Kamis, 19 Mei 2011

Relasi Manipulatif

Apakah dalam diri manusia sejak asal mula adanya ada belas kasihan? Ataukah rasa belas kasihan itu pada asal mulanya tidak ada dalam dri manusia? Jika ada mungkin tidak akan ada niat untuk menyakiti yang lain. Tetapi, jika rasa belas kasihan itu diperoleh melalui proses belajar, maka sebenarnya ada dua kemungkinan yang akan muncul. Pertama, ada yang berhasil mempelajarinya dengan baik dan akhirnya mengaktualisasikan rasa belas kasihan tersebut dalam sikap hidupnya. Pertimbangan dasarnya adalah bahwa jika ia rela tak berbelaskasih kepada orang lain, maka orang pun tak akan berbelas kasih kepadanya. Atau, jika seseorang memukul orang dan orang itu merasa sakit, ia pun telah membuka kemungkinan akan terjadinya rasa sakit yang sama atau bahkan lebih untuk dirinya sendiri. Kedua, ada yang tidak berhasil mempelajarinya, apalagi menginternalisasikannya dalam diri, sehinga ia hanya melakukan apa yang ia kehendaki terjadi pada diri orang lain tanpa memikirkan efek yang akan muncul dari tindakannya itu.
Dari kemungkinan kedua ini tampak ruang di mana orang dapat menyakiti orang lain karena dalam dirnya tidak ada rasa belas kasihan. Ia kehilangan rasa solidaritasnya akan yang lain. Kehadiran yang lain hanya menjadi objek baginya untuk melepaskan keinginannya. Di sini terdapat relasi manipulatif dan kepentingan diri.
Saya menyebutnya relasi manipulatif karena hubungan yang dibangun sebenarnya terbingkai dengan tujuan yang ingin dicapai untuk kepentingan diri. Hebungan yang dibangun dengan yang lain hanya untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri. Maka, sebenarnya orang ini tidak pernah masuk pada esensi relasi itu sendiri. Di sini terdapat dua ciri manipulatif. Pertama, Ia memanipulasi hubungan yang pada dasarnya bernilai posotif bagi segala sesuatu yang bernaung di bawah kolom langit dan Yang Mengadakannya. Kedua, ia memanipulasi dirinya sendiri sebagai makhluk sosial. Tuntuan pribadinya sebagai makhluk sosial, di mana ia hanya dapat bertumbuh karena adanya yang lain.
Saya menyeutnya kepentingan diri karena dalam membangun relasi orang ini tidak pernah masuk pada hubungan yang sebenarnya. Relasi yang seharusnya membawa kedua belah pihak atau lebih yang terlibat di dalamnya pada pertumbungan ke arah kesempuraan, akhirnya hanya terbatas pada pengobjektifan. Yang lain diobjektifkan untuk mencapai apa yang dia harapkan.
Inilah realitas manipulatif terstruktur di zaman ini. Tanpa disadari manusia sedang mengembangkannya dan meumujanya dengan lutut tertekuk karena seolah tak pernah ada pilihan yang lebih objektif untuk keluar dari manipulasi ini. Manusia menyembahnya dengan sikap tertunduk dan memujanya dengan lidah terkapar tanpa kata-kata kebenaran.
Stefanus poto elu (Kos, Jakarta 19 Mei 2011)