Dalam rubrik
“Pendidikan & Kebudayaan” Harian Kompas Rabu, 5 September 2012, diuraikan
dengan panjang lebar mengenai uji kompetensi yang baru saja diikuti para guru
di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tulisan itu berjudul, “Tidak Lulus,
32.000 Guru Ikut Diklat”. Sementara dalam kalimat pembuka tertulis, “Umumnya
Berusia di Atas 50 Tahun. Sebanyak 32.000 guru yang tidak lulus uji kompetensi
awal mulai menjalani pendidikan dan pelatihan. Para guru yang mengikuti pendidikan
ini mendapat nilai UKA di bawah 30 dari skala 100”.
Di situ dipaparkan
pula bahwa para guru mengikuti pelatihan dan pendidikan setelah dinyatakan
tidak mencapai rata-rata kompetensi tingkat nasional 42. Mereka diberi
kesempatan untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Secara umum para guru yang ikut uji
kompetensi ini adalah guru-guru Sekolah Dasar (SD) dan berumur 50 tahun ke
atas.
Telaah
Kebijakan
Jujur, saya
terkesan dan kagum dengan kebijakan pemerintah, khususnya menteri pendidikan
saat ini yang menerapkan sistem uji kompetensi kepada para guru. Inilah salah
satu cara untuk mengukur bagaimana para guru membekali diri dengan pengetahuan
dan keterampilan yang mumpuni, sehingga bekal itulah yang akan diwariskan
kepada para siswanya.
Menelaah
lebih jauh berita ini saya jadi berpikir, para guru yang mengikuti uji
kompetensi ini sudah berumur 50 tahun ke atas. Dan mereka tidak lulus uji
kompetensi (sama sekali tidak ada maksud untuk menyudutkan mereka). Bila
dikira-kira, mungkin mereka sudah mengajar selama puluhan tahun sebelumnya.
Katakan saja mereka mulai mengajar saat mereka baru berumur 25 tahun. Berarti
mereka sudah menjalani profesi ini selama 25 tahun. Sebuah perjalanan yang
panjang, dan kesetiaan untuk itu perlu diapresiasi.
Tetapi
saya jadi bertanya. Kalau para guru ini sudah mengajar selama 25 tahun, berapa
banyak siswa yang sudah berhasil lulus dari tangan mereka? Mungkin lebih dari
1000 siswa. Dan bila disingkronkan dengan hasil uji kompetensi saat ini berarti
selama 25 tahun para guru ini mengajar dengan pengetahuan dan keterampilan di
bawah standar. Konsekuensi logisnya ialah siswa lulusannya pun memiliki
pengetahuan dan keterampilan di bawah standar.
Inilah peristiwa
kontinuitas yang sudah berlansung selama 25 tahun lalu. Baru sekarang
pemerintah sadar untuk menanganinya. Negara kita baru saja merayakan HUT-nya
yang ke 67. Sejak 25 tahun yang lalu, bahkan mungkin jauh sebelumnya para guru
yang mendidik anak bangsa di bawah standar. Memprihatinkan bukan?
Kita baru bicara
soal uji kompetensi. Belum lagi proses kelanjutan yang akan dijalani para guru
di waktu yang akan datang. Syukurlah kita bisa bernapas lega kalau setelah uji
kompetesi dan pelatihan ini para guru diberi fasilitas, minimal perpustakaan di
sekolah agar mereka bisa membaca terus-menerus sehingga daya nalar dan
keterampilannya semakin meningkat. Dan akan menjadi lebih indah lagi kalau
hasil uji kompetensi bagi guru-guru dengan umur di bawah 50 bisa mencapai
rata-rata nasional atau paling tidak mendekati. Kalau belum sebaiknya
dipikirkan solusi matang dan segera direalisasikan.
Potret
Realitas
Lepas dari niat baik
dan ketulusan formal ini, saya ingin mensyaringkan sedikit pengalaman saya sepuluh
tahun lalu, yang rasanya masih berbanding lurus hingga sekarang.
Saya
memang seorang anak kampung. Lahir di kampung, tinggal di kampung, dan menenyam
pendidikan awal di kampung. Bolehlah diklasifikasikan sebagai anak yang
kampungan. Orangtua saya seorang petani sawah. Ayah saya seorang pekerja keras,
sementara ibu mengimbanginya dengan kreativitas. Bersama kedua kakak dan adik
saya, kami dididik secara sederhana, ala anak kampung tentunya. Tapi satu hal yang
paling diutamakan oleh kedua orangtua saya adalah pendidikan. Kami harus
menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kami tidak punya alasan untuk
bermalas-malasan. Sesibuk apapun kami harus berangkat ke sekolah. Meski pagi
hari kami harus berjalan kaki lima sampai enam kilometer, menyeberangi sungai
dan melintasi pematang-pematang sawah, toh kami harus berangkat ke sekolah.
Tanpa alas kaki karena jalanan berlumpur, seragam merah putih ternoda oleh
lumpur adalah pengalaman yang paling akrab di masa kecil.
Ketika
felek mobil yang tergantung di pohon akasia depan sekolah berdentang untuk
ketiga kalinya, kami harus berlari sekencang mungkin sebab pertanda jam sekolah
akan segera dimulai. Meski tanpa alas kaki, kami berdiri tegap dengan lima jari
terentang di sisi kanan alis mata untuk memberi hormat kepada sang saka merah-putih.
Kami berlaku patuh pada aturan dan perintah guru.
Hari
berlalu, bulan pergi, dan tahun pun berganti. Saya yang dulu kecil perlahan
beranjak dewasa. Sekolah masih seperti dulu. Tepat pukul tujuh kami masuk
ruangan. Guru mata pelajaran datang membawa buku paket yang sudah kelihatan
kuning dan usang. Ada sebagian halaman yang tinggal setengah, ada juga yang
sudah menghilang. Kami diminta mencatat dari buku paket itu, kata per kata,
kalimat per kalimat, hingga halaman per halaman. Kami tidak memiliki mesin
fotocopi seperti teman-teman di kota. Maka kami harus mencatat dengan tangan.
Hanya catatan itu saja yang menjadi bahan untuk belajar. Tidak ada bahan lain.
Jangan
pernah bertanya soal perpustakaan. Di sekolah saya, dari SD – SMP saya tidak
pernah melihat yang namanya perpustakaan. Buku pegangan yang kami pakai antara
1992-1998 adalah peninggalan kakak kelas angkatan pertama sekolah saya 1970an
awal. Kami hanya menikmati pendidikan sederhana. Guru kami juga sederhana. Usai
jam sekolah, bersama-sama siswa berlomba-lomba pulang ke rumah. Di luar jam
sekolah guru-guru saya juga bekerja sebagai petani: mengolah sawah untuk
pendapatan tambahan. Maklum gaji di sekolah sangat sedikit.
Lalu
kapan guru-guru saya ini belajar? Tanpa berpretensi merendahkan mereka saya
hanya mengatakan, mungkin mereka hanya belajar dari buku yang menjadi sumber
catatan kami para siswa sehari-hari di sekolah. Atau mungkin juga tidak pernah.
Berbekal ilmu yang masih melintas dalam ingatan, itulah yang diajarkan kepada
kami.
Solusi
Dasariah
Ini sebuah potret realitas yang sedang terjadi
di negeri ini. Dan sampai sekarang keadaan itu masih “dipertahankan”. Sekolah
SD dan SMP tempat saya menuntut ilmu sepuluh tahun silam tetap tidak memiliki
perpustakaan. Guru-gurunya lebih memiliki hobi mengolah sawah (bertani) dan
menangkap ikan di laut (nelayan) daridapa hobi mengajar. Maka ketika melihat pemberitaan Harian Kompas
mengenai uji kompetensi para guru, saya kembali mengingat guru-guru saya di
kampung. Berapakah hasil yang akan mereka peroleh kalau mereka mengikuti uji
kompetensi ini?
Lepas dari lulus
atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa hal yang paling mendasar bagi
peningkatan pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan adalah MEMBACA. Kegiatan
membaca menjadi tolok ukur utamnya. Untuk merealisasikan itu, sediakalah
perpustakaan di setiap sekolah. Dengan adanya perpustakaan di sekolah, para
guru dan siswa akan bersaing untuk membaca. Inilah persaingan yang positif.
Bila itu sudah terealisasi saya tidak ragu, rata-rata kompetensi nasional 42
itu sangat rendah untuk ukuran para guru.
Hal inilah yang saya
pertanyakan di bagian awal ulasan saya, bagaimana penanganan selanjutnya seusai
uji kompetensi nanti? Menurut saya, perpustakaan adalah sulusi yang saya
tawarkan sebagai jalan utama meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tidak
hanya bagi para guru, tapi juga bagi para siswa. Mari kita bangun negeri kita
yang diisi dengan insan-insan pencitna budaya baca. Membaca adalah perjalanan
paling murah untuk mengelilingi dunia. Bekalnya hanya niat dan kemauan untuk
duduk berlama-lama.
Steve Agusta
Kebun Jeruk, 7 September 2012