Ratap
tangis telah berlalu. Kesedihan perlahan beranjak pergi. Atau malah dikaburkan
kebencian? Entahlah. Masing-masing kita hanya bisa mereka-reka apa makna dari semua
kejadian yang akhir-akhir ini berkecamuk di sekitar kita. Yang pasti, berita
angkara lebih menggunung daripada perbuatan-perbuatan baik.
Salah satunya yang masih hangat di
bibir dan nyaring di telingan kita adalah kasus pembuhan di LP Cebongan. Tapi,
ia pun perlahan berlalu. Para korban sudah beristirahat di peraduan kekal. Tubuh
mereka meretas jalan kembali ke asalnya, debu. Jiwa mereka kembali ke Sang
Pemilik yaitu Tuhan sendiri. Apakah mereka akan masuk neraka karena baru saja
membunuh anggota Kopasus? Atau malah masuk surga karena sempat bertobat di
detik-detik terakhir, seperti sang penjahat yang disalibkan bersama Yesus? Kita
tahu. Itu urusan Tuhan.
Namun, belakangan ini, kasus
penyerangan di Cebongan kembali menjadi buah bibir media massa dan elektronik,
lantaran pengakuan sebelas anggota Kopasus bahwa merekalah para pelaku
penyerangan berdurasi lima belas menit itu. Beragam spekulasi mencuat tiada
henti. Di satu sisi, ada yang mempersalahkan para korban dan dikelompokkan
sebagai preman. Paling tidak itu juga statement
yang dikeluarkan oleh Tim Investigasi dari kalangan TNI. Lalu, diberitakan
pula, masyarakat akar rumput Yogyakarta lebih condong mendukung Kopasus dengan
argumen, premanisme harus dibasmi! Yang menjadi pertanyaannya adalah yang perlu
dibasmi adalah tindakan premanisme atau mereka yang menganut prinsip, sikap,
dan ideologi premanisme? Tentu kedua hal ini tidak bisa dipisahkan begitu saja,
tetapi bila ditelisik lebih dalam, keduanya berbeda.
Sementara di lain sisi, sebagian masyarakat
membela para korban. Mereka mengklasifikasi tindakan penyerangan di LP Cebongan
itu sebagai penyelesaian masalah berdasarkan prinsip hukum rimba. Zaman semakin
modern, peradaban semakin mapan, maukah kita kembali ke zaman kuno, dimana
belum ada peradaban, kebudayaan, peraturan, atau sosok yang bisa menjadi
panutan? Kita patut sedikit menengok teori kontrak sosial yang pernah
digaungkan John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseau. Mereka berusaha
menganalisa kondisi kehidupan manusia dari masa ke masa, lalu berusaha
merumuskannya. Itulah yang kita kenal sebagai teori kontrak sosial-orang
membangun kesepakatan untuk tidak saling menyerang atau menyakitkan. Di sinilah
fondasi dasar Hak Asasi Manusia.
Beranglkat dari dua gelombang bersama
dengan latar belakang argumentasinya masing-masing ini, kita tentu bertanya,
manakah yang benar? Manakah yang perlu kita bela?
Saya rasa, berhadapan dengan
peristiwa seperti ini, tidak penting untuk saling menuding siapa yang benar dan
siapa yang salah. Tapi layaklah kita sedikit rendah hati untuk menilai rekam
jejak yang sudah kita bangun. Di sini saya hanya memfokuskan diri dari dua macam
sudut pandang, yakni budaya dan pendidikan.
Budaya
Dari sisi prinsip budaya, segala
macam tindak pembunuhan di zaman ini adalah sesuatu yang perlu ditolak. Karena tindakan
menghilangkan nyawa orang lain adalah merampas legitimasi Tuhan atas karyanya. Ia-lah
yang menciptakan manusia, biarlah ia sendiri yang mengambilnya kembali.
Dalam warisan budaya Indonesia pun
tidak dibenarkan tindakan saling membunuh. Tindakan membunuh adalah model
penyangkalan paling nyata terhadap salah satu warisan paling mulia dari nenek
moyang pertiwi ini yaitu kekeluargaan. Bayangkanlah, bila kita tidak memiliki
budaya kekeluargaan, bagaimana orang Papua bisa hidup besama dengan orang Jawa?
Orang Jawa bisa hidup bersama orang Aceh? Orang Jawa bisa menikah dengan orang
NTT? Orang Bali bisa manggung budaya
bersama orang Makasar? Sungguh, tak dapat disangkal bahwa dasar dari kemampuan
untuk saling menerima dan hidup bersama adalah karena kita merasa satu bagian
dari yang lain.
Meminjam apa yang pernah dikumandangkan
Emmanuel Levinas bahwa “yang lain adalah cermin dari diriku sendiri. Artinya, aku
mampu melihat bayangan diriku dalam diri orang lain. Maka tentu aku tak rela
meniadakan diriku sendiri”. Kiranya inilah yang menjadi dasar pembentukkan
peradaban kasih yang layak kita pertahankan di tanah pertiwi ini.
Sejauh saya ingat, dalam
keluarga-keluarga di NTT pun tidak diajarkan untuk membunuh orang lain atas
dasar alasan apapun. Adalah kemauan untuk menghargai mereka yang berbeda-lah
yang menjadi warna dasar pendidikan kita sejak dini. Bergaulah pada adalam NTT
dinama pohon tuak tidak berusaha menyingkirkan rumput karena masing-masing
menjalankan fungsi yang sama yakni membuat tanah NTT menjadi harum di mata
tetangga-tetangganya.
Pendidikan
Peristiwa penyerangan LP Cebongan
yang menewaskan empat tahanan asal NTT pun patut dipandang sebagai alarm bagi
sistem pendidikan kita, khususnya bagi pendidikan muda-mudi NTT. Mungkinkah ada
yang salah, dan marak dipertahankan menjadi pola laku bersama sehingga
menimbulkan kecemburuan pihak tertentu?
Muda-mudi NTT berangkat dari daerah
masing-masing dengan tujuan untuk mengenyam pendidikan di Jawa. Orangtua membanting
tulang menafkahi, memenuhi uang kuliah, dan menanggung segala biaya rekreatif
kita yang seringkali kita tidak secara terbuka mengemukakan hal itu kepada
mereka. Diam-diam kita melakonkan hal-hal yang mencederai nama baik kita
sendiri.
Peristiwa Cebongan layak dipandang
sebagai alarm yang berdentang nyaring menyentuh bilik-bilik terdalam hati kita
untuk mulai menengok rongsokan apa yang masih tersisa dalam hati, perilaku, dan
tutur kata kita untuk segera ditinggalkan. Sudah saatnya kita berbenah laku dan
berbenah tutur untuk semakin meperlihatkan kualitas kita sebagai orang
terpelajar.
Kita tak perlu menuntut siapapun
untuk memutihkan coretan hitam di Cebogan. Kita sendiri, warga dan masyarakat
NTT-lah yang harus bertanggungjawab memulihkan oretan hitam di Cebongan untuk
kembali menebarkan harum cendana yang selama ini menjadi identitas tanah NTT.
Peristiwa Cebongan juga tampil
sebagai pengetuk pintu rumah keluarga-keluarga di NTT untuk segera membenahi cara
pendidikan yang diterapkan kepada anak-anaknya. Mungkin metode rotan sang ayah
dan ibu tak layak lagi diacungkan karena akan meninggalkan jejak dalam hati
anak-anaknya, sehingga ketika beranjak dewasa, ia pun akan merotani orang lain.
Layak dicoba pendidikan yang mengedepankan narasi budaya zaman dulu, kesalehan
hidup tokoh-tokoh tertentu sehingga mampu menggerangkan hati dan pikiran sang
buah hati untuk berpikir dan merasakan auranya. Mungkin metode duduk berdua,
bertiga, berempat, dst. di tepi tunggu sembari mendengarkan dongeng sang ayah
atau sang ibu perlu digalakkan sehingga pendidikan kognitif dan psikomotorik
bagi titipan Tuhan ini berkembang bersamaan.
Suara bedil Cebongan juga mengetuk
pintu-pintu ruang kelas sekolah di NTT untuk segera mengevaluasi model pendekatan
pendidikan yang selama dipraktikkan. Mungkin tidak tepat lagi guru berdiri di
depan kelas dan menyaksikan murid-muridnya berlutut mengelilingi tiang bendera pada
pukul 12.00 siang. Sebab yang tertinggal hanyalah kebencian pada sang guru. Bila
itu tidak terlampiaskan, maka siapa saja yang menyakitinya ia akan membalasnya,
bukan hanya ingin balas dendam tapi sekaligus melampiaskan tumpukan busuk yang
selama ini tersusun dalam hatinya.
Banyak hal yang bisa ditimba dari
peristiwa Cebongan. Namun, kesanggupan untuk mengambil satu sisi saja dan
konsisten mengaplikasiknnya dalam kehidupan kita, khusunya muda-mudi NTT, layak
menjadi prioritas kita. Mari kita bersama-sama menghapus stigma premanisme yang
terlanjur dikenakan publik bagi insan-insan NTT. Caranya, warisilah
petuah-petuah keijaksaan yang sempat dibisikkan sang ayah atau ibu saat kita
hendak berngkat ke tanah rantau.
steve agusta
kebon jeruk, 8
april 2013
*penulis adalah
anggota IMMORTA (Ikatan Mahasiswa-mahasiswi Timor-Jakarta).