Jumat, 07 September 2012

Uji Kompetensi dan Fasilitas Pendidikan

Dalam rubrik “Pendidikan & Kebudayaan” Harian Kompas Rabu, 5 September 2012, diuraikan dengan panjang lebar mengenai uji kompetensi yang baru saja diikuti para guru di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tulisan itu berjudul, “Tidak Lulus, 32.000 Guru Ikut Diklat”. Sementara dalam kalimat pembuka tertulis, “Umumnya Berusia di Atas 50 Tahun. Sebanyak 32.000 guru yang tidak lulus uji kompetensi awal mulai menjalani pendidikan dan pelatihan. Para guru yang mengikuti pendidikan ini mendapat nilai UKA di bawah 30 dari skala 100”.
            Di situ dipaparkan pula bahwa para guru mengikuti pelatihan dan pendidikan setelah dinyatakan tidak mencapai rata-rata kompetensi tingkat nasional 42. Mereka diberi kesempatan untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Secara umum para guru yang ikut uji kompetensi ini adalah guru-guru Sekolah Dasar (SD) dan berumur 50 tahun ke atas.

Telaah Kebijakan
            Jujur, saya terkesan dan kagum dengan kebijakan pemerintah, khususnya menteri pendidikan saat ini yang menerapkan sistem uji kompetensi kepada para guru. Inilah salah satu cara untuk mengukur bagaimana para guru membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni, sehingga bekal itulah yang akan diwariskan kepada para siswanya.
            Menelaah lebih jauh berita ini saya jadi berpikir, para guru yang mengikuti uji kompetensi ini sudah berumur 50 tahun ke atas. Dan mereka tidak lulus uji kompetensi (sama sekali tidak ada maksud untuk menyudutkan mereka). Bila dikira-kira, mungkin mereka sudah mengajar selama puluhan tahun sebelumnya. Katakan saja mereka mulai mengajar saat mereka baru berumur 25 tahun. Berarti mereka sudah menjalani profesi ini selama 25 tahun. Sebuah perjalanan yang panjang, dan kesetiaan untuk itu perlu diapresiasi.
            Tetapi saya jadi bertanya. Kalau para guru ini sudah mengajar selama 25 tahun, berapa banyak siswa yang sudah berhasil lulus dari tangan mereka? Mungkin lebih dari 1000 siswa. Dan bila disingkronkan dengan hasil uji kompetensi saat ini berarti selama 25 tahun para guru ini mengajar dengan pengetahuan dan keterampilan di bawah standar. Konsekuensi logisnya ialah siswa lulusannya pun memiliki pengetahuan dan keterampilan di bawah standar.
Inilah peristiwa kontinuitas yang sudah berlansung selama 25 tahun lalu. Baru sekarang pemerintah sadar untuk menanganinya. Negara kita baru saja merayakan HUT-nya yang ke 67. Sejak 25 tahun yang lalu, bahkan mungkin jauh sebelumnya para guru yang mendidik anak bangsa di bawah standar. Memprihatinkan bukan?
Kita baru bicara soal uji kompetensi. Belum lagi proses kelanjutan yang akan dijalani para guru di waktu yang akan datang. Syukurlah kita bisa bernapas lega kalau setelah uji kompetesi dan pelatihan ini para guru diberi fasilitas, minimal perpustakaan di sekolah agar mereka bisa membaca terus-menerus sehingga daya nalar dan keterampilannya semakin meningkat. Dan akan menjadi lebih indah lagi kalau hasil uji kompetensi bagi guru-guru dengan umur di bawah 50 bisa mencapai rata-rata nasional atau paling tidak mendekati. Kalau belum sebaiknya dipikirkan solusi matang dan segera direalisasikan.

Potret Realitas
Lepas dari niat baik dan ketulusan formal ini, saya ingin mensyaringkan sedikit pengalaman saya sepuluh tahun lalu, yang rasanya masih berbanding lurus hingga sekarang.
            Saya memang seorang anak kampung. Lahir di kampung, tinggal di kampung, dan menenyam pendidikan awal di kampung. Bolehlah diklasifikasikan sebagai anak yang kampungan. Orangtua saya seorang petani sawah. Ayah saya seorang pekerja keras, sementara ibu mengimbanginya dengan kreativitas. Bersama kedua kakak dan adik saya, kami dididik secara sederhana, ala anak kampung tentunya. Tapi satu hal yang paling diutamakan oleh kedua orangtua saya adalah pendidikan. Kami harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kami tidak punya alasan untuk bermalas-malasan. Sesibuk apapun kami harus berangkat ke sekolah. Meski pagi hari kami harus berjalan kaki lima sampai enam kilometer, menyeberangi sungai dan melintasi pematang-pematang sawah, toh kami harus berangkat ke sekolah. Tanpa alas kaki karena jalanan berlumpur, seragam merah putih ternoda oleh lumpur adalah pengalaman yang paling akrab di masa kecil.
            Ketika felek mobil yang tergantung di pohon akasia depan sekolah berdentang untuk ketiga kalinya, kami harus berlari sekencang mungkin sebab pertanda jam sekolah akan segera dimulai. Meski tanpa alas kaki, kami berdiri tegap dengan lima jari terentang di sisi kanan alis mata untuk memberi hormat kepada sang saka merah-putih. Kami berlaku patuh pada aturan dan perintah guru.
            Hari berlalu, bulan pergi, dan tahun pun berganti. Saya yang dulu kecil perlahan beranjak dewasa. Sekolah masih seperti dulu. Tepat pukul tujuh kami masuk ruangan. Guru mata pelajaran datang membawa buku paket yang sudah kelihatan kuning dan usang. Ada sebagian halaman yang tinggal setengah, ada juga yang sudah menghilang. Kami diminta mencatat dari buku paket itu, kata per kata, kalimat per kalimat, hingga halaman per halaman. Kami tidak memiliki mesin fotocopi seperti teman-teman di kota. Maka kami harus mencatat dengan tangan. Hanya catatan itu saja yang menjadi bahan untuk belajar. Tidak ada bahan lain.
            Jangan pernah bertanya soal perpustakaan. Di sekolah saya, dari SD – SMP saya tidak pernah melihat yang namanya perpustakaan. Buku pegangan yang kami pakai antara 1992-1998 adalah peninggalan kakak kelas angkatan pertama sekolah saya 1970an awal. Kami hanya menikmati pendidikan sederhana. Guru kami juga sederhana. Usai jam sekolah, bersama-sama siswa berlomba-lomba pulang ke rumah. Di luar jam sekolah guru-guru saya juga bekerja sebagai petani: mengolah sawah untuk pendapatan tambahan. Maklum gaji di sekolah sangat sedikit.
            Lalu kapan guru-guru saya ini belajar? Tanpa berpretensi merendahkan mereka saya hanya mengatakan, mungkin mereka hanya belajar dari buku yang menjadi sumber catatan kami para siswa sehari-hari di sekolah. Atau mungkin juga tidak pernah. Berbekal ilmu yang masih melintas dalam ingatan, itulah yang diajarkan kepada kami.

Solusi Dasariah
 Ini sebuah potret realitas yang sedang terjadi di negeri ini. Dan sampai sekarang keadaan itu masih “dipertahankan”. Sekolah SD dan SMP tempat saya menuntut ilmu sepuluh tahun silam tetap tidak memiliki perpustakaan. Guru-gurunya lebih memiliki hobi mengolah sawah (bertani) dan menangkap ikan di laut (nelayan) daridapa hobi mengajar.  Maka ketika melihat pemberitaan Harian Kompas mengenai uji kompetensi para guru, saya kembali mengingat guru-guru saya di kampung. Berapakah hasil yang akan mereka peroleh kalau mereka mengikuti uji kompetensi ini?
Lepas dari lulus atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa hal yang paling mendasar bagi peningkatan pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan adalah MEMBACA. Kegiatan membaca menjadi tolok ukur utamnya. Untuk merealisasikan itu, sediakalah perpustakaan di setiap sekolah. Dengan adanya perpustakaan di sekolah, para guru dan siswa akan bersaing untuk membaca. Inilah persaingan yang positif. Bila itu sudah terealisasi saya tidak ragu, rata-rata kompetensi nasional 42 itu sangat rendah untuk ukuran para guru.
Hal inilah yang saya pertanyakan di bagian awal ulasan saya, bagaimana penanganan selanjutnya seusai uji kompetensi nanti? Menurut saya, perpustakaan adalah sulusi yang saya tawarkan sebagai jalan utama meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tidak hanya bagi para guru, tapi juga bagi para siswa. Mari kita bangun negeri kita yang diisi dengan insan-insan pencitna budaya baca. Membaca adalah perjalanan paling murah untuk mengelilingi dunia. Bekalnya hanya niat dan kemauan untuk duduk berlama-lama.

Steve Agusta
Kebun Jeruk, 7 September 2012