Kamis, 25 Oktober 2012

Supermen Masa Kini


Saat malam telah tiada
manakala fajar menjemput bumi
neraca aktivitas kembali bersua
dalam hari berwajah terik
Akulah supermen masa kini
mengalahkan sejuta pengalah
'tuk meraih mimpi ribuan harap
meski tampak tertatih dalam diam

Wahai bumiku tanpa akhir
kangkangkan tubuhmu
berbukalah lebar-lebar
biarlah liangmu menampakan wajahnya
meyangmbangi aku, sumpermen masa kini

Wahai langitku tiada ujung
Sobeklah pakaian kebesaranmu
biarlah sekucurmu tampak basah
berderai titik-titik kemolekan
undangan bagiku, sang supermen
Bagi keterbukaan akan keabadian

Steve Agusta
26 Oktober 2012


Rabu, 24 Oktober 2012

Kembali ke Gereja Kita

    Lama tidak pernah bertemu, tidak berarti perkenalan dan pengalaman pernah bersama itu harus dilupakan. Justru lama tidak berjumpa itulah yang akhirnya membangkitkan rasa ingin kembali seperti dulu lagi. Inilah sepenggal kata yang mungkin agak tepat untuk menggambarkan pengalaman kembali berjumpa dengan seorang temanku.
    Kami pernah bersama menyelesaikan studi SMP di sebuah desa kecil bagian dari negeri ini. Sebuah desa yang kelihatanya sangat tertinggal dan usang karena terabaikan dari perkembangan peradaban, namun telah menjadikan kami bertumbuh sebagai orang yang dewasa dan dapat mengerti sesuatu.
Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa pengalaman kembali berjumpa itu akan kami alami, oleh karena belasan tahun telah lama memisahkan kami. Pada 1998-2000 kami mengais pendidikan SMP di SLTPK San Daniel. Setelah itu, kami pun berpisah karena tuntutan masa depan.
***
    Suatu malam, ketika aku sedang duduk santai di kos di tanah rantau, tiba-tiba sebuah sms menderinmgkan Hp jadulku. Seperti biasa aku membukanya dengan santai dengan asumsi sms dari teman-temanku yang lagi kanker (kantong kering) di ahir bulan dan ingin bergurau sekedar mengusir kegelisahan. Tapi rupanya bukan. “slamat malam teman, apa kabar?” Lalu tertera namanya dengan cukup jelas diakhir kata-kata sms itu.
Aku terkejut, seolah tidak percaya pada isi sms dan nama yang tertera di bawahnya. Aku membalas: “kabarku baik-baik aja. Sekarang teman di mana?”
“ saya sekarang di Lenteng Agung” balasnya.
    Ow, tempat itu sangat dekat dari kosku. Rupanya teman yang satu ini pun telah berjalan jauh hingga tiba di kota ini. Perasaan bahagia, haru, dan senang bercampur baur. Dia yang telah lama hilang kini telah kutemukan. Dia yang telah mati, namun telah kembali. Demikian perasaan ini meminjam kata-kata Penginjil Lukas ketika mengemukakan perumpamaan “Bapa Yang Berbelas Kasih.” Ya, singkat cerita aku sangat bahagia karena kami bisa bertemu lagi. Kami hadir kembali dengan cerita perjuangan dan pengalaman perjalanan yang berbeda.
***
    Rupanya benar dugaan saya bahwa kami akan hadir dengan kisah yang berbeda. Kembali menengok ke belakang, ternyata kami telah merintis dan dan mengukir kisah sejarah yang dramatis. Ada kisah yang menggembirakan, ada kisah yang menyedihkan, bahkan mengundang haru dan penyesalan. Kisah itu, jika hendak digambarkan, dialami teman saya ini. Pertimbangan yang kurang matang di masa lalu telah menghadirkan penyesalan yang sangat dalam saat ini. Keputusan yang sangat berisiko mengancam kelanjutan kehangatan dan kasih sayang dari keluarga harus ia tempuh. Orang tua dan keluarga tak sanggup menerimanya. Namun, dengan tekat yang bulat ia terus melangkah, merintis kisah sedih yang baru terasa saat ini. Terlanjur bertindak, membuat dia nekat mengambil jalan pintas meski harus dibenci.
    Namun, saat ini tumbuh harapan dan keinginan untuk kembali. “aku ingin seperti dulu lagi. Aku ingin kembali menjadi katolik lagi, seperti masa dulu kita SMP,” demikian harapan dan niat yang terbersit di akhir perbincangan kami. Sebagai temanmu, aku selalu menanti kepulanganmu. Meski dulu teman pernah salah langkah, kasih di antara kita tidak pernah terhapuskan karenanya. Aku akan membantumu untuk kembali. Mari kita pulang ke Gereja kita. Gereja di mana dulu kita pernah merasakan sangat dekat dengan Dia. Dia telah menanti kepulanganmu sejak lama. Dia akan sangat bahagia mendengar kabar ini. Yah, aku yakin Dia selalu seperti itu. Menangis ketika kita salah langkah dan bahagia bila kita ingin kembali. Dia tidak pernah membenci kita yang bersalah. Dia hanya berharap, kita sadar dan ingin memperbaiki diri. Aku akan membawamu pulang. Jika teman tak kuat jalan, aku bersedia memapahmu. DIA TELAH MENUNGGU KEDATANGAN KITA, setiap hari, jam, menit dan detik. (steve agusta, Kebun Jeruk, 04 Juli 2011).

Cinta


Kala hati menjenguk cinta
Perasaan bahagia karib setia
Semb ari belajar terima sakit
Apakah cinta itu menyakitkan?
Ataukah sakit adalah konsekuensi logis tindakan mencintai?
(Kos Bambu, 18 Maret 2012)

Menakar Hari


Menakar hari
Menghitung detik
Berharap waktu berlangkah seribu
Ingin mimpi terejawantah dalam waktu
Enigma hadir menjawab penantian
Aku rasa inilah saatnya
Meniti jalan sambil berjuang
Mendaraskan mimpi menuju bahagia
(Kos Bambu, 19 Maret 2012)


Selasa, 23 Oktober 2012

Ke-diam-ku



Lidahmu mematok lidahku
Mulutmu mencekik mulutku
nafasmu membelenggu nafasku
matamu memaku mataku

dalam diam kumenyaksikan
pengerukanmu atas kekenyanganku
nafkahku terkuras ke tabunganmu
rintihanku menjadi puja dan pujimu

aku tak mampu berbahasa
kembali terpekur dalam kebodohan
pembodohan dan dibodohkan.

Steve Agusta
23 Oktober 2012

Rabu, 10 Oktober 2012

Hari Ini



Hati Kereta Malam
Musim ini musim hangat
Yang hendak kukatakan panas di kemarau panjang
Dahaga di siang bolong
Kering di malam kelam
Tanpa embun apalagi kabut

Malam itu sunyi-sepi, diam-terlelap
Rongga malam menyusur lilitan elips
Menuju pagi
Sisakan tenang, diam, dan tersipu
Malam malu-malu digasak cahaya kota

Deru kereta melahap rel kereta
Besi berdentang sahut menyahut
Dendang nada seni tak beraturan

Kereta Listrik Rheostatik seri 115 buatan Jepang
Berhenti gemulai
Layu terkuras dimakan usia
Ratusan orang berhembus keluar
Terencana dan tiba-tiba
Di malam yang semakin malam

Seliweran orang ke kiri dan kanan
Beranjak, memanggil, menyetop, menawar
Semua serba hiruk pikuk
Entah datang, entah pergi

Dapatkah hangatnya hati sehangatnya malam
Saat mereka dapat duduk bersua
Melirik titik-titik jalan terlewati
Untuk bertanya pada malam pengubur karya
Akukah ini yang hiruk pikuk
Merengkuh rejeki sudah secukupnya?

Steve Agusta
10 Oktober 2012

Di Balik
Kutatap gadis manis ku sayang
Merona di hati senyum di wajah
Menyemarak di kalbu berdegub di jantung

Ia direbut mata-mata perkasa
Dihasrati minat-minat bertubi

Seluruh raga tercurah tertuju
Segenap jiwa terpacu tertuju
Segunung budi merangkul desah
Melumat bayang-bayang raga

Pikiran melintas tiada henti
Menukik jauh dalam, terdalam
Temukan indah di balik tubuh
Gapai panorama di belakang tampak
Petik pelangi di seberang selubung

Itulah realitas sungguh
Itulah nyata tak berubah
Realitas absolut tak terbantah
Melanglang buana dalam nyata tak berwujud

Steve Agusta
10 Oktober 2012

Jumat, 07 September 2012

Uji Kompetensi dan Fasilitas Pendidikan

Dalam rubrik “Pendidikan & Kebudayaan” Harian Kompas Rabu, 5 September 2012, diuraikan dengan panjang lebar mengenai uji kompetensi yang baru saja diikuti para guru di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tulisan itu berjudul, “Tidak Lulus, 32.000 Guru Ikut Diklat”. Sementara dalam kalimat pembuka tertulis, “Umumnya Berusia di Atas 50 Tahun. Sebanyak 32.000 guru yang tidak lulus uji kompetensi awal mulai menjalani pendidikan dan pelatihan. Para guru yang mengikuti pendidikan ini mendapat nilai UKA di bawah 30 dari skala 100”.
            Di situ dipaparkan pula bahwa para guru mengikuti pelatihan dan pendidikan setelah dinyatakan tidak mencapai rata-rata kompetensi tingkat nasional 42. Mereka diberi kesempatan untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Secara umum para guru yang ikut uji kompetensi ini adalah guru-guru Sekolah Dasar (SD) dan berumur 50 tahun ke atas.

Telaah Kebijakan
            Jujur, saya terkesan dan kagum dengan kebijakan pemerintah, khususnya menteri pendidikan saat ini yang menerapkan sistem uji kompetensi kepada para guru. Inilah salah satu cara untuk mengukur bagaimana para guru membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni, sehingga bekal itulah yang akan diwariskan kepada para siswanya.
            Menelaah lebih jauh berita ini saya jadi berpikir, para guru yang mengikuti uji kompetensi ini sudah berumur 50 tahun ke atas. Dan mereka tidak lulus uji kompetensi (sama sekali tidak ada maksud untuk menyudutkan mereka). Bila dikira-kira, mungkin mereka sudah mengajar selama puluhan tahun sebelumnya. Katakan saja mereka mulai mengajar saat mereka baru berumur 25 tahun. Berarti mereka sudah menjalani profesi ini selama 25 tahun. Sebuah perjalanan yang panjang, dan kesetiaan untuk itu perlu diapresiasi.
            Tetapi saya jadi bertanya. Kalau para guru ini sudah mengajar selama 25 tahun, berapa banyak siswa yang sudah berhasil lulus dari tangan mereka? Mungkin lebih dari 1000 siswa. Dan bila disingkronkan dengan hasil uji kompetensi saat ini berarti selama 25 tahun para guru ini mengajar dengan pengetahuan dan keterampilan di bawah standar. Konsekuensi logisnya ialah siswa lulusannya pun memiliki pengetahuan dan keterampilan di bawah standar.
Inilah peristiwa kontinuitas yang sudah berlansung selama 25 tahun lalu. Baru sekarang pemerintah sadar untuk menanganinya. Negara kita baru saja merayakan HUT-nya yang ke 67. Sejak 25 tahun yang lalu, bahkan mungkin jauh sebelumnya para guru yang mendidik anak bangsa di bawah standar. Memprihatinkan bukan?
Kita baru bicara soal uji kompetensi. Belum lagi proses kelanjutan yang akan dijalani para guru di waktu yang akan datang. Syukurlah kita bisa bernapas lega kalau setelah uji kompetesi dan pelatihan ini para guru diberi fasilitas, minimal perpustakaan di sekolah agar mereka bisa membaca terus-menerus sehingga daya nalar dan keterampilannya semakin meningkat. Dan akan menjadi lebih indah lagi kalau hasil uji kompetensi bagi guru-guru dengan umur di bawah 50 bisa mencapai rata-rata nasional atau paling tidak mendekati. Kalau belum sebaiknya dipikirkan solusi matang dan segera direalisasikan.

Potret Realitas
Lepas dari niat baik dan ketulusan formal ini, saya ingin mensyaringkan sedikit pengalaman saya sepuluh tahun lalu, yang rasanya masih berbanding lurus hingga sekarang.
            Saya memang seorang anak kampung. Lahir di kampung, tinggal di kampung, dan menenyam pendidikan awal di kampung. Bolehlah diklasifikasikan sebagai anak yang kampungan. Orangtua saya seorang petani sawah. Ayah saya seorang pekerja keras, sementara ibu mengimbanginya dengan kreativitas. Bersama kedua kakak dan adik saya, kami dididik secara sederhana, ala anak kampung tentunya. Tapi satu hal yang paling diutamakan oleh kedua orangtua saya adalah pendidikan. Kami harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kami tidak punya alasan untuk bermalas-malasan. Sesibuk apapun kami harus berangkat ke sekolah. Meski pagi hari kami harus berjalan kaki lima sampai enam kilometer, menyeberangi sungai dan melintasi pematang-pematang sawah, toh kami harus berangkat ke sekolah. Tanpa alas kaki karena jalanan berlumpur, seragam merah putih ternoda oleh lumpur adalah pengalaman yang paling akrab di masa kecil.
            Ketika felek mobil yang tergantung di pohon akasia depan sekolah berdentang untuk ketiga kalinya, kami harus berlari sekencang mungkin sebab pertanda jam sekolah akan segera dimulai. Meski tanpa alas kaki, kami berdiri tegap dengan lima jari terentang di sisi kanan alis mata untuk memberi hormat kepada sang saka merah-putih. Kami berlaku patuh pada aturan dan perintah guru.
            Hari berlalu, bulan pergi, dan tahun pun berganti. Saya yang dulu kecil perlahan beranjak dewasa. Sekolah masih seperti dulu. Tepat pukul tujuh kami masuk ruangan. Guru mata pelajaran datang membawa buku paket yang sudah kelihatan kuning dan usang. Ada sebagian halaman yang tinggal setengah, ada juga yang sudah menghilang. Kami diminta mencatat dari buku paket itu, kata per kata, kalimat per kalimat, hingga halaman per halaman. Kami tidak memiliki mesin fotocopi seperti teman-teman di kota. Maka kami harus mencatat dengan tangan. Hanya catatan itu saja yang menjadi bahan untuk belajar. Tidak ada bahan lain.
            Jangan pernah bertanya soal perpustakaan. Di sekolah saya, dari SD – SMP saya tidak pernah melihat yang namanya perpustakaan. Buku pegangan yang kami pakai antara 1992-1998 adalah peninggalan kakak kelas angkatan pertama sekolah saya 1970an awal. Kami hanya menikmati pendidikan sederhana. Guru kami juga sederhana. Usai jam sekolah, bersama-sama siswa berlomba-lomba pulang ke rumah. Di luar jam sekolah guru-guru saya juga bekerja sebagai petani: mengolah sawah untuk pendapatan tambahan. Maklum gaji di sekolah sangat sedikit.
            Lalu kapan guru-guru saya ini belajar? Tanpa berpretensi merendahkan mereka saya hanya mengatakan, mungkin mereka hanya belajar dari buku yang menjadi sumber catatan kami para siswa sehari-hari di sekolah. Atau mungkin juga tidak pernah. Berbekal ilmu yang masih melintas dalam ingatan, itulah yang diajarkan kepada kami.

Solusi Dasariah
 Ini sebuah potret realitas yang sedang terjadi di negeri ini. Dan sampai sekarang keadaan itu masih “dipertahankan”. Sekolah SD dan SMP tempat saya menuntut ilmu sepuluh tahun silam tetap tidak memiliki perpustakaan. Guru-gurunya lebih memiliki hobi mengolah sawah (bertani) dan menangkap ikan di laut (nelayan) daridapa hobi mengajar.  Maka ketika melihat pemberitaan Harian Kompas mengenai uji kompetensi para guru, saya kembali mengingat guru-guru saya di kampung. Berapakah hasil yang akan mereka peroleh kalau mereka mengikuti uji kompetensi ini?
Lepas dari lulus atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa hal yang paling mendasar bagi peningkatan pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan adalah MEMBACA. Kegiatan membaca menjadi tolok ukur utamnya. Untuk merealisasikan itu, sediakalah perpustakaan di setiap sekolah. Dengan adanya perpustakaan di sekolah, para guru dan siswa akan bersaing untuk membaca. Inilah persaingan yang positif. Bila itu sudah terealisasi saya tidak ragu, rata-rata kompetensi nasional 42 itu sangat rendah untuk ukuran para guru.
Hal inilah yang saya pertanyakan di bagian awal ulasan saya, bagaimana penanganan selanjutnya seusai uji kompetensi nanti? Menurut saya, perpustakaan adalah sulusi yang saya tawarkan sebagai jalan utama meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tidak hanya bagi para guru, tapi juga bagi para siswa. Mari kita bangun negeri kita yang diisi dengan insan-insan pencitna budaya baca. Membaca adalah perjalanan paling murah untuk mengelilingi dunia. Bekalnya hanya niat dan kemauan untuk duduk berlama-lama.

Steve Agusta
Kebun Jeruk, 7 September 2012

Jumat, 31 Agustus 2012

Sahabat Saya Seorang Pengungsi


Sebulan yang lalu, beberapa truk mengangkut sejumlah orang kembali ke Timor Timur. Katanya mereka akan mengikuti jajak pendapat untuk menentukan masa depan mareka. Atau bersama Indonesia atau otonom. Saya tidak tahu sampai ke situ. Yang saya dengar, katanya bapak presiden Indonesia sudah memberi instruksi. Mereka hanya memilih di antara dua opsi itu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak susah juga.
            Penduduk desa saya memang paling ujung dari Kabupaten Kupang. Bersebelahan langsung dengan Citrana, Timor-Timur. Desa Netemnanu Utara namanya. Sebagian penduduk adalah masyarakat asli, sebagian lagi keturunan Oecussi, Timor-Timur, sebagian lagi pendatang dari beberapa desa tetangga. Saya sendiri yang adalah putera tunggal dalam keluarga yang diklasifikasikan sebagai pendatang. Ayah suku pendatang, menikah dengan ibu suku asli setempat. Saya dan orangtua saya tidak termasuk dalam kelompok orang yang harus memilih dua opsi bapak presiden. Sejak orangtua hingga saya, kami tetap cinta Indonesia.
            Benar. Baru dua hari, sebagain masyarakat yang berangkat untuk coblos sudah pulang. Sebagian lagi baru pulang hari berikutnya. Hari-hari setelah kepulangan mereka diisi berbagi cerita mulai dari kegiatan mencolos hingga kunjungan keluarga. Masing-masing dengan versinya sendiri. Singkatnya, dua atau tiga minggu ke depan akan diperdengarkan hasil coblosan mereka.
            Sebulan berselang dentuman senjata dan kupulan asap hitam menghiasai udara. Antara mereka yang pro Indonesia dan kontra Indonesia saling membunuh, menjarah, mengejar, dan bahkan saling membantai. Rakyat Timor-Timur berbondong-bondong meninggalkan rumah. Mereka lari. Mereka menghindari peluru para penjaga keamanan. Pengungsian dimulai. Ada yang terpisah dari orangtuanya. Ada yang terpisah dari kekasihnya. Ada yang terpisah dari adik, kakak, tante, ataupun pamannya. Semua mimpi indah coblos telah berubah.
            Rumah kami kedatangan sekitar sepuluh kepala keluarga. Kami tinggal apa adanya. Semua serba terbatas. Tempat untuk tidur, makan, masak pun seadanya. Kebersihan tampak jauh dari harapan. Jumlah penduduk desa membengkak hingga tiga kali lipat.
            Di sekolah pun sama adanya. Kepala sekolah saya mengambil kebijakan untuk menerima anak-anak pengungsi yang mau melanjutkan pendidikan. Jumlah siswa semakin bertambah. Sampai-sampai satu kelas bisa berisi 50-60 siswa. Saya yang waktu itu kelas II SMP tidak mempersoalkan hal itu. Nyatanya, saya punya lebih banyak teman. Saya bisa bermain sepak bola dengan mereka atau memancing di sungai. Sederet rekreasi ala anak kampung lainnya juga kami lakukan.
            Di rumah tetangga ada seorang gadis paroh baya. Namanya Ditta. Usianya baru genap 15 tahun. Saya tahu karena baru masuk seminggu di sekolah kami ia merayakan ulang tahunnya bersama teman-temannya. Saya juga diundang. Bila dipandang sekejap, Ditta memang tidak cantik. Tapi menurutku ia manis. Warna kulitnya sawo matang. Rambutnya ikal. Bola matanya lentik kecoklatan. Hidungnya mancung. Postur tubuh, menurut saya, ideal. Ibunya keturunan portugis. Yah, kurang lebih itulah Ditta, bila ingin dibahasakan.
            Semenjak perayaan ulang tahunnya itu, kami cukup akrab. Beberapa kali kami pergi bersama. Entah ke pantai, atau ke sawah milik kami. Bila malam menjelang, kami sering duduk dan bercanda bersama.
“Roy, malam ini kamu mau ke mana?” tanya Ditta saat kami berpapasan di sumur. Ia hendak mandi.
“Saya di rumah saja. Tidak ke mana-mana. Kenapa?”
 “Tidak. Saya hanya ingin cerita lagi seperti dua malam lalu.”
“Oh, boleh. Tapi kamu sudah menyelesaikan tugas matematikamu?”
“Tinggal beberapa nomor lagi. Mungkin baik kita selesaikan bersama, baru kita mulai cerita.”
Tugas-tugas itu cepat kami selesaikan. Sebab, kata Ditta, ia punya cerita yang lebih menarik dari dua malam lalu.
“Saya masih ingat sama paman saya. Waktu kami mengungsi ia tertinggal di rumah,” Ditta mengawali cerita.
“Memangnya kenapa sehingga dia tidak ikut?”
“Waktu itu sekitar pukul 19.00. Segerombol tentanra datang membawa senjata lengkap dan memaksa kami keluar rumah malam itu juga. Kami dibawa ke kantor desa. Di sana sudah disiapkan truk. Lalu kami dibawa ke sini.”
“Emangnya dia tidak tahu tentang kedatangan para tentara itu?”
“Om saya lagi sakit. Ia kena strocke setahun yang lalu. Sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Waktu kami dipaksa keluar rumah, ia masih tertinggal di dalam kamar. Saya dan mama panik. Yang saya ingat, adik saya yang baru tujuh tahunan itu yang berteriak-teriak ingin memberitahu tentara-tentara itu bahwa Om masih tertinggal di dalam kamar. Tapi mereka tidak menghiraukannya. Malah ketika kami sudah di atas truk, dari jauh terlihat kepulan asap hitang keluar dari bubungan rumah kami. Dugaan saya, Om ikut terbakar di dalam rumah itu.”
“Sadis juga ya.”
“Ah, kamu tidak tau Roy. Tentara itu sudah banyak membunuh orang-orang kami. Ayahnya Metty yang di bangsal sebelah itu saja sampai sekarang belum ditemukan. Kemungkinan ia dibunuh. Soalnya, waktu kami mau berangkat ke sini, ayahnya bilang ia akan menyusul besok karena barang-barang di rumah belum terangkut semuanya. Tapi toh sampai sekarang tidak ada kabar.”
Begitulah Ditta. Ia banyak berkisah tentang kampung halamannya yang kini hangus terbakar dan luluh lantah. Kadang ia bercerita sambil tertawa, kadang juga diwarnai tangis. Aku lebih banyak mendengar dari pada menanggapi. Saat ada waktu luang di sekolah pun kami memakainya untuk bercerita. Ia selalu bercerita tentang kejadian-kejadian baru.
Karena keseringan berdua, orang menyangka kami berpacaran. Tapi sebanarnya antara saya dan Ditta hanga terhubung oleh rasa ingin berbagi dan kasihan. Ditta ingin membagikan apa yang menyesakkan dadanya saat menyaksikan perlakuan para tentanra terhadap orang-orangnya dan kampung halamnnya. Sementara saya hanya merasa kasihan mendengar cerita-cerita itu. Tak pernah terbesit dalam pikiran kami bahwa semua yang terjadi itu terbingkai dalam ironi politik. Kami hanya yakin bahwa semua telah rusak, hangus, dan berantakan.
Suatu malam di awal pekan, kami bercerita hingga tengah malam. Orang-orang di rumah saya sudah pada lelap. Malam terasa sepi. Ditta masih komat-kamit tanpa henti. Di sela-sela ceritanya saya bertanya,
“Suatu saat jika semua kejadian menakutkan ini berakhir, apakah kamu akan kembali ke kampungmu?”
“Tergantung orangtua saya. Tapi saya masih takut pulang. Kan bisa saja kejadian sadis itu terulang lagi.”
“Saya pasti merindukan kamu dan cerita-ceritamu.”
“Yah, saya hanya menceritakan apa yang terjadi di kampung saya. Terima kasih kamu mau mendengarnya.”
“Oh, tentu saja ini cerita yang menarik. Saya senang mendengarnya.”
“Saya ingin punya waktu lebih banyak bersama dengan kamu.”
“Kecuali kamu tidak pulang ke Timor Timur,” jawabku disambut senyum Ditta.
Yah, senyuman Ditta selalu menggoda. Lesung pipinya selalu membuatnya dikagumi teman-teman di sekolah. Penampilannya yang selalu kalem dan tak banyak dandanan semakin mengundang tatapan lama. Tak heran banyak dari teman-teman yang ingin mendekati Ditta.
Malam itu, Ditta tidak ingin pulang ke rumahnya. Ia mau menginap di rumah saya. Meski saya meyakinkankanya bahwa semua kamar sudah terisi, ia tetap memintanya.
“Satu-satunya kamar yang masih kosong adalah kamar saya.”
“Saya tidak keberatan tidur dengan kamu.”
“Eh, bagaimana dengan orangtuamu nanti?”
“Tidak masalah. Di rumah tempat kami menginap pun sudah penuh. Tiap malam saya sama ibu tidurnya ganti-gantian antara kursi dan sebilah papan.”
“Oh, okey….. Tapi tempat tidur saya juga kecil, ukuran satu orang.”
“Atau kamu tidak suka tidur dengan saya?”
“Oh tidak Ditta. Jangan salah paham. Silakan!”
Kami berbaring berdua. Ditta masih bercerita lagi. Posisi tidur kami sangat dekat. Tanganku menyentuh pipi Ditta. Ia berhenti dari ceritanya. Ia menatap saya lebih dalam. Jarinya menggenggam tanganku cukup erat. Sebuah kecupan saya daratkan di keningnya. Ia masih terdiam. Aku juga terdiam. “Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah saya punya. Kamu bersedia mendengarkan cerita dan keluhan saya,” bisik Ditta perlahan.
Dari balik jendela kamar orang mulai lalu-lalang di jalan raya. Beberapa teman sudah mengenakan seragam lengkap melenggang ke sekolah. Saya segera melompat dari tempat tidur. Ditta tak kelihatan lagi. Setengah jam kemudian saya tiba di sekolah. Ditta belum tampak juga. Pelajaran matematika sudah dimulai. Saya masih gelisah karena Ditta masih tak kelihatan. Apakah dia kesakitan? Ataukah ia dimarahi ibunya? Ataukah ia masih ngantuk karena semalam kurang tidur? Segudang pertanyaan dibumbui rasa gelisah dan takut menghatui pikiran saya.
Hari itu Ditta tak kelihatan di sekolah. Beberapa temannya asal Timor Timur juga tak kelihatan. “Sepulang sekolah, saya akan bertanya kepadanya, mengapa ia tidak datang ke sekolah,” demikian saya meyakinkan diri agar mengurangi rasa takut dan kuatir.
Ketika lonceng berdentang panjang tanda waktu sekolah usai, saya cepat-cepat meninggalkan halaman sekolah. Di halaman Gereja yang letaknya tak jauh dari sekolah saya terlihat beberapa truk besar bertuliskan UNHCR. Orang beramai-ramai datang ke Gereja. Ada yang membawa tas, kasur, dan beberapa barang lain.
Oh, rupanya hari ini para pengungsi Timor Timur akan kembali ke kampung halaman mereka. Apakah Ditta juga? Saya berlari sekencang-kencangnya ke rumah tempat Ditta dan keluarganya tinggal. Di sana tampak sepi. Dari tetangga kami itu saya mendapat informasi, Ditta bersama keluarganya sudah kembeli ke kampung halaman mereka. Mereka diangkut dengan truk pertama, sekitar pukul 11.00 tadi.
Dengan langlah lunglai saya kembali ke rumah. Di kamar dan di tempat tidur saya yang kecil, saya membayangkan pengalaman semalam bersama Ditta. Rasanya begitu asik dan nikmat. Sebenarnya saya tak ingin semua berakhir seperti ini. Tetapi kenapa Ditta pergi begitu cepat? Apakah itu ungkapan perpisahan yang hendak ia berikan kepada saya? Mengapa ia tidak mengatakannya jauh-jauh hari? Mengapa ia diam-diam dan pergi tanpa memberitahu saya? Apakah ia tidak menyukai saya? Ataukah orangtuanya yang tidak suka agar Ditta berteman dengan saya?
Saya hanya bisa mengira-ngira mengapa Ditta terlalu cepat pergi. Tapi tak satu pun terjawab. Saya masih berbaring lemas di kamar. Suara truk terus menderu dan akhirnya menghilang. Semua kembali sepi.  
(Steve Agusta)

Masih Kecil

Umurnya baru tiga tahunan
Di Stasiun Tawang yang masih sepi
Dalam bingkai waktu yang masih bertabur gelap
Pukul 3.00 dini hari di waktu itu

Di kursi tempat penantian kereta
Ia bergurau dengan kata
Tampak semuanya belum jernih lafal
Ayah masih berjaga
Menanti dengan setia, suara menyapa
Sementara ibu berbaring pulas
Kursi keras-besi mengalas tubuh

Tertawa ria, berdendang gembira
Bersua senang, berujar girang
Bersungging senyum di sudut wajah mungil
Melengkingkan kata, kalimat, dan gurauan
Melafal kata dalam Bahasa ibu - Jawa

Inilah cara bahasa ibu terwaris
Tanpa tulis, tanpa kurikulum
Tanpa teori, tanpa konsep
Kebiasaan melafal jadi pelajaran berharga
Itulah indahnya masa kecil...

Steve Agusta
Stasiun Tawang, 22 Agustus 2012

Aku Tiba

Hari masih belia
Memerah langit di ufuk timur 
KA Sindoro menepuk pundak Stasiun Tawang - Semarang
Pukul 2.50 tapat kupandangi kota
Yang dulu didiami Mgr Soegija
Seorang tokoh pahlawan masa lalu
Demikian penghargaan untuk 
perjuangannya di masa lalu

Stasiun ini masih belia
Belum banyak dijamah langkah kaki manusia
di pagi itu
Sepi sekam dari belaian suara
Aku menepuk lantai pakai telapak kaki
Kupandangi bangunan yang hendak menua

Di hadapan "Yetossa Cafe" kuhempaskan tubuh
Sedikit ngantuk sembari lelah
Di seberang sana terpekur kaku
KA Sindoro yang lain, entah kakak atau adik

Sia-sia...
Tak banyak yang bisa dilakukan
Karena perjalanan ini bak seni petualangan
Tahu ke mana arah pergi
Tapi tak tahu di mana harus singgah

Maka kuputuskan untuk menulis
menorehkan tinta di atas kertas ini
Buat cerita di hari esok
Saat aku benar-benar ingin mengenang...
Untai perjalan singkat berliku.

Steve Agusta
Stasiun Tawang, 22 Agustus 2012

Kamis, 09 Agustus 2012

Tak Perlu Menggeneralisir Puasa


Suatu malam sepulang kerja, aku sempat menonton siaran malam di TV yang sementara menayangkan sekelompok ormas yang melakukan operasi penyisiran warung-warung makan di Jawa Barat (Bandung dan sekitarnya). Mereka mensyaratkan warung-warung makan itu agar: pada siang hari hanya menerima pesanan makanan bungkus – tidak boleh melayani orang yang mau makan di situ. Warung makan hanya boleh beroperasi normal setelah buka puasa bersama.
Melihat tayangan ini, aku diam dan mulai bertanya dalam diri. Mengapa muncul kewajiban seperti ini? Aku memang dengan sepenuhnya menghargai sesamaku yang sedang berpuasa. Tanpa berpretensi ingin menyudutkan mereka, aku hanya ingin mengatakan bahwa mengapa puasa harus digeneralisir? Bukankah penghayatan puasa merupakan ekspresi keimanan seseorang kepada Sang Pencipta? Dan bukankah di Indonesia, atau lebih spesifik di Bandung, tinggal juga sesama kita, orang Indonesia – juga berketurunan para pahlawan Indonesia di masa lalu yang tidak berpuasa? 

Tapi aku tidak akan mempersoalkan hal ini lebih jauh dari sisi agama, karena setiap agama memang memiliki aturan dan syaratnya sendiri bagi para menganutnya, meski tak dapat dasangkal bahwa selalu ada standar minimalnya. Aku ingin mendekati hal ini dari sisi etika – salah satu cabang ilmu filsafat – khususnya etika dalam perspektif Emmanuel Levinas. Karena menurutku, pendekatan dari sudut etika akan lebih mengena karena etika adalah aturan minimal universal yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, dari semua lapisan sosial, agama, budaya, dan kepercayaan. Etiak dijabarkan dalam etiket yang menjadi kontrol sosial dalam kehidupan universal. 
“Secara negatif, etika dalam pemikiran Levinas menunjuk pada orientasi yang tidak terarah pada diri sendiri atau pada apa yang disebut oleh Levinas sebagai yang sama. Secara positif, etika atau ‘yang-etis’ berarti keterbukaan dan rasa hormat terhadap keberlainan Yang-lain. Subjek tidak terperangkap dalam diri atau pemikirannya sendiri, melainkan mengarahkan pandangan ke luar, yakni ke arah Yang-Lain dengan segala keberlainannya. Relasi etis dengan Yang-Lain terungkap dalam sikap dan tindakan yang tidak mendominasinya, melainkan membiarkannya dalam segala keberlainnya.
Lebih lanjut, ‘yang etis’ (the ethical) bukan saja berarti tidak mendominasi Yang-Lain, melainkan juga membiarkan diri diinterupsi dan dipertanyakan olehnya. Usaha untuk mendominasi manusia lain memperlihatkan sifat agresif subjek untuk menguasai Yang-Lain (yang berada di luar) dengan berbagai cara, sedangkan sikap membiarkan diri diinterupsi dan dipertanyakan orang lain menunjukkan keterbukaan subjek untuk dipengaruhi dan ditentukan oleh pihak luar yang dihadapinya.
Etika bukan saja ketika aku tidak mentematisasi Yang-Lain, tetapi juga ketika Yang-Lain menjadi obsesi aku atau mempertanyakan aku. Pemertanyaan ini tidak mengharapkan jawaban aku. Masalahnya bukan memberikan jawaban, melainkan mendapatkan diri bertanggung jawab. Aku adalah objek sebuah intensionalitas dan bukan subjeknya.
Tanggung jawab terhadap orang lain hanya mungkin dipraktikkan kalau tidak ada dominasi dari sang Aku terhadapnya, melainkan hanya ada rasa hormat dan pernghargaan terhadap keberlainannya”. (Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang lain. Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, hal 62-65).
Dari pemikiran Levinas ini menjadi jelaslah bahwa dari sudut pandang etika, baik dalam rumusan negatif maupun positif, aku tidak mempunyai alasan untuk memakasakan penyeragaman (penggeneralisiran). Artinya, aku tidak punya alasan untuk memaksa orang lain agar mengikuti apa yang sedang aku jalankan. Dalam hal ini, ketika aku berpuasa, aku tidak mempunyai alasan untuk melarang orang lain makan dan minum. Aku hanya bisa mengarahkan diri pada keterbukaan untuk menerima bahwa ‘aku berpuasa dan mereka tidak’. ‘Aku menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam sehari dan mereka bisa (boleh) makan dan minum dalam sehari’. Makan dan minumnya mereka menjadi interupsi real bagiku.
Ketika aku terbuka untuk menerima interupsi itu, maka aku terbuka untuk menerima Yang-Lain, terbuka untuk mengakui keberagaman di sekitarku. Dengan demikian tidak ada sedikitpun intensi untuk menggeneralisir apa yang sedang kujalani. Yang ada adalah hanyalah keterbukaanku pada kejadian atau real berbeda yang setiap hari bergelimpangan di sekitarku, termasuk ketika aku menjalankan iman dan ajaran agama yang aku yakini.
Ustad Miftah Fauzi Rakhmat mengungkapkan, puasa adalah kesempatan untuk berbuat baik karena pada Bulan Suci ini Tuhan melimpahkan rahmat-Nya yang berlimpah. Ia memberi, memberi, dan terus memberi. Maka, aku yang sedang berpuasa menjadikan bulan puasa, selain untuk menahan hawa nafsu dan keinginan untuk makan, juga untuk mengarahkan hati kepada Sang Pemberi.
Pengakuan dan keterarahan kepada Sang Pemberi dengan sendirinya menjadi kesempatan juga untuk mengakui bahwa pada kesempatan yang sama, Sang Pemberi juga memberi yang berbeda. Dengan demikian keterbukan kepada Sang Pemberi serta merta mensyaratkan keterbukaan kepada pemberian-Nya yang berbeda. Ketika aku tidak mau menerima pemberian yang berbeda maka aku mereduksi Sang Pemberi hanya menjadi milikku. Aku membatasi Sang Pemberi untuk memberi hanya yang sama, hanya yang aku kehendaki. Padahal dari dulu sampai sekarang, bahkan hingga nanti Sang Pemberi tidak pernah akan menjadi milik siapa-siapa. Ia hanya ada untuk Diri-Nya sendiri dan selalu terarah pada pemberian.
Alangkah indahnya bila aku pun terarah pada pemberian yang terbuka bagi semua orang dan mau menerima bahwa aku bermakna bukan hanya untuk diriku sendiri tetapi juga bagi orang-orang yang berada di sekitarku. Kebermaknaan itu terealisasi dalam sikap mau mangakui bahwa aku berpuasa, ia tidak berpuasa. Biarlah aku diinterupsi dalam ketidakpuasaannya sehingga aku semakin kuat dan tegar dalam menjalankan puasaku.

Steve_Agusta
Kos Bambu, 10 Agustus 2012

Sabtu, 28 Juli 2012

Masa Lalu


Suatu saat…

Suatu saat nanti
Bila dunia kita ini akan berakhir
Aku masih punya satu harapan
Bahwa masih ada planet lain
Buat kita berteduh

Suatu saat nanti
Bila telah kutemukan harinya
Akan kubisikan kepadamu
Bahwa harapanku terpenuhi

Suatu saat nanti
Bila buah hati kita tiada
Kutahu kita masih ada
Dan kesepian masih tetap ada

Suatu saat nanti
Bila mereka semua telah tiada
Masih kita masih ada
Buat bercumbu dalam sekejap?

Steve_Agusta
Kebun Jeruk, 28/7/2012

Berlayar

Kutahu pelayaran ini perjalan pulang
Melintasi riak dan riam samudera
Menerpa badai membelah angin
Menderu-deru sambung menyambung

Hari kemarin kami ke depan
Saat malam tiba kami menyamping
Saat fajar menyapu pagi kami berbalik
Masih di tempat yang sama

Sebiah bambu kami tusukkan
Menerpa lantai yang tak kelihatan
Mungkin ia tak pernah tahu
Mengapa kami masih di sini
Hanya kami yang tahu
Kami memang masih di sini

Kutulisakan kisah ini kepadamu
Untuk kau kenang bila rindu tiba
Aku tak tahu kenapa waktu hanya sedekah
Dan kenapa hanya seceuil kisah
Tapi aku yakin kita masih bersama

Jangan kau pergi
Ataupun menoleh
Melirik pun telah kukuatirkan

Memang kisah tak selalu murni
Setelah kita dipisahkan oleh waktu
Hanya cerita yang bisa berkisah
Tentang malam-malam kita
Tentang pagi, siang, dan petang kita
Aku aku akan pulang...

Steve_Agusta
Kebun Jeruk, 28/7/2012

Jumat, 27 Juli 2012

Malam itu

Malam itu sungguh kelam
Di ujung malam yang sahdu
kelam dari bisik-bisik

kumenantimu di ujung jalan
Jalan yang lurus tampak berliku
Meski kita tak tahu
kapan kita akan menikung

Si bocah sudah menyapu langit
Sang nenek usai menyapu bumi
buat semayam kuntum buah hati
mengubur derai di akhir masa
dan berakhir.....

Steve_Agusta
28 Juli 2012

Jumat, 20 Juli 2012

Pusi-Pusi Steve_Agusta


Tanpa Nama
Suatu senja di tahun itu
Laki-laki tertatih di tepi samudera
Perempuan-perempuan mendulang lelah
Setelah dimangsa karya sepanjang hari
Tua-muda menjinjing hasrat
Bagai buih yang tak lekang menjilat pesisir

Semangat juang urung pergi
Menerobos tiap jiwa
Yang dahagakan makna
Luluh lantah tiadakan malas

Wahai penggarap-penggarap negeri
Tak bosankah kau terus menggarap
Untuk negeri berwajah pelangi
Meski namamu tak pernah tergores

Ini mimpi dalam mimpi
Jaulah kau dari hiruk-pikuk
Buah bibir pun tak sempat menggarap
Tak tercatat dalam gita negeri
Meski kitab kehidupan mengukir
Dengan balok emas.

Steve_Agusta
Kebun Jeruk, 21 Juli 2012

Memori
Penjara jiwa meliuk ria
Menebar rasa dan gelak kagum
Merangkul detak satu menyatu
Hingga erat lekat
Terpaku sembari terpukau

Menyisir sisi-sisi seloroh
Menyibak hingga bilur goresan suka
Menjilat-jilat mengkilap ria
Hati menyebar ke sosok sejoli
Merengkuh niat di malam sepi

Termanggut-manggut usai tiba
Memori masa itu rapi berjejer
Rapi tersusun di alam sana

Meski hari telah usang
Yakinlah ia kembang selalu
Hanya sedikit susunan kata
Buat membentang karpet hijau
Cinta akan hidup meski tahu
Yang lalu akan segera usang
Tapi kenangan hanyalah milik alam

Steve_Agusta
Kebun Jeruk, 21 Juli 2012