Minggu, 24 Juli 2011

Lingkungan: Ujung Tombak Kehidupan Menggereja

Perjalanan 25 tahun merupakan sebuah perziarahan yang panjang. Berbagai pengalaman terajut menjadi satu persembahan terindah bagi Tuhan dalam misa syukur konselebrasi yang dipimpin langsung Mgr. Ignasius Suharyo di Gereja Yakobus Kelapa Gading, Minggu 24/7.
Perayaan ekaristi berlangsung meriah dan dihadiri ratusan umat. Umat tampak antusias mensyukuri segala lika-liku perjalanan selama 25 tahun ini. Setiap lingkungan membawa panjinya dalam perarakan awal perayaan Ekaristi.
Lingkungan yang hidup
Dalam homilinya, Mgr. Ignasius Suharyo menegaskan bahwa sebuah paroki dikatakan berhasil bila umat-umatnya mampu menemukan harta yang terpendam dan mutiara yang indah. Semua umat perlu mencari dengan menanggalkan sifat individualnya masing-masing untuk bersatu menemukan mutiara indah itu. Dan mutiara yang indah serta harta yang terpendam itu tidak lain adalah Tuhan sendiri. Kerberhasilan sebuah paroki bukan terukur hanya karena kemegahan bangunan gerejanya tetapi apakah Tuhan dapat ditemukan dalam diri umat-umat separoki.
Revitalisasi umat basis yang menjadi semangat dasar perayaan 25 tahun Paroki St. Yakobus Kelapa Gading tentu menuntut setiap umat-Nya untuk menaggalkan segala “atribut” pribadinya dan bersama-sama berdoa dan berusaha menemukan kehendak Tuhan. Hidup setiap umat hendaknya dituntun oleh kehendak Tuhan.
Untuk mencapai cara hidup seperti ini, saran bapak uskup, pemberdayaan lingkungan merupakan langkah konkret yang sangat membantu. Kehidupan menggereja perlu diperkuat mulai dari lingkungan. Karena lingkungan-lingkungan adalah ujung tombak kehidupan menggereja. Di lingkunganlah iman umat mulai terbentuk. Umat berhadapan dengan situasi-situasi nyata dan tantangan-tantangan duniawi. Maka, semangat revitalisasi umat basis menjadi hal yang sangat urgen untuk mencapai model kehidupan menggereja yang kian matang. Kesatuan lingkungan perlu diperkuat. Tali persaudaraan perlu dipererat, sehingga tergapailah iman yang kokoh.
Kegiatan rohani – jasmani
Revitalisasi umat basis yang menjadi semboyan ulang tahun umat paroki Yakobus rupannya sedang diaplikasikan ke dalam tindakan-tindakan nyata. Misa syukur ulang tahun pada 24/7 hanyalah merupakan puncak rangkaian berbagai kegiatan lingkungan yang telah dilumulai sejak Oktober tahun yang lalu. Bahkan, setelah misa syukur ini masih ada begitu banyak kegiatan lain hingga Oktober nanti.
Sejak Oktober tahun kemarin, umat paroki Kelapa Gading mengadakan berbagai kegiatan baik di bidang rohani maupun di bidang jasmamani. Kegiatan di bidang rohani misalnya: Novena Lingkungan yang diakhiri dengan Triduum dengan topik “Yesus Pokok Anggur”, “Yesus Roti hidup”, “Perumpamaan anak hilang”, Safari Rosario dari wilayah ke wilayah, Seminar Doa, Wawan dialog Liturgi tentang penghayatan perayaan syukur Ekaristi, Ziarah ke makam Romo Wiyanto Harjopranoto, Pr (Perintis berdirinya Paroki Kelapa Gading), Kebangkitan Rohani Katolik (KRK) bersama Romo Yohanes Indrakusuma O,Carm. Sedangkan di bidang jasmani, diadakan sepeda bareng, pemersihan dari lingkungan ke lingkungan dan bergagai kegiatan lainnya. Tujuan segala kegiatan ini hanyalah untuk melibatkan begitu bangak umat dalam kehidupan menggereja dan menggalang persatuan dan persaudaran antaraumat.
Akhirnya, bapak uskup mengajak segenap umat agar mengukur kematangan imannya dalam tiga tonggak dasar, yakni: iman yang semakin dalam yang bersumber pada sabda Allah, persaudaraan sejati semakin menjadi nyata, dan prakarsa pelayanan kasih yang semakin kreatif.

Stefanus p. Elu
Jakarta, 25 Juli 2011

Ungkapan Hati

Lautku-kisahku
Di tepi lautku aku duduk
Hamparan bebatuan mencegal dudukku
Pucuk-pucuk karang tampak berbaris
Pertanda lautku segera surut

Aku anak desa duduk termangu
Pandangan jauh tertata mata
Hidung menyambut hembusan hawa sejuk
Surya tampak kemerahan
Memantulkan kilau di riak-riak ombak
Begitu tenang, begitu syahdu
Siapakah aku ini?

Aku anak negeri bernama Indonesia
Pertiwi masa lalu hingga kini
Menata hidupku jadi manusia
Berbudi luhur berhati polos
Bagaimana masa depanku?

Kata tanya bergurau harapan
Semoga aku jadi pesona
Pesona untuk diriku
Pesonaku untuk negeri ini

Di penghujung negeri ini aku terlahir
Perlahan merajut pendidikan budi
Coba bangkit dari mimpi-mimpi
Menjajal kisah perjalanan hidup
S’moga aku seindah lautku……..


Pulirnya bergisi
Berjajar rapi seindah deretan huruf
Tersedia gisi untuk tubuh
Tampak menarik indah terbentang
Penyedia sedap berkalori tinggi
Karya indah tangan petaniku

Mereka bekerja sepanjang hari
Membating tulang di hamparan pematang
Menyeka keringat di sela lumpur
Melepas lelah di pondok kecil
Mencicipi mamramu* karya ketulusan

Mereka berujar soal kurangannya gisi
Nada tanya kerap muncul
Manakah yang salah?

Aku bergeming menolak tuduhan
Namun apa yang hendak kukatakan
Mungkin itulah nyatanya
Susah aku menolak
Salah bila tak kuakui
Inilah tanahku
Darinya aku terlahir sempurna adanya

Pulir-pulirmu tertunduk rapi
Tapi bukan pertanda letih lesu
Malahan indah penyedia rasa nikmat

Sekali lagi mamramuku yang indah
Aku bangga untukmu
Aku bangga untuk petaniku
Aku sanjung hasil racikanmu
Aku puja keelokanmu
Aku puji Sang Pemberi


Terjalmu Memukau
Terjal benar tampangmu
Geram benar guncangamu
Keras benar benturanmu
Itulah kebenaranmu adanya
Itulah sajian manismu
Untuk para pengunjungmu yang setia

Setiap orang mengagumimu
Meski dalam nada berbirama negatif
Katanya…..
Engkau berlumpur dan berbatu
Mencekal ganas di musim hujan
Menyela pernapasan di musim kemarau
Itulah hadirmu sepanjang musim

Mungkinkah engkau sedang menyita perhatian?
Mungkinkah engkau sedang menggelitik nurani?
Mengkinkah engkau sedang mengetuk budi?
Panggilmu tanpa henti
Teriakmu tak kenal lelah
Desismu untuk negeri ini

Tatalah aku yang masih kusam
Ukirlah aku yang masih buruk rupa
Bentuklah aku yang masih tertinggal
Agar aku elok dipandang mata
Agar aku nyaman ditelusuri

Akulah mediator anak-anakku dengan peradaban
Sentulah mereka dengan cinta
Belailah mereka dengan kasih
Kami ingin tampil indah untukmu INDONESIAKU




Ungkapan hati dan harapan seorang anak OEPOLI
Jakarta, 22 Juli 2011
Steve Elu

Senin, 18 Juli 2011

Bila Kehamilan Bermasalah

Siang itu ibu Cindy dan Ibu Sisil tampil dengan wajah berseri-seri dan senyuman khas yang disuguhkan bagi setiap orang yang dijumpai. Dari mata kedua ibu ini terpancar rasa bahagia karena diundang secara khusus oleh Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK) untuk berbagi cerita tentang masa lalu mereka dalam acara peluncuran buku “Bila Kehamilan Bermasalah,” di aula gereja Katolik Matraman, Sabtu 16 Juli 2011.
Acara yang digalang FKPK ini diadakan sebagai langkah praksis menanggapi masalah kehamilan yang akhir-akhir ini marak terjadi dan mendatangkan bahaya yang tidak sedikit baik bagi si ibu maupun bagi bayinya. Dalam sambutan pembuka acara Dr. Angela Abidin, MARS sebagai ketua panitia menjelaskan bahwa buku “Bila Kehamilan bermasalah” ini lebih mengulas tentang awal kehidupan seseorang (masa hamil sampai lahir). Buku ini berisi langkah-langkah nyata yang dapat dijadikan acuan bagi setiap ibu hamil dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Penulisan buku ini dimasudkan agar memberikan solusi mengatasi masalah kehamilan dan panduan bagi setiap orang untuk dapat memberikan bimbingan bagi teman, kelurga atau siapa saja yang bermasalah dengan kehamilannya.
Setelah sambutan dari ketua panitia, giliran ibu Cindy dan ibu Sisil yang bercerita. Keduanya menceritakan pengalaman masa lalu soal kehamilan mereka yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan pasangan mereka sendiri. “Waktu itu saya sedang menempuh studi sebagai seorang calon perawat di Bali. Setelah tiga bulan di sana baru saya tahu kalau saya hamil” kenang ibu Cindy. Ada keresahan dan ketakutan tersendiri. Bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada orang tuanya dan keluarga dari pasangannya. Apa yang akan dikatakan orang lain tentang dirinya. Terbersit keinginan untuk menggugurkan si kecil yang baru beranjak tumbuh.
Ibu Cindy bercerita, suatu hari ia pergi ke warnet untuk mencari informasi tentang obat yang dapat dipakai untuk menggugurkan kandungannya. Ternyata di sana ia tidak menemukan informasi yang diharapkan. Ia malah menemukan nama Dr. Angela yang biasanya memberikan bimbingan bagi mereka yang menemui masalah dengan kehamilannya. Ia lalu berusaha menceritakan perasaan dan keadaanya kepada Dr. Angela. Sejak itu ia dibimbing dan dibantu untuk tidak melakukan aborsi tetapi menyipkan hatinya untuk menerima bayi yang sementara ada dalam kandungannya. Dari bimbingan itu juga akhirnya muncul dalam hati kesadaran bahwa tindakan menggugurkan bayi itu sama saja dengan pembunuhan.
Kejadian ini memaksa ibu Cindy untuk berhenti kuliah – mengorbankan masa depannya dan kembali ke Jakarta untuk mengurusi kelanjutan hubungannya dan calon suaminya. Meski awalnya ia tidak diterima oleh keluarga sang laki-laki, namun akhirnya hubungan mereka pun dapat diresmikan.
Lain cerita dengan pengalaman ibu Sisil. Ia bercerita bahwa ketika tahu bahwa ia hamil, ibu Sisil langsung menginformasikan hal itu kepada pacarnya. Namun apa yang ia terima? Yang ia dapat hanyalah penolakan dan anjuran agar ia melakukan aborsi. Ibu Sisil dihadapkan pada sejumlah persoalan. Di satu sisi, ia tidak diterima pacar dan kelurganya. Sang pacar dan keluarganya malah mencari jalan keluar untuk menggugurkan kandungan ibu Sisil. Sang pacar tidak ingin bertanggung jawab. Di lain sisi, ibu Sisil merasakan kedekatan yang sangat dalam dengan bayinya. Tutur ibu Sisil, setiap hari selama masa pergumulan itu, ia dapat mendengar bisikan dari bayi yang ada dalam kandungannya mengatakan “mama, saya ingin dilahirkan. Saya ingin melihat wajah mama. Jangan bunuh saya.”Persaan kedekatan inilah yang menguatkan hati ibu Sisil untuk tetap mempertahankan kandungannya, meskipun ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan menjadi ¬single parent.
Setelah kedua ibu ini mengisahkan pengalaman masa lalu mereka barulah Hj. Dr. Atikah M. Zaki, MARS dan Rm. Kusmaryanto, SCJ memberikan tanngapan. Dalam tanggapannya, Dr. Atika menjelaskan bahwa dalam dunia dewasa ini banyak terjadi kehamilan yang tidak diterima, baik oleh ibu yang mengandung maupun dari keluarga. Secara umum ada dua situasi yang membawa orang akhirnya jatuh pada pilihan melakukan aborsi. Pertama, bagi mereka yang sudah berkeluarga, kehadiran anak di tengah mereka dianggab sebagai penghambat perkembangan karier. Mereka hanya ingin hidup sebagai suami-isteri tetapi tidak menghendaki anak. Kedua, salah mengatur jarak kehamilan akhirnya membawa orang untuk jatuh pada pilihan menggugurkan kandungan. Karena itu, sang isteri harus tahu menghitung siklus masa suburnya.
Setiap ibu harus dapat merasakan kedekatan antara dia dengan bayinya. Bayi itu adalah roh yang melambangkan ikatan perjanjian antara Tuhan dengan ciptaannya, tegas Dr. Atika.
Romo Kus menanggapi bahwa kebanyakan orang berbicara dari sisi ibu dan pasangannya. Kita selalu mengabaikan suara dari si bayi. Hak hidup si bayi kebayanyakan tidak dihargai sama sekali. Beliau mengatakan bahwa sejak pertemuan antara sperma dan sel telur dan terjadi pembuahan, saat itu pun telah tercipta orang yang berbeda. Ia telah menjadi makhluk yang lain. Kerena itu, ia telah mempunyai sejumlah hak asasi termasuk hak untuk hidup. Maka, segala tindakan yang berusaha untuk menggagalkan kehidupan ini adalah pembunuhan.
Banyak ibu dengan mudah melakukan aborsi tetapi pada akhirnya ia dihantui persaan bersalah dalam waktu yang lama, bahkan seumur hidup. Perempuan yang melakukan aborsi sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri. Tindakan aborsi secara tidak langsung adalah tindakan penyangkalan terhadap predikat perempuan sebagai ibu kehidupan, tegas romo Kus.
Karena itu, Romo Kus mengajak kita semua agar menjadi suara bagi mereka tak sanggup berbicara. Marilah kita melihat dari kaca mata si bayi. Ia mempunyai hak untuk hidup karena kepadanya telah diberi kehidupan. Lebih mudah mengambil janin dari rahim daripada mengambil janin dari hati nurani.

(stefanus p. elu, Kebun Jeruk 18 Juli 2011)

Rabu, 13 Juli 2011

Martabat Pekerjaan

Pernahkah kita membayangkan suatu hari salah satu ruas jalan utama di kota Jakarta ini akan sepi tanpa dilalui satu kendaraan apa pun? Atau, jangankan di siang hari, malam hari saja kita pasti susah membayangkan hal ini dapat benar-benar terjadi. Pasalnya, orang-orang yang tinggal di Jakarta ini hadir dengan kesibukan-kesibukannya tersendiri. Ada yang bekerja di siang hari, ada yang bekerja di malam hari. Bahkan ada yang bekerja dari pagi hingga pagi. Namun, ada juga yang hanya ingin keluyuran di malam hari.
Hal-hal inilah yang selalu membuat jalanan di kota Jakarta ini tak pernah sepi dari derungan kendaraan bermotor. Setiap orang sibuk dengan perkejaannya. Perkejaan yang dapat mendatangkan nafkah bagi kelangsungan hidup keluarga dan lingkungan sekitar. Akan tetapi, pernahkah kita sejenak berpikir, mengapa kita bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam karena harus bekerja? Atau bahkan mengapa kita harus melek sepanjang malam?
Setiap orang pasti akan menjawabnya dengan mudah bahwa semuanya itu dilakukan karena profesi (pekerjaan). Lebih jauh, hal itu dilakukan karena tuntutan hidup. Tuntutan hidup menjadikan orang bekerja sepanjang hari – sepanjang malam tanpa mengenal lelah. Tuntutan menafkahi keluarga dan meraih masa depan menjadikan setiap orang rela mengarungi jalan-jalan kota Jakarta sepanjang waktu. Masing-masing kita pasti mempunyai alasan tersendiri mengapa kita harus bekerja. Tetapi pernahkah kita memikirkan keluhuran dari pekerjaan yang kita lakoni setiap hari?
Almarhum Paus Yohanes Paulus II pernah merefleksian batapa luhurnya martabat pekerjaan yang hampir dilakukan segenap umat manusia di dunia. Permenungannya itu ia tuangkan dalam sebuah tulisan dengan judul “Laborem Exercens” pada 1982. Praktis tulisan ini lebih memperdalam ajaran sosial Gereja yang sebelumnya telah diulas secara garis besar dalam Dokumen Konsili Vatikan II, khususnya dalam konstitusi “Gaudium et Spes” yang berbicara tentang hak-hak buruh. Dari tulisan itu, kurang lebih ada empat hal yang sangat menarik.
Pertama, refleksi tentang nilai luhur pekerjaan. Dalam bekerja, manusia tidak hanya berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan masa depannya saja, tetapi manusia turut memperpanjang karya penciptaan Allah. Dalam bekerja, manusia secara aktif ikut ambil bagian dalam karya penciptaan. Manusia ambil bagian dalam kreativitas Allah. Atas alasan ini, manusia tidak boleh dijadikan objek dan sarana dalam dunia kerja. Manusia harus menjadi subjek dan tujuan. Sebagai subjek: manusia adalah “bos” dari setiap pekerjaan, bukan hamba. Sebagai tujuan: pekerjaan menjadikan manusia semakin kreatif dan bijaksana. Pekerjaan menjadi sarana aktualisasi panggilannya kepada kepenuhan sebagai manusia dan anak-anak Allah.
Kedua, pekerjaan harus membawa manusia kepada kehidupan yang layak sesuai dengan martabatnya. Paus menandaskan bahwa proses produksi pertama-tama bukan untuk mengakumulasikan modal dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Proses produksi dan hasilnya harus menjamin kelangsungan setiap individu.
Ketiga, paus mengatakan bahwa hasil produksi juga merupakan hak setiap pekerja, bukan hanya milik majikan. Baik modal maupun alat-alat kerja merupakan hasil pekerjaan. Para pekerja telah melimpahkan segala kemampuannya untuk menghasilkan alat-alat tersebut. Karena itu, klaim kepemilikan alat-alat kerja oleh majikan ataupun kelompok tertentu tidak sah. Pemisahan tajam antara modal dan pekerjaan tidak sesuai dengan hakikat manusiawi produksi.
Keempat, paus merefleksikan bahwa hal yang perlu diatasi pada masa sekarang adalah struktur proses pekerjaan yang dualistik. Dalam hal ini, paus berbicara soal praktik “majikan tidak langsung.” Artinya, dalam dunia kerja sering terjadi ada pihak kedua yang turut menentukan kedudukan buruh seperti lembaga-lembaga, perjanjian pekerjaan kolektif, undang-undang, struktur-struktur ekonomis, sosial dan politik. Atau yang lebih nyata dihadapi di Indonesia saat ini adalah outsourcing. Paus menghendaki agar praktik seperti ini layaknya dihilangkan dari dunia kerja. Sistem seperti ini menjadikan hak-hak para pekerja tidak terakomodasi dengan baik.
Keempat hal pokok yang dikemukakan oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II ini tampaknya sangat relevan dengan dunia kerja maupun sistem kerja saat ini. Betapa indahnya bila setiap pekerja memandang diri bukan sebagai budak tetapi sebagai sang kreator yang sementara ambil bagian dalam tugas ilahi. Betapa mengesankan bila dalam sebuah perusahaan, para pemilik modal dan karyawannya merasa sama-sama sebagai pencipta yang akan menikmati hasilnya di akhir bulan maupun akhir tahun.
Kesadaran diri sebagai subjek dan tujuan dari kerja kiranya memberi angin segar bagi kita yang setiap hari mengarungi jalan-jalan Jakarta ini tanpa henti. Kesadaran seperti ini pula akan menjadikan kita pribadi yang bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan kita. Soalnya, kita tidak bekerja melulu untuk majikan tetapi kita sedang bekerja untuk diri kita sendiri. Kita sedang mengaktualisasikan diri melalui setiap pekerjaan yang kita lakukan.

(Stefanus p. Elu, Kebun Jeruk, 13 Juli 2011)

Selasa, 12 Juli 2011

Imam, Nabi dan Raja

Sebagai seorang yang beriman Kristiani, ketika kita menerima sakramen babtis kita diangkat menjadi imam, nabi dan raja. Sebagai imam kita mempunyai tugas untuk mengarahkan dan membantu orang lain untuk dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka. Sebagai nabi kita mempunyai tugas sebagai pewarta. Kita menjadi perpanjangan “lidah” Allah yang menyerukan kebenaran dan mendendangkan universalitas kasih Allah. Sebagai raja kita mempunyai tugas unruk memimpin dan menuntun orang lain agar sampai kepada Allah. Yesus sendiri telah memberikan kepada kita ciri kepemimpinan yang harus kita miliki. Seorang pemimpin adalah seorang pelayan.
Merujuk pada identitas dasar yang kita terima saat pembabtisan ini, seharusnya kita sadar bahwa kita mempunyai tugas yang sangat mulia. Tugas ini diemban oleh semua orang Kristiani dengan tanggung jawab yang sama pula. Setiap orang Kristiani memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan ketiga tugas pokok ini dengan cara masing-masing dan khas.
Pilihan untuk menjadi seorang imam atau biarawan-biarawati adalah penegasan dan radikalisasi dari ketiga tugas pokok ini. Mereka memilih untuk lebih mengkhususkan ketiga tugas pokok ini dengan mengikrarkan janji setia pada uskup dan para penggantinya (imam diosesan) dan mengikrarkan kaul-kaul (para biarawan). Mereka memilih untuk hidup selibat dan mempersembahkan seluruh hidup mereka demi melayani Allah.
Nah, di sini terlihat dengan jelas bahwa tugas utama sebagai imam, nabi, dan raja tidak hanya menjadi milik kelompok tertentu. Kebanyakan umat Kristiani masih berpandangan bahwa ketiga tugas pokok ini adalah tugas para imam dan biawaran-biarawati. Ketiga tugas pokok ini identik dengan pastor, suster atau bruder. Yang dapat menjadi pewarta yang baik hanyalah para pastor. Yang dpat berangkat ke misi hanyalah para pastor, suster dan bruder.
Padahal, ketiga tugas pokok ini adalah bagian dari setiap kita yang beriman Kristiani. Seorang Ayah mempunyai tugas sebagai imam, nabi, dan raja dalam kelurganya. Demikianpun sebagai seorang ibu dan seorang anak. Ketika seorang ibu bangun pagi-pagi dan menyediakan sarapan untuk suami dan anak-anaknya, ia sedang menjalankan ketiga tuas pokok ini. Ia berperan sebagai seorang imam yang menyediakan hidangan jasmani bagi anak dan suami. Ia berperan sebagai seorang nabi karena sendang mewartakan tentang pelayanan melalui tindakannya. Ia juga berperan sebagai seorang raja karena dari tindakan tersebut, ia sendang menuntun suami dan anak-anaknya bagaimana harus bersikap. Mereka harus saling melayani. Tindakan pelayanan adalah aplikasi nyata dari ketiga tugas pokok ini.
Dari sini sekiranya kita memperoleh pemahaman baru bagaimana seharusnya kita memberi arti terhadap identitas yang kita terima saat kita dibabtis. Identitas yang sangat luhur. Identitas yang dapat membawa kepada kesempurnaan hidup sebagai orang yang dipanggil untuk menjadi saksi Kristus. Tidak perlu menjadi imam dulu baru dapat disebut sebagai misionaris. Setiap orang Kristiani adalah misionaris. Bahkan setiap orang yang beragama lain pun adalah misionaris, bila pola laku hidupnya mencerminkan ketiga tugas pokok ini.
Setiap orang adalah misionaris bagi keluarganya. Setiap keluarga adalah misionaris bagi tetangga dan orang-orang yang berada di sekitar lingkungannnya. Yang paling terpenting di sini adalah kesadaran akan tanggung jawab untuk menjalankan ketiga tuas pokok ini.
(Stefanus p. Elu, Kebun Jeruk, 12 Juli 2011)

Kamis, 07 Juli 2011

Indahnya Bersyukur

Jika engkau memandang hidup dengan rasa syukur,
semuanya menjadi indah dan luar biasa!
Gubuk menjadi nyaman bagai istana.
Dipan keras menjadi empuk bagai spring bed.
Nasi putih dan tahu tempe bagai sarapan raja.

Setiap hari adalah hari yang baik,
Setiap saat adalah saat yang indah.

Berjalan, duduk atau berbaring adalah kebahagian hidup.
Bekerja, berkeringat dan berjerih payah adalah kepuasan dan kemuliaan hidup.

____________TAPI______________

Jika engkau tidak mampu bersyukur, semua yang baik dan indah akan menjadi
jelek dan menyakitkan.

Kemana pun engkau pergi, apa pun yang engkau kerjakan adalah penderitaan.
Tiada hari tanpa kegelisahan
Tiada saat tanpa kejenuhan!

Bukan hidup yang membuat engkau jenuh tapi ketiadaan rasa syukur yang
membuat semuanya menjadi jelek dan menjenuhkan.

KESULITAN SEBESAR APA PUN AKAN TERASA WAJAR bagi jiwa yang tetap melebihkan
syukur daripada mengeluh

Karena, bukan kebahagiaan yang menjadikan kita bersyukur, tetapi
bersyukurlah yang menjadikan kita berbahagia .

Jiwa yang bersyukur, akan berbahagia bahkan di atas masalah.

PERCAYALAH, BERSYUKUR ITU AJAIB!!!

Orientasi Sekolah Katolik

“Memasuki tahun ajaran baru, sejumlah orangtua di berbagai daerah dipusingkan dengan semakin sulitnya mencari sekolah berkualitas dan semakin mahalnya biaya sekolah. Meskipun sudah ada dana yang dikucurkan pemerintah untuk setiap sekolah, kenyataannya hal itu tidak mengurangi pungutan yang dilakukan sekolah terhadap orangtua sisiwa,” demikian sebuah pernyataan yang dimuat dalam harian Kompas, Rabu 6 Juli 2011.
Tak dapat disangkal bahwa setiap orangtua yang memiliki anak, antara bulan Juni-Juli, sangat dipusingkan untuk mencari sekolah demi kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. Baik orangtua maupun anak selalu mengaharapkan dapat menempuh pendidikan di sekolah yang berkualitas sekaligus terjangkau biaya pendidikannya.
Hal inilah yang sering mendatangkan dilema bagi orangtua dan anak. Anak menginginkan sekolah yang terkenal dan bermutu, namun seringkali gagal tercapai karena orangtua tidak memiliki persediaan biaya yang cukup. Maka, jangan heran bila kebanyakan siswa tamatan SD, SMP, dan SMA lebih cenderung melanjutkan pendidikan di lembaga pendidikan negeri. Lalu bagaimana dengan lembaga pendidikan swasta? Bagaimana dengan sekolah-sekolah Katolik?
Menilik realita akhir-akhir ini, sekolah-sekolah Katolik maupun Protestan menerapakan model pendidikan berorintasi internsional. Tidak sedikit pula sekolah internasional yang hadir di berbagai sudut kota Jakarta ini. Dengan level internsional dan berorientasi internasional, sekolah-sekolah ini menghadirkan satu odel pendidikan dengan biaya selangit. Tidak jarang orang menyebut sekolah-sekolah tertentu sebagai sekolahnya orang-orang kaya. Tentu pernyataan ini benar. Tuntutan biaya yang semakin menanjak tiap tahun tidak dapat dijangkau oleh mereka yang pendapatannya pas-pasan. Bagaimana seorang yang bekerja sebagai buruh harian di sebuah pabrik dapat menyekolahkan anaknya di sekolah internsional?
Kenyataan ini seharusnya membuka mata dan hati kita untuk menilai lebih lanjut model pendidikan yang sedang dikembangkan dan hendak dicapai saat ini. Khusus bagi sekolah-sekolah Katolik, model misi seperti apa yang hendak dicapai? Banyak sekolah Katolik yang didirikan dengan misi awal ditujukan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Tujuan yang sangat mulia yakni ingin menyediakan pendidikan dan menghimpun anak-anak dari keluarga-keluarga yang sederhana dan miskin. Namun, dalam perkembangan selanjutnya yang terangkul malah orang-orang kaya dan berduit. Mereka yang secara ekonomi terpinggirkan malah semakin dipinggirkan lagi dari segi akses pendidikan. Lalu, semangat injili mana yang mau diperjuangkan? Nilai apakah yang hendak dipublikasikan kepada masyarakat?
Saat ini, banyak sekolah Katolik yang telah meninggalkan visi dan misi dasar awal pendiriannya. Bak seorang pegawai rendahan yang merintis karir dari nol dan sekarang telah menjadi seorang pengusaha sukses, demikianlah sekolah-sekolah Katolik saat ini. Berangkat dari sekolah biasa yang merangkul siswa-siswa dari keluarga-keluarga miskin, kini telah beranjak ke sekolah internasional dengan siswa-siswa dari keluarga-keluarga kaya. Bagaimana tidak. Biaya pendidikan yang semakin tinggi dengan sendirinya menyingkirkan yang miskin dan memberi jalan yang lebar bagi yang kaya.
Maka, kiranya sekolah-sekolah katolik saat ini, kembali menengok visi dan misi awal sekolah-sekolah itu didirikan. Tentunya setiap sekolah Katolik harus bisa tampil ke masyarakat dengan membawa sebuah pesan injili yang hendak disampaikan dan akhirnya dapat dirasakan dan dihidupi oleh masyarakat luas.

(Stefanus p. elu, Kebun Jeruk 07 Juli 2011 )

Selasa, 05 Juli 2011

Allah yang Responsif

(Kej 41:55-57; Mat 10:1-7)

Sebuah kisah inspiratif dalam pemerintahan Raja Firaun di kerajaan Mesir. Setelah mendapatkan tafisiran atas mimpinya, oleh Yusuf, Firaun mengambil langkah lebih awal dengan menyediakan makanan untuk beberapa waktu ke depan. Meskipun ia seorang raja, status sosialnya tidak membuatnya angkuh dan selalu merasa dirinyalah yang paling benar. Terhadap seorang asing, seperti Yusuf pun ia masih menaruh percaya dan mengikuti sarannya. Keputusan untuk mendengarkan itu akhirnya membawa hasil yang sangat positif, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan semua warga kerajaannya, tetapi juga untuk negeri-negeri yang ada di sekitarnya.
Sifat antisipasi dan tanggap terhadap situasi menjadi bagian yang melekat dalam diri Firaun. Firaun menjadi pribadi yang responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Ia memiliki hati dan mata yang terbuka. Sifat-sifat inilah yang sering kabur dari pandangan Kristiani oleh gambaran sistem perbudakan yang Firaun lakukan terhadap bangsa Israel, beberapa generasi setelah Yusuf.
Yesus membuktikan keterbukaan hati dan mata-Nya, ketika hendak mengawali karya-Nya. Keterbukaan ini ditandai dengan kesediaan untuk melibatkan orang lain, dalam hal ini para murid, dalam karya pelayanan-Nya. Kedua belas murid Ia libatkan dalam merintis misi-Nya memperkenalkan Kerajaan Allah kepada dunia.
Hemat saya, kedua sikap ini, Firaun dan Yesus, menggambarkan kepada kita siapakah Allah yang sesunguhnya. Melalui kedua tokoh ini, tampak bahwa Allah tampil sebagai pribadi yang responsif terhadap kebutuhan manusia. Ia selalu menyediakan apa yang dibutuhkan manusia. Persoalannya akan selalu kembali ke kita. Apakah kita secara batin siap untuk menerimanya atau tidak? Atau, apakah mata dan hati kita cukup terbuka untuk melihatnya?
Tampilan Allah seperti ini, sekiranya dapat merutuhkan segala asumsi buruk yang sering kita rintis dalam kehidupan kita setiap hari. Ketika kita mengalami kesulitan atau kecelakaan kita serempak mempertanyakan keberadaan Allah. Allah tidak peduli, Allah penghukum, Allah tidak adil, dan sebagainya. Demikian berbagai cibiran yang kita semburkan kepada Allah yang justru berangkat dari ketertutupan mata dan hati kita. Jadi, marilah kita “berbuka ria” untuk melihat kebaikan-kebaikan Allah yang selalu dihadirkan melalui lingkungan sekitar kita. Jika kita, belum sanggup menjadi seperti Yesus, jadilah seperti Firaun!

(stefanus poto elu, Kebun Jeruk, 06 Juli 2011)

Katakan IYA Walaupun Sedikit

Kau membuat aku terlena oleh janjimu
Kau pun membuat aku bergeming oleh khianatanmu

Aku pasti tidak setuju
Aku pasti menolak
Aku menagih kepenuhan janji-janjimu

Soal aku…..
Ah, jangan bertanya tentang itu
Meski kadang aku berbelok ke kiri atau ke kanan
Jangan ragu
Karena aku akan memegang janji kita adanya

Terlintas pikiran untuk menolakmu
Terbersit rasa untuk membalas
Tapi……….tidaklah demikian
Hatiku tak sanggup membuatmu sakit!

Apakah ini sebuah penipuan?
Apakah ini sebuah taktik?
Apakah ini sebuah mekanisme pertahanan ampuh?

Sekali lagi aku katakana tidak..
Aku tidak untuk itu….

Ayo……..katakanlah IYA
Walaupun sedikit….

(stefanus poto elu, Kebun Jeruk, 05 Juli 2011)

Senin, 04 Juli 2011

Trotoar Tempat Berbaring Si Kecil

    Waktu kira-kira pukul 19.00 WITA. Beribu kendaraan bermotor sibuk mencari lorong kecil untuk melintas. Malam itu di jalur Slipi – Tanah Abang tampak macet. Ketika aku mengangkat pandangan ke depan tampak kepadaku tubuh seorang anak kecil umur empat tahunan terkapar lemah di atas trotoar. Sedangkan seorang ibu, yang menurut dugaanku adalah ibunya, duduk membelai rambut si kecil dengan derai air mata yang tiada henti menatap ribuan mobil mewah dan kendaraan bermotor yang melintas. Para pejalan kaki pun lalu lalang di atas trotoar tersebut sambil melangkahi tubuh anak kecil tersebut. Secara kebetulan aku adalah salah satu pengendarai motor yang melintas di jalur tersebut, sepulang dari kantor (Jumat, 01 Juli 2011).
    Serentak mata memandang, persaan kasihan dan ingin membantu timbul dalam hati. Akan tetapi, sepertinya aku tidak bisa berbuat banyak. Semenjak dua hari sebelum peristiwa itu, aku memang sudah kehabisan uang sama sekali. Bahkan semenjak berangkat dari kos pukul 06.45 am hingga pulang aku belum makan. Hanya bermodalkan segelas teh manis yang dibutkan adikku sebelum aku berangkat tadi. Berhadapan dengan kenyataan sore itu, aku benar-benar dilema dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Bunyi bel dari kendaraan-kendaraan bermotor yang ada dibelakangku memaksaku untuk terus melaju, pergi meninggalkan ibu dan si kecil. Jika hendak mereka-reka, menurutku, si kecil sangat lemah entah karena lapar atau sakit. Yang pasti bahwa anak itu tidak bergerak sedikitpun ketika ibunya meratapinya sambil membelai rambut dan sedikit menggoyang tubuhnya.
    Aku berlalu dengan persaan yang sangat tidak nyaman karena tidak dapat mengambil tindakan apapun pada peristiwa itu. Hingga saat ini peristiwa itu masih terus terbayang di benakku. Sangat disayangkan anak negeri ini terkapar di trotoar, di atas tanah milik negeri ini.
Tanpa ingin menuding orang lain ataupun melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain, aku hanya dapat bertanya, bagaimanakah perasaan orang-orang yang melintas di jalan yang sama sebelum aku dan yang saat itu bersaan dengan aku? Apakah mereka juga tidak memiliki uang sedikitpun untuk membantu mereka seperti aku? Ataukah mereka mengenderai motor dan mobil dan berjalan dengan mata tertutup sehingga tidak dapat meliha ibu an anak itu?
    Setiap hari peristiwa serupa sering terjadi di berbagai sudut kota ini. Bahkan ada yang lebih tragis dan mengundang haru. Lalu, apakah hanya sebatas merasa terharu ataukah kita dapat melakukan sesuatu meski kelihatan sangat kecil tetapi dapat membantu memperpanjang hidup orang-orang miskin serupa barang satu dua jam ke depan?
    Tentu saja aku pun adalah orang yang kurang peduli pada peristiwa sore itu. Namun, ini menjadi tugas kita bersama di masa yang akan datang pada peristiwa-peristiwa selanjutnya! Mari saling peduli.
(stefanus p. elu, Kebun Jeruk, 04 Juli 2011)

Akhir Jaman menurut Ajaran Gereja Katolik (bagian ke-1)

Pendahuluan
Saya teringat akan wejangan nenek saya tentang akhir zaman. Sebelum menjadi Katolik, ia adalah seorang Protestan. Sebelum ia wafat, ia pernah berkata demikian pada saya, “Sudah sejak saya masih kecil, saya mendengar akhir jaman dikhotbahkan dan ‘diramalkan’. Katanya sudah hampir datang, tetapi ternyata belum juga datang ya! Jadi lebih baik kita serahkan pada Tuhan, sedangkan bagian kita adalah rajin-rajin berdoa dan berbuat baik saja…” Saya rasa pesan ini sangat bijaksana, sebab jika kita melihat, memang apa yang dikatakan oleh nenek saya itu ada benarnya. Lihat saja, banyak orang meneliti ayat-ayat Alkitab untuk menghitung tahun untuk ‘meramalkan’ akhir jaman, lalu muncullah perkiraan, mulai dari tahun 200, 380, 838, 1000, 1260, 1533, 1844, 1914, 1988… hanyalah sekedar contohnya, tetapi tak ada satupun yang benar. Memang akhir zaman adalah suatu misteri. Kita tak akan mungkin dapat mengetahuinya secara tepat, dan pasti tidak mungkin kita ketahui sampai pada saatnya. Namun, ada banyak hal yang dapat kita ketahui tentang kedatangan Yesus yang kedua ini, dan jangan sampai kita tidak mau tahu tentang hal ini.

Mengapa ajaran Gereja Katolik berbeda dengan ajaran Protestan tentang ini?

Gereja Katolik dan Protestan sama-sama setuju bahwa Yesus Kristus akan datang kembali pada akhir jaman. Namun demikian, ada perbedaan yang cukup mendasar antara pandangan Protestan dengan ajaran Gereja Katolik tentang hal ini. Dua sebab historis yang cukup berpengaruh adalah:

1. Gereja Protestan tidak melihat bahwa banyak nubuatan dari kitab Daniel yang telah terpenuhi pada masa Yudas Makabe. Karena Alkitab Protestan tidak memasukkan kitab Makabe, maka dapat dimengerti, mengapa demikian.
2. Kurang memadainya pemahaman tentang kejadian seputar kehancuran Bait Allah di Yerusalem yang terjadi pada tahun 70 AD, yang juga merupakan pemenuhan sebagian dari perkataan Yesus sendiri pada Injil Matius, Markus dan Lukas.

Dua pandangan Protestan: Post- millenniarism dan Premilleniarism

Mungkin ada baiknya, sebelum kita mempelajari apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik, kita melihat terlebih dahulu tentang apa yang diajarkan oleh gereja Protestan tentang akhir zaman ini. Gereja Protestan kebanyakan mengkaitkan kedatangan Yesus yang kedua dengan Kerajaan 1000 tahun yang disebutkan dalam Why 20:1-6. Mengenai hal ini terdapat dua pandangan yang berbeda: pandangan yang meletakkan kedatangan Kristus sebelum kerajaan 1000 tahun adalah Pre-millennialism, sedangkan yang meletakkan kedatangan Kristus sesudah kerajaan 1000 tahun adalah Post-millennialism.

Post-millenialism mencapai puncaknya pada abad 18-19 pada komunitas Anglo- Amerika, yang ditandai dengan pandangan optimistik tentang sejarah manusia, yang menuju kepada kemajuan secara universal. Pandangan ini mengharapkan 1000 tahun kejayaan Kristus yang akan tercapai dalam sejarah manusia. Pada akhir periode kejayaan ini, Iblis akan dilepaskan, perang Armageddon akan terjadi dan Kristus akan kembali datang dengan kemulian-Nya. Kerajaan 1000 tahun menurut pandangan ini mengacu kepada keadaan ideal di segala bidang, yang dihubungkan dengan revolusi politik dan keadilan sosial. Menarik di sini, bahwa ide ini bahkan juga mempengaruhi mental para atheists, seperti Marxism, Nazism dan regim totalitarian lainnya. Namun, dewasa ini, lama-kelamaan faham ini menjadi kurang populer, karena terjadinya kejadian-kejadian brutal di abad ke- 20, dan juga penurunan standar moral, di mana orang-orang tidak lagi menerapkan ajaran iman dan moral Kristiani. Maka pandangan akan kemajuan optimistik akan sejarah manusia dianggap menjadi terlalu naïf.

Maka sekarang, ada tendensi bahwa gereja Protestan tidak lagi mengharapkan kerajaan 1000 tahun melalui kemajuan sejarah manusia. Sebaliknya, mereka mengakui bahwa dimensi kehidupan manusia akan mengalami kemunduran di dalam hal iman dan moral. Nah, maka, timbullah paham Pre-millennialism, di mana keadaan manusia akan semakin memburuk, menjelang akhir jaman/ kedatangan Yesus yang kedua kali. Dalam pandangan ini, terdapat pengajaran yang dikenal sebagai Rapture dan Dispensationalism.

Apakah akan ada “the Secret Rapture”?

Sering kita dengar teori dari saudara/i kita yang Protestan, bahwa akan ada yang disebut sebagai “the secret rapture”. Yang paling terkenal adalah yang dapat kita baca dalam seri “Left Behind: A Novel of the Earth’s Last Days” karangan Tim LaHaye and Jerry Jenkins. Maksudnya di sini adalah di akhir jaman nanti Yesus akan datang dua kali: 1) Yang pertama, Yesus akan ‘mengangkat’ orang-orang yang sungguh beriman agar tidak mengalami pencobaan/ penderitaan di akhir jaman. [Orang ‘beriman’ yang dimaksud di sini adalah orang yang mengimani apa yang mereka ajarkan]. 2) Yang kedua, setelah pengangkatan ini, maka orang-orang yang tertinggal di dunia akan mengalami kesengsaraan akhir “final tribulation”, karena Antikristus akan dibiarkan berkuasa dan akan terjadi bermacam-macam bencana, yang mencapai puncaknya pada penghukuman orang-orang yang menolak Tuhan, pada saat kedatangan Kristus kembali. Jadi ini merupakan kedatangan Yesus yang ‘ketiga’, walaupun para rapturists mengatakan hal ini tidak terpisah dari kedatangan-Nya yang rahasia tersebut di atas.

Ketidaksepakatan dari para rapturists mengenai kapan rapture terjadi

Para rapturists tersebut mengatakan bahwa menurut Alkitab, kesengsaraan akhir akan terjadi pada tujuh tahun terakhir, dan “secret rapture” itu akan terjadi di dalam periode tersebut. Tetapi, di antara para rapturists itu, tidak ada kesepakatan, kapan sebenarnya akan terjadi “rapture” tersebut. Ada yang mengatakan sebelum kesengsaraan akhir (pre-tribulationists), namun ada juga yang yakin terjadi di tengah-tengah kesengsaraan (mid- tribulationists) dan sesudah kesengsaraan (post-tribulationists). Atau ada juga yang mengajarkan partial rapture, yang artinya hanya sebagian orang-orang Kristen saja yang ‘diangkat’ sebelum kesengsaraan akhir, sedangkan yang lain pada saat sesudahnya. Ketidaksepakatan ini tak jarang menyebabkan perdebatan yang keras. Suatu ironi, karena setiap rapturist itu mengklaim bahwa ia mengartikan secara harafiah berdasarkan “the plain sense of Scripture”. Rupanya, tentang rapture ini ternyata tidak terlalu “plain”/ jelas, bahkan di mata para rapturists itu sendiri.

Kalau begitu, dari mana mereka mendapatkan ide secret rapture ini?

Sebenarnya, ide “secret rapture/ pengangkatan rahasia” ini hanya dipegang oleh sebagian kecil dari umat Kristen di seluruh dunia. Umat Katolik, Ritus Timur Orthodox, dan bahkan jemaat Protestan sendiri banyak yang menganggap teori rapture ini sebagai sesuatu yang asing. Yang pasti, hal rapture ini tidak ada dalam syahadat Aku Percaya. Yang ada dalam Credo sebenarnya adalah “Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati, kerajaan-Nya tidak akan berakhir.” Syahadat tidak mengatakan apapun tentang kedatangan Yesus ‘tambahan’ secara rahasia untuk mengangkat umat beriman untuk membebaskan mereka dari kesengsaraan akhir jaman. Jadi kesimpulannya, bukan saja hanya para Paus saja yang tidak mengajarkan secret rapture ini, bahkan para pendiri Gereja Protestan, yaitu Martin Luther, John Calvin dan John Wesley tidak mengajarkan secret rapture. Maka, jika ada orang bertanya, mengapa di Credo tidak disebutkan mengenai ‘secret rapture’ ini, karena memang ide ini tidak diimani oleh mayoritas umat Kristiani dalam sejarah Gereja, dan tidak berakar dari pengajaran Bapa Gereja.

Dispensationalism

Dispensationalism, adalah pengajaran yang dipelopori oleh John Nelson Darby (1859-1874), pemimpin sekte Kristen di Inggris, yang bernama Plymouth Brethern yang mengajarkan doktrinnya ke Amerika dan Kanada. Dinamakan ‘dispensationalism’ karena ia membagi sejarah manusia menjadi 7 masa dispensasi/ tahap dimana Tuhan menyatakan wahyu-Nya kepada manusia. Namun di setiap tahap, manusia gagal dalam ujian, sehingga penghakiman terjadi di akhir setiap tahap, dan tahap baru akan menyusul sesudahnya. Maka menurut Darby terdapat perbedaan tak terseberangi antara bangsa Israel dan Gereja, sehingga ia membagi misalnya, bahwa nubuat Perjanjian Lama hanya diperuntukkan bagi bangsa Israel, dan tak ada satupun untuk Gereja. Menurut para dispensationalists, karena bangsa Israel menolak pembentukan Kerajaan Mesias di dunia dengan menolak Kristus, maka Tuhan menunda pembentukan Kerajaan tersebut, dan berpaling pada bangsa-bangsa non-Yahudi. Karenanya, jam/ lonceng nubuatan Yahudi berhenti berdetak, dan hanya lembali berdetak setelah Antikristus datang, dan ‘rapture’ orang-orang beriman terjadi. Setelah para beriman diangkat, maka akan ada penderitaan akhir/ great tribulation bagi dunia, dengan bangsa Israel sebagi pusatnya. Lalu Yesus akan datang ke dunia yang terakhir kali, dan berjaya selama 1000 tahun.

Dispensationalism dan ‘rapture’ tidak tertulis secara harafiah dalam Alkitab

Meskipun para rapturists mengatakan bahwa ide mereka diperoleh melalui “the plain sense of Scripture” namun di Alkitab tidak ada pernyataan yang jelas dan harafiah seperti ini: “Kristus akan kembali datang ke dunia secara rahasia untuk mengangkat umat-Nya ke surga dan kemudian sekali lagi dalam kemuliaan-Nya untuk menghakimi dunia.” Atau, “Tuhan akan mengangkat umat-Nya sebelum kejayaan Antikristus, untuk membebaskan mereka dari penghakiman/ kesengsaraan akhir.” Tidak ada satupun ayat yang mengatakan demikian.

Ayat yang sering mereka kutip adalah Mat 24:37-42, “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya… kedatangan Anak Manusia. …kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain ditinggalkan… Karena itu berjaga-jagalah sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” Menurut para rapturists, maka yang dibawa/ diangkat adalah para orang percaya, sedangkan yang tertinggal adalah yang orang yang tidak percaya. Padahal banyak orang Kristen percaya, bahwa ayat ini mengacu pada penghancuran Yerusalem oleh bangsa Roma. Maka jika konteks air bah jaman Nabi Nuh yang dipakai sebagai acuan, …”air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua.” (Mat 24:37, 39) maka yang ‘dibawa/ dilenyapkan’ adalah orang-orang yang jahat sedangkan orang-orang yang benar malah ditinggalkan, yaitu Nabi Nuh dan anggota keluarganya. Namun demikian, meskipun diartikan bahwa yang diangkat adalah orang-orang yang benar, dalam ayat itu tidak dikatakan bahwa Yesus akan datang secara ‘rahasia’ untuk mengadakan pengangkatan umat pilihan-Nya.

Ayat lainnya yang sering dikutip adalah 1 Tes 4:13-17. Pada ayat ini Rasul Paulus bermaksud menghibur umat di Tesalonika akan kesedihan yang berlebihan meratapi anggota komunitas yang telah wafat, namun ia juga menyinggung tentang kedatangan Tuhan yang kedua: “Selanjutnya kami tidak mau saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup dan masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit, sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.”

Seorang ahli Alkitab Protestan, Douglas J. Moo yang menentang teori rapture mengatakan, “Teks Perjanjian Baru secara garis besar diarahkan untuk kondisi khusus dalam kehidupan Gereja. Artinya… bahwa pengarang [kitab] akan memasukkan apa yang ia ingin sampaikan pada kondisi tertentu dan tidak menyertakan sesuatu yang tidak perlu jika tidak sesuai dengan maksudnya.” Maka untuk konteks 1 Tes 4:13-18, Rasul Paulus menekankan kebangkitan untuk menghibur umat Kristen yang berduka; sedangkan 2 Tes 1:3-10, ia menekankan pada penganiayaan dan penghakiman untuk menguatkan umat Kristen yang sedang menderita penganiayaan. Namun demikian, Rasul Paulus tetap mengacu pada kejadian yang sama, yaitu: Kedatangan Kristus yang kedua yang terjadi hanya satu kali, dengan kemuliaan-Nya. Moo kemudian membandingkan dengan penuturan dan penekanan yang berbeda pada ke-empat Injil tentang kisah sengsara Yesus di salib, namun semuanya mengacu pada kejadian yang satu dan sama, yaitu penyaliban Yesus di Golgotha.

Jadi apa pengajaran Bapa Gereja mengenai akhir jaman?

1. St. Yustinus Martir (100-160): “…. Dua kedatangan Kristus yang telah diberitakan, adalah: pertama waktu Ia datang dalam penderitaan, tidak dalam kemuliaan, tidak dihormati dan disalibkan; tetapi kemudian Ia akan datang [kembali] dari surga dengan kemuliaan, ketika … Antikristus [lihat 2 Tes 2:3] yang mengajarkan hal-hal yang menentang Yang MahaTinggi, datang untuk melakukan hal-hal yang jahat di dunia melawan orang-orang Kristiani.” Maka di sini kita ketahui hanya ada dua kali kedatangan Kristus. Kedatangan yang kedua adalah setelah Gereja mengalami penganiayaan yang disebabkan oleh Antikristus. Tidak disebutkan adanya ‘secret rapture’ untuk membebaskan orang percaya dari penderitaan/ tribulations.
2. St. Irenaeus (125-203): St. Irenaeus, yang adalah murid St. Policarpus, yang adalah murid St. Yohanes, mengatakan bahwa ke-10 raja yang disebut dalam Dan 7:24 dan Why 17:12, akan “memberikan kerajaan mereka kepada Antikris, dan mengusir Gereja.” Tetapi, para orang beriman akan bertemu dengan Tuhan pada “kebangkitan orang-orang benar, yang akan terjadi setelah kedatangan Antikristus, dan kehancuran semua bangsa di bawah kepemimpinannya. Di sini juga jelas bahwa Gereja harus bertahan menghadapi penderitaan/ tribulation yang disebabkan oleh Antikristus, namun kemudian Kristus akan datang dan mengunpulkan para kudusnya dalam kebangkitan orang mati.
3. St. Hippolytus (wafat 235): Ia juga mengajarkan dalam komentar kitab Daniel 12:1, bahwa akan terjadi masa kesulitan setelah kedatangan Antikristus yang menyebabkan kehancuran, baru setelah itu Kristus akan datang terakhir kali dari surga, “yang membawa api dan pengadilan yang adil bagi mereka yang menolak untuk percaya kepada-Nya.” Di sini juga tidak disebutkan bahwa ada kedatangan Yesus yang ‘ekstra’ dan rahasia untuk membebaskan Gereja dari penderitaan terakhir.
4. Selanjutnya, pengajaran senada juga diajarkan oleh para Bapa Gereja, seperti dalam Surat-surat Barnabas, Hermas, Didache, Tertullian, Lactantius, Melito dari Sardis dan Methodius.
5. St. Jerome (342-420), dengan mengacu pada beberapa ayat dalam Alkitab mengajarkan, bahwa orang-orang Kristen akan mengalami ‘final tribulation’ seperti yang mereka alami dalam setiap generasi. “Kamu keliru jika kamu menyangka bahwa tidak akan ada waktu bagi orang-orang Kristen untuk menderita akibat penganiayaan Iblis… Harinya akan datang…terberkatilah pelayan yang didapati Tuannya siap sedia. Lalu pada suara sangkakala dan bangsa-bangsa ketakutan, namun kamu malah bersuka cita… sebab kamu akan bergembira, tertawa dan berkata, Lihatlah, Tuhanku yang tersalib, lihat, Hakim-ku.”
6. St. Agustinus (354-430), mengatakan bahwa, “Allah yang Maha Besar sama sekali tidak membebaskan para kudus-Nya dari pencobaan, tetapi hanya melindungi hati mereka (“the inner man”), di mana iman berada, supaya dengan pencobaan dari luar, mereka [malah] bertumbuh di dalam rahmat… Pencobaan/penganiayaan ini yang terjadi di hari terakhir adalah sangat hebat, dan akan menjadi yang terakhir untuk dihadapi oleh Gereja yang Kudus di seluruh dunia, seluruh kota Kristus akan diserang oleh kota Iblis, yang keduanya ada di dunia.” Lalu St. Agustinus mengatakan, bahwa Kristus akan datang kembali untuk membangkitkan orang mati dan menghakimi dunia. “Kebangkitan pertama” yang disebutkan dalam Why 20:5 diartikan sebagai Pembaptisan dan kehidupan dalam rahmat yang diberikan kepada umat beriman melalui sakramen-sakramen Gereja. Jadi uraian St. Agustinus jelas mengatakan, bahwa kedatangan Yesus yang kedua akan terjadi hanya satu kali, dalam kemuliaan, dan dapat dilihat oleh semua orang, sebagai akhir dari penderitaan yang besar yang dialami Gereja.
7. St. Yohanes Krisostomus (347-407) juga percaya bahwa “pengangkatan” orang beriman akan terjadi bersamaan dengan kedatangan Kristus kembali dengan mulia di akhir sejarah manusia, untuk membangkitkan orang-orang mati dan menghakimi dunia. Dalam komentarnya terhadap 1 Tes 4:15-17 dia menjawab pertanyaan, “Kalau Kristus hendak turun ke dunia, mengapa kita perlu ‘diangkat’? Jawabnya adalah: “demi menghormati Dia.” Di sini St. Yohanes menghubungkan pengangkatan dengan kebiasaan di masyarakat kuno, yang menyambut raja yang datang menuju tempat tujuannya. Bahkan hal ini njuga terjadi pada keluarga, dimana ketika ayah datang, maka anak-anak datang menyambutnya.
8. St. Thomas Aquinas (1225-1274) Ia mengutip St. Gregorius Agung yang dikutip oleh St. Albert yang mengatakan bahwa “suara sangkakala itu tidak lain adalah Sang Putera Allah yang turun ke dunia untuk menjadi Hakim.” Hal ini berkaitan dengan Mat 24:27, “Sama seperti kilat memancar dari sebelah timur dan melontarkan cahayanya sampai ke barat, demikian pula-lah kelak kedatangan Anak manusia.”

Dari tulisan di atas, kita mengetahui, bahwa sepanjang sejarah Gereja, para Bapa Gereja tidak mengenal adanya teori “secret rapture”. Walaupun para rapturist ada yang mengutip suatu tulisan kuno yang tak jelas siapa pengarangnya, namun yang mungkin dipercayai oleh sejumlah umat Kristen awal. Pengarangnya disebut sebagai “Pseudo-Ephraem.” Dalam teks kuno tersebut memang ada bagian yang jika dilepaskan dari konteksnya, dapat seolah mendukung teori rapture. Namun, sesungguhnya pernyataan tersebut cukup problematik, sebab secara keseluruhan teks tersebut menceritakan tentang kedatangan Kristus dengan kemuliaan-Nya diiringi oleh para malaikat dan para kudus-Nya untuk membangkitkan orang-orang mati pada Hari Penghakiman. Sehingga, hal bertentangan dengan pengangkatan orang beriman yang sudah meninggal secara rahasia/ secret rapture. Juga, pada teks yang sama dikatakan bahwa umat Kristen akan mengalami penderitaan akhir/ final tribulation di bawah Antikris, jadi ini juga bertentangan dengan pandangan bahwa secret rapture adalah untuk membebaskan para beriman dari penderitaan akhir.

Namun, seandainya pun ada yang menganggap teks ini adalah dasar pengajaran “secret rapture”, maka sesungguhnya, secara objektif dapat dikatakan bahwa pandangan tersebut hanyalah merupakan pendapat sekelompok jemaat awal berdasarkan dari pengarang yang tidak dikenal yang tidak mempunyai wewenang mengajar di Gereja, dan tidak sesuai dengan pengajaran para Bapa Gereja yang lain.
Pengajaran para pendiri Gereja Protestan tentang akhir jaman

Baik Luther maupun Calvin mengikuti pengajaran St. Agustinus: bahwa Gereja tidak dilepaskan dari penderitaan/ tribulation di tangan Antikristus, namun akhirnya, Kristus akan kembali dengan kemuliaan-Nya:

1. Martin Luther, mengomentari kitab Wahyu, mengatakan bahwa kitab itu merupakan penjabaran tentang “penderitaan dan bencana yang akan terjadi pada dunia Kristen sepanjang sejarah.”
2. John Calvin mengatakan, bahwa Antikristus akan menyelesaikan “penceraiberaian Gereja secara publik”. Namun akhirnya, Kristus akan mengalahkannya “dengan nafas mulut-Nya dan akan memusnahkannya [dengan segala kesesatannya], pada saat Ia datang kembali.” (lih. 2Tes 2:8). Maka bahkan Calvin sendiri yakin bahwa kejadian 1 Kor 15:20-28 dan 1 Tes 4:13 adalah satu kejadian. Ia mengatakan, perihal bunyi sangkakala terakhir,….”I prefer to understand the expression as metaphorical. In 1 Tes 4:16, …connects together the voice of the archangel and the trumpet of God. As therefore a commander, with the sound of a trumpet, summons his army to battle, so Christ, by His far- sounding proclamation, which will be heard throughout the whole world, will summon all the dead… to the tribunal of God.”

Jadi apa prinsip pengajaran Gereja Katolik tentang kedatangan Yesus yang kedua?

Secara prinsip ada empat hal yang perlu kita ketahui:

1. Kedatangan Yesus yang kedua tidak akan terjadi secara rahasia, melainkan akan terjadi secara publik, kelihatan oleh semua orang, penuh dengan kemuliaan, dan kejayaan. Maka, kedatangan Kristus yang kedua hanya akan terjadi satu kali saja.

* “Lihat, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia.” (Why 1:7).
* “… semua bangsa di bumi…. akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan kekuasaan dan kemulianNya.” (Mat 24:30)
* Kedatangannya akan diiringi dengan bunyi sangkakala (Mat 24:31)
“…. dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia” (Mat 25:31)

2. Kedatangan-Nya yang kedua akan datang tanpa diduga, dengan cara yang sama seperti saat Ia naik ke surga, dan diikuti oleh Penghakiman Terakhir yang mencakup semua orang.

* “Hendaklah kamu siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.” (Mat 24:44)
* “Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga” (Kis 1:9-11).
* Kedatangan Kristus akan menjadi akhir dunia dan membawa semua manusia kepada Pengadilan Terakhir (Mat 25) ….”Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas tahta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang …” (Mat 25:31-32)

3. Seperti Yesus mengingatkan para murid-Nya, Gereja akan mengalami banyak penganiayaan sebelum kedatangan-Nya yang kedua. Kekuatan Iblis akan menyerang umat Allah, dan para beriman tidak dibebaskan dari kesulitan ini. Namun Tuhan akan memberikan rahmat untuk bertahan, dan siapa yang bertahan sampai kesudahannya melalui pemurnian dan kesetiaan dalam pencobaan ini, akan diselamatkan (lihat perikop tentang Siksaan yang berat dan mesias-mesias palsu pada Mat 24:15-28, Mrk 13:14-23, Luk 21:20-24).

4. Tuhan mengajarkan bahwa saat kedatangan Kristus yang kedua tidak dapat diketahui sebelumnya (lih. KGK 673)

* “Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” (Mat 24:42)
* “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.” Maka KGK 1040 mengatakan, “Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan terjadi.”

Kesimpulan

Sementara banyak gereja Protestan mengajarkan tentang akhir jaman ini dengan begitu banyak variasinya, yang bahkan bisa saling bertentangan, Magisterium Gereja Katolik memang memilih dengan tenang untuk teguh berpegang pada Tradisi yang diajarkan oleh para Bapa Gereja. Intinya, kedatangan Yesus yang kedua hanya terjadi satu kali, tiba-tiba dan tak dapat diketahui sebelumnya oleh manusia, dan Kristus akan datang dengan kemuliaan-Nya. Gereja Katolik tidak berusaha meramalkan siapakah Antikristus, ataupun menghubungkan skenario kitab Daniel dan kitab Wahyu. Namun bukan berarti kita layak mengacuhkannya, sebab permenungan akan akhir dunia akan sangat berguna untuk meletakkan kehidupan sehari-hari dalam perspektif yang benar, agar kita tidak terlena dengan kesenangan dan harta duniawi. Hal akhir jaman ini memang layak kita cermati, walaupun itu hanya menyadarkan kita bahwa kita mempunyai beberapa kemungkinan jawaban daripada sesuatu yang sudah pasti.

Selanjutnya, sebagai umat Katolik, tak usah kita lekas gelisah jika mendengar tentang pengajaran tentang akhir jaman. Akhir jaman memang harus menjadi perhatian kita, namun maksudnya agar kita dapat hidup dengan lebih baik dengan mempergunakan waktu yang Tuhan berikan pada kita dengan sebaik-baiknya untuk berbuat kasih dan kebaikan. Kita tidak perlu turut menghitung tahun dan waktu kedatangan Yesus yang kedua, karena besar kemungkinan hal itu tidak benar, seperti yang telah terbukti dalam sejarah manusia. Hasil hitungan kita akan hanya menambah panjang daftar kekeliruan ramalan manusia akan perhitungan akhir jaman, sebab Tuhan sendiri mengatakan bahwa kita tidak akan tahu hari mana Ia akan datang (Mat 24:42). Namun sebaliknya, kita juga tidak boleh mengacuhkan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua ini, apalagi sampai hidup seolah-olah tidak akan ada Hari Penghakiman. Sebab jika demikian, kita akan menyesatkan diri sendiri dan akan menerima ganjarannya di akhir jaman nanti. Jadi, mari kita melakukan apa yang diajarkan oleh Gereja, yaitu, berjuang untuk hidup kudus, dengan mengasihi Tuhan dan sesama, sesuai dengan panggilan hidup kita, entah sebagai kaum awam atau kaum tertahbis. Supaya jika saatnya tiba, entah pada akhir hidup kita, ataupun jika kita masih hidup, pada hari kedatangan-Nya, maka kita didapati-Nya sebagai hamba yang setia dan berjaga-jaga. Agar kita boleh mendengar sabda-Nya, “Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.” (Mat 25:34).

Father Frank Chacon, Jim Burnham, Beginning Apologetics: The End of Time, (Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars), p. 3.


Paul Thigpen, The Rapture Trap, PA: Ascension Press, 2001, p. 127.


Menurut Konsili Nicea, 325 AD


Lihat A Catholic Commentary on Holy Scripture, gen ed. Dom Orchard, OSB, New York: Thomas Nelson and Sons Ltd., 1953, p. 896.


Diterjemahkan dari Douglas J Moo, “Response to Feinberg” in Gleason L Archer, et al., The Rapture: Pre- Mid-, or Post- Tribulational? (Grand Rapids, Mich: Zondervan, 1984), p. 99-100.


Diringkas dari The Rapture Trap, Paul Thigpen, PA: Ascension Press, 2001, p. 132-140.


St. Yustinus Martir, Dialogue with Trypho, 110, , dapat dilihat dalam The Ante-Nicene Fathers: Translations of the Writings of the Fathers Down to AD 325, Alexander Roberts and James Donaldson, eds. (Grand Rapids, Mich: Eerdmans, 1987, reprint). 10 volumes.


St. Jerome, Letter XIV.


St. Augustine of Hippo, City of God, XX, 8, 11, 14


St. John Chrysostom, Homilies on Thessalonians, VIII, “When a king drives into a city, those who are in honor go out to meet him; but those who are condemned await the judged inside the city. And at the coming of an affectionate father, his children and all those who are worthy to be his children are taken out to Him in chariot, so that they may see him and kiss him. But those of his servants who have offended him remain inside the house. We are carried upon the chariot of our Father. For He received Christ up in the clouds, and we shall be caught up in the clouds [see Acts 1:9]. Do you see how great is the honor? And as He descends, we go forth to meet Him…so shall we be with Him.“ (see 1 Tes 4:17)


St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, Suppl. Q.77. Art.2.


Pseudo, disini artinya, menurut Wikipedia: The prefix pseudo (from Greek ?????? “lying, false”) is used to mark something as false, fraudulent, or pretending to be something it is not. Jadi Pseudo- Ephraem, adalah tulisan yang diperkirakan seperti tulisan St. Ephraem tetapi sebenarnya bukan.


“For the saints and elect of God are gathered, prior to the tribulation that is to come, are taken to the Lord lest they ever see the confusion that is to overwhelm the world because of our sins….” Seperti dikutip oleh Gundry, First the Anti Christ, 162-63. Buku ini menceritakan pandangan Protestan tentang akhir jaman. Namun secara keseluruhan kita dapat melihat bahwa pandangan seorang evangelical Protestant dapat menentang ajaran “secret rapture” ini. Juga hal ini dijelaskan dalam buku Gundry yang lain, The Church and Tribulation.


Martin Luther, Preface to the Revelation of St. John, II; and Sermon on John 16:13.


John Calvin, Commentary on First Corinthians, 52.


Lihat Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium bab 5, Panggilan untuk hidup kudus.

Minggu, 03 Juli 2011

Jalan Menuju Keabadian

Meniti harapan untuk masa depan
Yang aku tau adalah perjuangan
Yang aku punya hanyalah niat

Fatamorgana cita-cita yang terpampang jauh di depan
Memanggilku untuk melangkah, bila perlu sedikit berlari

Aku tak tahu akan seperti apa
Segalanya masih kabur
Yang pasti bahwa aku sedang bergerak ke sebuah tujuan
Anak tangga kehidupan terus aku naiki
Meski terkadang merasa lelah, ingin berpaling
Tapi itu tak mungkin kulakukan………

Jika harus melangkah dari tangga pertama lagi
Rasanya tidak akan mudah
Biarlah aku lanjutkan petualangan ini
Sebuah petualangan semu berdinamika eskaton
Penantian aku akan masa depan
Walau tampak hanyalah bayang-bayang

Keraguan bukan berarti kalah
Ketiakpastian bukan berarti tanpa langkah
Kebingungan bukan berarti berhenti berpkir
Kesalahan bukan berarti ketiadaan permulaan

Mari berlangkah
Mari berpetualangan
Mari manapaki jalan menuju keabadian!!!!!!!!!!
(stefanus p. elu. Kebun Jeruk, 04 Juli 2011)

Kembali ke Gereja Kita


Lama tidak pernah bertemu, tidak berarti perkenalan dan pengalaman pernah bersama itu harus dilupakan. Justru lama tidak berjumpa itulah yang akhirnya membangkitkan rasa ingin kembali seperti dulu lagi. Inilah sepenggal kata yang mungkin agak tepat untuk menggambarkan pengalaman kembali berjumpa dengan seorang temanku.
Kami pernah bersama menyelesaikan studi SMP di sebuah desa kecil bagian dari negeri ini. Sebuah desa yang kelihatanya sangat tertinggal dan usang karena terabaikan dari perkembangan peradaban, namun telah menjadikan kami bertumbuh sebagai orang yang dewasa dan dapat mengerti sesuatu.
Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa pengalaman kembali berjumpa itu akan kami alami, oleh karena belasan tahun telah lama memisahkan kami. Pada 1998-2000 kami mengais pendidikan SMP di SLTPK San Daniel. Setelah itu, kami pun berpisah karena tuntutan masa depan.
***
Suatu malam, ketika aku sedang duduk santai di kos di tanah rantau, tiba-tiba sebuah sms menderinmgkan Hp jadulku. Seperti biasa aku membukanya dengan santai dengan asumsi sms dari teman-temanku yang lagi kanker (kantong kering) di ahir bulan dan ingin bergurau sekedar mengusir kegelisahan. Tapi rupanya bukan. “slamat malam teman, apa kabar?” Lalu tertera namanya dengan cukup jelas diakhir kata-kata sms itu.
Aku terkejut, seolah tidak percaya pada isi sms dan nama yang tertera di bawahnya. Aku membalas: “kabarku baik-baik aja. Sekarang teman di mana?”
 “ saya sekarang di Lenteng Agung” balasnya.
Ow, tempat itu sangat dekat dari kosku. Rupanya teman yang satu ini pun telah berjalan jauh hingga tiba di kota ini. Perasaan bahagia, haru, dan senang bercampur baur. Dia yang telah lama hilang kini telah kutemukan. Dia yang telah mati, namun telah kembali. Demikian perasaan ini meminjam kata-kata Penginjil Lukas ketika mengemukakan perumpamaan “Bapa Yang Berbelas Kasih.” Ya, singkat cerita aku sangat bahagia karena kami bisa bertemu lagi. Kami hadir kembali dengan cerita perjuangan dan pengalaman perjalanan yang berbeda.
***
            Rupanya benar dugaan saya bahwa kami akan hadir dengan kisah yang berbeda. Kembali menengok ke belakang, ternyata kami telah merintis dan dan mengukir kisah sejarah yang dramatis. Ada kisah yang menggembirakan, ada kisah yang menyedihkan, bahkan mengundang haru dan penyesalan. Kisah itu, jika hendak digambarkan, dialami teman saya ini. Pertimbangan yang kurang matang di masa lalu telah menghadirkan penyesalan yang sangat dalam saat ini. Keputusan yang sangat berisiko mengancam kelanjutan kehangatan dan kasih sayang dari keluarga harus ia tempuh. Orang tua dan keluarga tak sanggup menerimanya. Namun, dengan tekat yang bulat ia terus melangkah, merintis kisah sedih yang baru terasa saat ini. Terlanjur bertindak, membuat dia nekat mengambil jalan pintas meski harus dibenci.
            Namun, saat ini tumbuh harapan dan keinginan untuk kembali. “aku ingin seperti dulu lagi. Aku ingin kembali menjadi katolik lagi, seperti masa dulu kita SMP,” demikian harapan dan niat yang terbersit di akhir perbincangan kami. Sebagai temanmu, aku selalu menanti kepulanganmu. Meski dulu teman pernah salah langkah, kasih di antara kita tidak pernah terhapuskan karenanya. Aku akan membantumu untuk kembali. Mari kita pulang ke Gereja kita. Gereja di mana dulu kita pernah merasakan sangat dekat dengan Dia. Dia telah menanti kepulanganmu sejak lama. Dia akan sangat bahagia mendengar kabar ini. Yah, aku yakin Dia selalu seperti itu. Menangis ketika kita salah langkah dan bahagia bila kita ingin kembali. Dia tidak pernah membenci kita yang bersalah. Dia hanya berharap, kita sadar dan ingin memperbaiki diri. Aku akan membawamu pulang. Jika teman tak kuat jalan, aku bersedia memapahmu. DIA TELAH MENUNGGU KEDATANGAN KITA, setiap hari, jam, menit dan detik. (sefanus poto elu, Kebun Jeruk, 04 Juli 2011).