaim yang selama ini mereka terima. “seorang perempuan atau ibu rumah tangga tempatnya di dapar, menyiapkan masakan untuk disajikan ke ruang tamu.” Yesus datang mengajak kaum perempuan dan meyakinkan mereka bahwa tampatmu bukan hanya di dapur. Di ruang tamu pun masih tersedia “kursi” dan “area” bagimu untuk duduk atau bertindak untuk memberi kesaksian.

Pertanyaan reflektif:
Apakah saya memberi kesempatan kepada Yesus untuk mengunjungi saya di ketiga ruang itu atau menutup diri?
Beranikah saya menyajikan sikap dan tindakan yang harum di ruang tamu?

Jakarta, 23 Januari 2011

Selasa, 18 Januari 2011

Kehormatan Vs kebenaran


“Menguak kehormatan sama dengan bunuh diri”
Terkadang aku merasa geli membayangkannya
Aku tak tahu harus mulai dari yang mana
Hatiku mengetuk dengan keras untuk mengatakan
Yang ‘salah’ tetap ‘salah’ dan yang ‘benar’ tetap ‘benar’
Tapi sang sovereign mengaku diri pemegang kekuasaan absolut
Mengusik kehormatannya sama dengan kehilangan sebaian langkah
Aku bingung…….!!!
Apakah kehormatan berbeda dengan kebenaran?
Apakah kehormatan sang sovereign berlawaman dengan kebenaran?
Apa itu kehormatan?
Apa itu kebenaran?
Sungguh menakjubkan!!!!!!!!
Ada nurani tertutup kepada kebenaran
Kebenaran berada di bawah kehormatan
Demi kehormatan kebenaran tidak libih dari pelayan
Kebenaran menjadi urgen ketika kehormatan semakin langgeng di singgasananya
Mengapa?


Jakarta, 17 Januari 2011
Pkl. 18.25

sore itu

aku ada di sini untukmu