Menyatukan Idea dan Realita
Judul
Buku : Flamboyan Senja
Penulis : Aliya Nurlela
Penerbit : FAM Publishing
Tebal : 139 halaman
“Lembayung
bersolek menawarkan kilau kuning keemasan. Memanjakan mata-mata lelah yang
ingin bersantai di ujung senja. Menunjukkan
ke Maha Besaran ciptaan-Nya dari sekian ciptaan. Menorehkan kerinduan pada
jiwa-jiwa yang berharap dan menanti kehadiran sesaat sebelum adzan Maghrib
berkumandang”.
Bagaimana perasaan Anda saat membaca
kutipan ini? Sebuah kutipan yang padat dan indah dalam pengolahan diksinya.
Kutipan ini langsung memancing imajinasi pembaca akan sebuah suasa, entah itu
di padang rumput, puncak gunung, ataupun di tepi pantai, sembari menyelami
keindahan senja yang sebentar lagi akan beranjak pergi.
Inilah kutipan pembuka yang bisa
kita temukan dalam buku “Flamboyan Senja”. Sebuah buku yang ditulis dengan gaya
bahasa sederhana, namun kaya akan variasi penempatan diksi dan jemawa dalam
mengolah nurani pembaca untuk menelisik pesan terdalam yang mau disampaikan
melalui setiap katanya. Kiranya keindahan yang termaktub dalam judul buku
“Flamboyan Senja” perlahan-lahan dilerai lewat baris-baris kata yang merangkai
kalimat yang syarat pesan ini.
Sepuluh topik cerpen yang dirangkai
dalam buku ini menyingkapkan kepada kita pesan variatif, sekaligus menyentak
hati, apa yang hendak kita lakukan setelah membacanya? Justru dalam
kesederhanan latar belakang cerita yang diangkat, yaitu dari hidup kita
sehari-hari itulah, tulisan-tulisan ini tampil sebagai evaluator bagi pola pikir
dan pola laku yang sering kita praktikkan. Melalui tulisannya, penulis
menampilkan cerita yang membedah segala tindak-tanduk kita, entah yang kita
lakukan dengan sadar atau hanya ikut-ikutan. Ia mengajak kita agar tidak
menghalalkan segala cara demi mencapai keinginan pribadi, melainkan tampil
sebagai pribadi yang bersahaja, yang selalu mau menghargai orang lain.
Kutipan ini kiranya mencerminkan hal
ini. “Zahda Amir adalah penulis yang
dikenal santun dan karya-karyanya mengusung nilai-nilai ilahiyah. Tak satu pun
karyanya yang vulgar atau membuat kotroversi”. Kutipan ini, meski mengacu pada penulis
ternama, Zahda Amir, tetapi penulis mampu memilah kutipan yang langsung
menimbulkan pertanyaan reflektif bagi pembacanya. Kalau Zahda Amir, sang
penulis terkenal itu saja masih mampu menujukkan kesahajaannya, mengapa kita
yang baru merintis jalan menjadi penulis ini cenderung arogan?
Kutipan ini juga mengindikasikan
bahwa meskipun cerpen adalah tulisan berkategori fiksi, tetapi untuk dasar dan
pondasi bagi ide utama yang mau disampaikan seorang penulis harus
sungguh-sungguh kuat. Dalam beberapa cerpennya, penulis sungguh menunjukkan hal
ini. Inilah salah satu keunggulan dari
buku ini.
Di sisi lain, dalam cerpen berjudul
“Impian yang Terhapus”, penulis lagi-lagi menunjukkan kepiawaiannya dalam
mengolah diksi. “Sentuhan sepoi angin
terasa begitu keras, ketika rasa cinta perlahan menguap. Bukan saatnya menakar
cinta di usia yang terus merangkak menuju kematangan. Cinta bukan sekedar rasa
yang akan bertahan di hati seseorang tanpa didukung faktor-faktor lainnya.
Cinta membutuhkan penopang yang kuat. Kasih sayang, kesabaran, pembuktian, dan
kebersamaan. Harus muncul sikap saling menghargai dan saling menyayangi. Itulah
cinta yang sesungguhnya. Letak cinta bukan di raga, penamilan, atau kekayaan.
Itu hanya tipuan cinta yang semu dan menjerumuskan”.
Dalam ungkapan ini, dalam hemat
saya, penulis mau mengajak pembacanya untuk menyelami makna terdalam dari
cinta. Cinta yang hakiki bukan soal pegangan tangan, ciuman, jalan-jalan, atau
mendegarkan lagu cinta dari grup band
kesukaan. Cinta membutuhkan kesanggupan untuk menyediakan diri secara utuh bagi
orang lain, demikian pun sebaliknya.
Membaca lebih jauh buku “Flamboyan
Senja”, banyak hal yang bisa ditimba. Meski beberapa hal seperti penghematan
bahasa tentu terus diperhatikan. Ada beberapa kata yang tentu perlu dibuang
karena tidak terlalu penting untuk dicantumkan. Meski begitu, penempatan diksi
tepat pada posisinya sudah mampu menutupi sedikit kekurangan buku ini.
“Flamboyan Senja” bagai mata air
yang pesannya tak habis ditimba pesannya. Keunggulan lain dalam buku ini adalah
merangkai kalimat-kalimat yang membawa kita terbang melayang dalam khayalan, bersamaan
dengan itu membuka ruang pandang agar kita melihat kenyataan yang ada dalam
keseharian kita. Jika kita hendak meluangkan waktu untuk merefleksikan apa yang
ada dalam khayalan dan apa yang ada dalam dunia nyata, sehingga menemukan
keputusan yang tepat dalam kehidupan kita, buku ini patut menjadi acuan.
Selamat menikmati dan berselancar dalam “yang ada dalam idea” dan “yang ada
dalam realitas” untuk membawa kita semakin mendekati kebijaksaan.
steve agusta
Anggota IMMORTA (Ikatan Mahasiswa-Mahasiswi Timor-Jakarta)
email:
steve.hyasantrix@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar