Jumat, 23 Desember 2011

Narasi Petualangan Sehari: Nyata dan Idea


Pagi itu, Senin, 19 Desember 2011. Saya tampaknya cukup bersemangat, meski harus berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Sekitar pukul 08.30 saya tiba di kantor. Di sana teman saya sudah menunggu. Wah ternyata ia tiba lebih awal lagi.
          Seturut rencana kami, hari ini kami akan berangkat ke UI Depok untuk meliput beberapa kegiatan di sana. Ruas jalan yang tampak sedikit macet dan mulai terasa panas pun kami telusuri. Kalau dibilang malas sih, iya. Tapi ada yang lebih di sana. Ada “bening-bening” di sana. Hahahahahaha…..tentu bukan itulah motivasi utamanya, tapi sampingan yang cukup menarik tentunya.
          Sama-sama orang baru, memasuki area kampus UI Depok yang masih dalam balutan nuansa alam oleh pohon-pohon rindang itu membuat kami bangga dan sedikit bingung. Ya, meskipun tidak kuliah di sana, paling tidak pernah masuk dan sedikit menikamati aura kampus yang tenar dan familiar dalam perbandingan kampus-kampus di Indonesia ini.
          Mulanya, kami mengikuti ujian promosi doktor seorang imam diosesan Keuskupan Palembang, Pastor Yustinus Slamet Antono Pr. Pastor yang adalah dosen tetap Fakultas Filsafat Unika St Thomas Pematangsiantar, Sumatera Utara, sejak 2001 ini menghadapi ujian promosi doktor dengan judul disertasi “Ziarah dalam Perspektif Sosiologi Studi Keagamaan Populer di Keuskupan Agung Semarang”.
          Paling tidak yang bisa saya tangkap dari presentasi Pastor Slamet ini adalah bahwa gabungan antara religiositas lokal (Jawa) dan relgiositas Katolik tidak mengandung pretensi untuk saling meniadakan, tetapi justru saling memeperkaya. Juga, seseorang yang memilih untuk memeluk religiositas Katolik tidak pernah serentak pula melepaskan religiositas lokalnya. Justru ia harus berani menemukan unsur-unsur terdalam yang ada dalam religiositas kedua ‘agama’ itu sehingga menopangnya untuk menyembah sekaligus membawanya untuk dekat dengan Sang Pencipta.
          Selepas ujian Pastor Slamet yang diraih dengan lulusan cum laude ini, saya bersama dengan teman saya menemui Dosen Sastra UI Depok dan seorang tokoh feminis, Manneke Budiman, untuk mewawancarainya.
          Banyak hal yang kami bicarakan di sini. Hal yang paling menarik bagi saya adalah pernyataan Manneke “seorang seniman yang baik adalah seorang yang membiarkan dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi orang lain untuk berkreasi. “Kita tidak punya hak untuk menghalangi orang yang mau menulis atau memulai sesuatu, terutama di bidang sastra,” tuturnya. Menurut Manneke, apapun tulisan yang dihasilkan oleh orang lain, entah itu ia seorang penulis terkenal atau bukan, perlu dihargai dengan cita rasa yang sama.
          Kebiasaan yang terjadi adalah kita membaca tulisan orang lain bukan untuk menemukan hal-hal baru atau makna tulisannya, melainkan mencari kelemahan-kelemahan yang tampak dalam tulisan itu untuk dijadikan senjata kritik penulisnya. Kita membaca sebuah teks dengan sejuta klasifikasi dan penilaian yang kita miliki. Maka, yang terjadi adalah bukan mendapatkan hal baru, tapi kelemahan untuk menyerang atau menilai buruk tulisan orang lain. “Ini biasanya dilakukan oleh mereka yang sudah senior di bidang tertentu,” tegas Manneke.
          Manneke melanjutkan, sudah saatnya kita memberikan ruang kreasi yang cukup bagi penulis-penulis muda. Biarkanlah mereka berkreasi dengan kemampuan yang mereka miliki. Para senior hanya membantu mereka untuk menemukan kelebihan dan menguatkan kelemahan mereka demi kemajuan bersama. Akhir-akhir ini, banyak orang muda yang begitu berprestasi di bidang tulis-menulis.
          Hal ini terbukti. Dua jam setelah perjumpaan itu, kami menyisihkan waktu untuk menghadiri sebuah seminar bertajuk “Cinta dan Kematian.” Meski kami adalah tamu yang tidak diundang, karena hanya mampir karena sempat melirik spanduk yang terpajang di area kampus, toh yang kami inginkan adalah pengetahuan yang bisa kami dapatkan dalam seminar itu.
          Dari tiga pembicara yang hadir, dua di antaranya masih sangat muda. Mereka adalah Saraswati Dewi dan James Farlow Mendrofa M. Hum. Kedua pembicara muda ini sangat berbakat dalam mengemukakan pengertian yang mereka miliki terkait tajuk seminar. Paling tidak dalam perspektif saya.
          Kedua pembicara ini, termasuk pembicara ketiga yang sudah lebih senior di lingkungan UI Depok, Tommy, berusaha mengelaborasi makna dan inti terdalam dari cinta. Jika mengacu pada statement awal makalah Saras, “Cinta mudah diterjemahkan ke dalam pusi, lagu, dan tarian, karena ranah cinta dan irasionalitas jauh lebih mudah diekspresikan, tetapi bisakah kita mendiskursuskan cinta?, memang pendekatan yang dipakai cukup mengena dengan mengacu pada cinta platonis. Tetapi rupanya jika tidak hati-hati, maka kita akan salah jalur. Pasalnya, ketika Platon mendiskursukan cinta, ia menempatkannya dalam karangka besar pemikirannya “Dunia Idea”.
Platon tidak pernah berbicara tantang realitas. Jika Platon berbicara tentang individu yang mencintai dan dicintai, individu yang dirujuk adalah individu dalam dunia idea. Demikianpun cinta ala platonis. Meskipun dalam kelanjutannya, individu-individu ini akan beremanasi.
Akhir diskursus dari permenungan panjang dan ruwet ini, adalah “biarkanalah cinta mengalir dalam ranahnya sendiri. Janganlah kita mereduksi cinta pada ruang dan waktu dalam perpektif keterbatasan kita. Sebab cinta adalah konsep yang tiada mengenal batas waktu dan ruang, melampaui batas-batas netra.”

Stefanus P. Elu
Kebun Jeruk, 24 Desember 2011

Kesadaran Di Hari Ibu


Suatu ketika, seorang senior di tempat kerja saya mengatakan bahwa “seorang bayi belajar mengenali ibunya dari baunya. Bau dari seorang ibu lah yang pertama terekan rapi dalam pikiran dan rasa si bayi.”
Bila dibayangkan, pernyataan ini benar. Seorang bayi akan menangis tiada henti bila ia tidak digendong oleh ibunya. Ia akan selalu mencari ibunya di saat ia merasa lapar dan haus. Ia akan menangis histeris bila dalam jangka waktu yang lama ia tidak berada dalam dekapan ibunya. Begitulah kedekatan seorang ibu dengan bayinya, atau sebaliknya.
Peran seorang ibu, mulai dari perencanaan hadirnya seorang bayi hingga tumbuh dan menjadi dewasa tak ternilai harganya hingga sampai pada pertaruhan nyawa. Seorang ibu akan selalu merindukan anaknya. Benarkah demikian?
Masih terekam betul dalam ingatan saya iluastrasi, bahkan kenyataan yang diungkapkan oleh seorang teman saya. Saya selalu mengingat cerita dari teman itu karena saya sendiri pernah mengalaminya. Beginilah ceritanya.
Biasanya, kita membunuh ayam untuk dijadikan lauk makan malam dalam keluarga. Kebiasaan ini biasanya terjadi di kampung-kampung karena tidak ada pasar yang menyediakan daging ayam jadi. Kita membunuh ayam itu kemudian meraciknya menjadi menu paling enak yang akan kita nikmati bersama dalam keluarga. Bahkan, sepotong daging pun jangan sampai tercecer, mengingat cukup atau tidaknya daging ayam itu untuk jumlah anggota keluarga yang ada. Biasanya ibu lah yang sungguh berperan dalam proses pengolahan ini. Syukur kalau anaknya ingin membantu.
Setelah semua persiapan makan malam selesai, tibalah saatnya untuk bersantap malam bersama. Ibu bisanya mempersilakan ayah dan anak untuk mengambil terlebih dahulu.
Tiba giliran ibu. Setelah mengambil nasi, ibu mengambil hanya daging kaki ayam. Ya,,,,,biasanya juga dengan daging yang lain, tapi bila itu diperlukan. Ibu selalu merasa cukup hanya dengan “kaki ayam” itu. Ketika kita menanyakan atau memintanya mengambil daging yang lain, ia hanya menjawab, “Nak, kaki ayam ini daging paling enak. Ibu suka sekali daging ini”. Lalu kita pun membiarkannya.
Menurut teman saya, bukan itulah realitas yang sebenarnya. Ibu berani melakukan itu karena ia sangat mencintai ayah dan anaknya. “Jangan sampai mereka kekurangan daging.” Ia merasa cukup dengan daging kaki ayan itu, karena ia mau memberikan yang terbaik dan termanis bagi ayah dan anaknya.
Mmmmmm……saya sangat tersentuh dengan kisah ini. Sebelumnya memang saya mengalaminya beberapa kali dalam hidup saya. Tetapi saya belum pernah berpikir sejauh ini. Inilah hal yang biasa. Cukup mengharukan bukan?
Bila disimak lebih jauh, seorang ibu rela menekan rasa pribadinya demi kebahagiaan sang suami dan anak-anaknya. Tapi terkadang kita lupa mengucapkan terima kasih. Atau paling tidak “I LOVE YOU MAM”.
Sekiranya kita mulai belajar dengan giat untuk merasakan kasih sayang besar ini. Selamat Hari Ibu, 22 Desember.
Stefanus P. Elu
Kebun Jeruk, 24 Desember 2011

Seni Wayang Orang


Orang yang mengutamakan seni dalam hidupnya adalah orang yang sungguh kritis memilih mana yang baik dan mana yang jelek. Bayangkanlah kalau kita datang ke sebuah mall atau supermarket lalu kita tidak memiliki jiwa seni sehingga tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan celana dan baju dengan mode terbaru. Ironi bukan?
Seni juga terkadang menjadi tempati kreativitas. Misalnya, beberapa bulan lalu sekelompok orang di Surabaya melayangkan protes kepada langkah lambat pemerintah Indonesia menemukan dan memulangkan tersangka Wisma Atlet Palembang, Muhammad Nazardin dengan melakonkan proses penangkapan Nazarudin di pinggir jalan. Ternyata Nazarudin hanya bersembunyi di balik sebuah pohon dan ditemukan oleh seorang hansip. Tidak perlu inteligen khusus bukan?
            Malam itu, Rabu, 14 Desember 2011, Panitia Pembangunan Gereja Paroki Ratu Rosari Jakakarsa Tangerang, Banten bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata mengadakan Pagelaran Wayang Orang bertajuk “Gatotkaca Ngedan” di Gedung Graha Bakti  Budaya Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Mereka memakai seni Wayang Orang untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gereja Jakakarsa.
            Wayang orang yang disaksikan sekitar 300 orang ini menceritakan Negara Amarta yang damai dan tenang oleh Karena kebijakan yang berpihak pada rakyatnya. Situasi ini membuat Negara-negara tetangganya merasa iri dan ingin menguasai Negara itu. Sementara di dalam kerajaan itu sendiri, terjalin sebuah komunikasi dan kerjasama yang begitu erat sehingga dengan mudah mereka dapat menampik semua tantangan dari luar. Maka usaha mereka sebenarnya sia-sia saja.
            Pastor Paroki Ratu Rosari Jakakarsa yang merupakan salam satu pelakon, Celtus Winarno Hardosuyatno MSF, ketika diwawacara mengungkapkan rasa terima kasih dan apresisasi yang sangat tinggi bagi umat separoki, terlebih bagi OMK dan anak-anak yang mau terlibat dalam pementasan ini. “Kita perlu mendukung kaum muda dan anak-anak agar mereka berusaha mengenal budaya-budaya yang kita miliki saat ini. Memang, tujuan pagelaran ini adalah pencarian dana untuk pembangunan gereja kami, tetapi usaha untuk memperkenalkan budaya kepada anak adalah hal yang urgen juga,”  pungkas Pastor Hardo.
            Senada dengan Pastor Hardo, Ketua Panitia Pagelaran, FX. Djoko Purwanto juga melihat kesempatan ini sebagai kesempatan baik untuk pengenalan budaya kepada masyarakat. “Kebetulan mayoritas paroki kami adalam orang Jawa. Di sana juga Paguyuban Seni dan Budaya yang beranggotakan orang-orang yang mencintai dan punya kepedulian pada dunia seni. Dari sinilah kita mengeksplorasi dan mulai mengenalkannya budaya kepada umat,” kata Joko.
            Pentas yang memakan waktu persiapan selama tiga bulan ini melibatkan sekitar 70 pelakon. Di antara para pelakon itu terdapat tiga pastor, tiga suster, dan satu Bruder. Mereka bersatu dalam sutradara dan koreografi Surip Handayani dari Wayang Orang Bharata.
            Secara spesifik, lakon “Gatotkaca Ngedan” ini mengisahkan pentingnya kebersamaan dan komunikasidi dalam keluarga. Apabila di dalam rumah dapat terjalin kebersamaan dan komunikasi yang baik antaranggota keluarga, maka tidak mustahil kebahagiaan yang diidamkan dapat terwujud dan dirasakansemua anggota keluarga.
            Walau sejujurnya harus saya katakana bahwa saya susah menangkap apa yang diperckapkn di panggung, karena semua komunikasi memakai bahasa Jawa kerajaan, saya bisa menangkap pesan lewat gerak-gerik para pelakon dan runutan aktivitas di panggung.
            Pementasan ini, Joko menjelaskan, adalah pementasan yang ketiga. Dan pentas kali ini melibatkan kaum muda dan anak-anak lebih banyak dari du pentas sebelumnya. Tentu ada perbaikan dan penyempurnaan pada pentas kali ini.

Stefanus P. Elu
Kebun Jeruk, 23 Desember 2011

Minggu, 11 Desember 2011

Gosip adalah Proses Penyayatan


“Jangan pernah menyebarkan gossip. Karena ketika Anda menyebarkan gosip, maka Anda menjadikan orang lain tong sampah, dan Anda sendiri adalah sampahnya.”

***
        Ungkapan ini mengingatkan saya akan sebuah ilustrasi saat saya masih aktif sebagai pendaping Bina Iman Anak di Sekolah Minggu. Kira-kira ceriteranya seperti ini:
        Suatu hari, seorang ibu datang mengaku dosa kepada pastor parokinya. Dalam pengakuan itu, tampak bahwa dosa yang paling banyak dilakukan oleh itu adalah bergosip ria setiap hari. Sebelum pastor, atas nama Gereja memberi absolusi atau pengampunan, pastor itu meminta si ibu pulang ke rumah untuk mencabut semua bulu ayam yang ada di rumah lalu menyebarkan bulu-bulu itu dari atas atap rumah.
        Ibu itu pun pergi dan melakukan sesuai apa yang diperintahkan kepadanya. Setelah itu, ia pulang dan melaporkan hasil kerjanya kepada pastor. Kemudian pastor itu, sekali lagi menyuruh ibu itu untuk pulang dan mengumpulkan kembali semua bulu ayam itu. Ibu itu mulai membantah! “Tentu saja saya tidak bisa mengumpulkan semuanya, karena bulu-bulu ayam itu sudah dibawa angin ke mana-mana,” keluh si ibu.
        Pastor parokinya menjawab, “begitu pula dengan gosip. Ketika Anda menjelek-jelekan nama orang lain, kabar itu akan kian cepat tersiar. Anda tidak mungkin bisa mengumpulkannya lagi. Dan nama orang yang Anda gosipkan semakin jelek. Sekarang, pulanglah dan jangan bergosip lagi.”
***
Persoalan gosip memang sering terjadi dalam hidup kita. Sadar atau tidak, dalam takaran sedikitpun kita pasti pernah melakukannya. Kadang kita hanya mau iseng-iseng, ataupun serius. Ketika kita sedang bergosip, kita tidak pernah berpikir, apa yang akan dirasakan orang itu kalau sampai ia mendengar hal ini? Atau paling tidak kita perlu bertanya diri, apakah saya pun punya salah dan kemarin, atau hari ini, atau esok nanti saya akan digosipkan juga?
Membicarakan orang lain memang perlu karena dapat berfungsi sebagai alat kontrol social. Akan tetapi hal ini akan menjadi momok yang keji bila disertai dengan pendapat pribadi yang bertujuan melumpuhkan orang yang dibicarakan. Ini adalah pembunuhan.
Bukankah orang sering berpendapat, ‘mending sekali ditikam langsung mati, daripada disayat perlahan-lahan’. Gosip adalah bagian dari penyayatan secara perlahan itu.

Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 11 Desember 2011

Penentuan Diri dan Dialog untuk Papua


Persoalan Papua perlahan menyita perhatian Negara Repubik Indinesia (NKRI) dan dunia. Penembakan terhadap rakyat sipil semakin meningkat tanpa ada kelompok yang mau bertanggung jawab. Tuduhan terhadap para kelompok separatis OPM semakin menguat, walau tanpa bukti-bukti otentik. Persoalan ini pun kian rumit. Masing-masing mempertahankan pola pemikirannya, seolah itulah yang paling benar. OPM perlahan mengarah ke “Penentuan Diri Sendiri”, sedangkan NKRI mengusahakan persatuan dan kesatuan sebagai satu kesatuan, se-bangsa dan se-tanah air.
Jika disinyalir lebih jauh, hembusan perjuangan orang-orang Papua untuk “menentukan diri sendiri” semakin hari semakin kencang. Mereka mengarahkan pandangan ke suatu situasi di mana mereka akan hidup tanpa tekanan dan bebas dari eksploitasi. Harapan ini tampak dalam semiar yang dilangsungkan di Ruang Seminar Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Utara, Sabtu, 10 Desember 2011.
Seminar yang bertajuk “Orang Papua dan Penentuan Sendiri” menghadirkan pembicara Ketua Ikatan Mahasisa Papua, Siprianus Bonai, Ketua Sinode Gereja Babtis Papua, Pendeta Socratez Sofian Yoman, Guru Besar STF Driyarkara Jakarta, Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, dan Sekretaris Presidium Dewan Papua, Thaha Muhammad Alhamid.
Siprianus mengemukakan secara detail dinamika perjuangan NKRI untuk mengintegrasikan Papua menjadi salah satu bagiannya.  Terdapat berbagai proses ‘abu-abu’ yang sampai saat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya:
1.    Pada 1961, Belanda membentuk Neuw Guinea Raad yang selanjutnya Papua mendeklarasikan kemerdekaannya pada 19 Oktober 1961, sementara upacara kemerdekaannya dilaksanakan pada 1 Desember 1961. Sejak saat itu hingga sekarang, orang Papua merasa bahwa mereka telah merdeka. Mereka adalah satu Negara.
2.    Pidato Soekarno di Yogyakarta 1961 yang dikenal dengen TRIKORA, dalam perspektif Papua adalah awal pencaplokkan bangsa Papua ke Indonesia. Semenjak itu, pengiriman TNI ke Papua semakin meningkat.
3.    Perjanjian New York 1962 adalah hasil persekongkolan belaka. Dalam membuat perjanjian itu, orang Papua tidak dilibatkan secara adil. Dari hasil persengkongkolan itu, Papua diintegrasikan ke dalam NKRI.
4.    PAPERA 1969 dilaksanakan dalam tekanan, intimidasi, dan penipuan. Jumlah orang Papua yang diikutsertakan dalam pertemuan itu hanya 1025 dari 800.000 jiwa penduduk Papua saat itu. Dari mereka ditanya apakah memilih NKRI atau mau terpisah. Hasilnya, bersatu dengan Indonesia. Jelas! Jumlah ini tidak bisa mewakili seluruh pendapat orang-orang Papua.
          Senada dengan data-data Siprianus, Pendeta Yoman menambah berbagai perkembangan ketimpangan baik dari masa lalu hingga saat ini. Pendeta Yoman bereferensi pada bukunya, 2011, West Papua: Persoalan Internasional, Jayapura: Cendrawasih Press. Berbagai hal dikemukakan dalam buku ini. Secara umum, asumsi Pendeta Yoman dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya orang Papua menentukan dirinya sendiri. Sudah sejak lama, orang Papua hidup dalam tekakanan dan rasa takut. Orang-orang Papua juga adalah  manusia. Maka harkat dan martabat mereka harus dihargai dan diperlakukan sebagaimana mestinya.
           Sementara itu, Pastor Magnis-Suseno juga mengamini bahwa akhir-akhir ini terjadi pelanggaran HAM paling besar di Papua. Orang-orang dibunuh seperti binatang. Orang tidak lagi melihat manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Kenyataan ini, menurut Magnis, kiranya menjadi cermin bagi perjuangan bangsa Papua. Segala keputusan yang mereka ambil akan selalu berisiko. Maka, orang-orang Papua perlu berpikir serius dua kali sebelum sampai pada sebuah keputusan final. Pelanggaran HAM tidak perlu terjadi lagi. Jangan sampai kejadian di Timor Leste terulang lagi. Apalagi, hingga saat ini, populasi penduduk asli Papua tinggal 35%. Hal ini sangat menyedihkan karena terncam habis.
          Thaha mengatakan, saat ini TNI berjuang mati-matian untuk mempertahankan Papua karena mereka merasa berjasa membawa masuk Papua ke NKRI. Ini merupakan paham yang terus dibangun sehingga kekerasan itu tidak pernah akan berakhir.
          Jika kita memikirkannya dari sudut ‘perlakuan yang adil’ maka saya yakin kita akan sepakat bahwa orang-orang Papua pun harus diperlakukan seperti orang Jawa, Orang Jakarta, dan orang-orang dari seluruh pelosok negeri ini. Jika kita menganggab mereka sebagai bagian dari NKRI mengapa kita harus memakai senjata untuk memanggil atau mendekati mereka? Bukankah hanya binatang buruan yang perlu dihadapi dengan senjata dan pentungan? Jika orang-orang Papua adalah bagian dari bangsa ini, maka dialog dengan komitmen saling menghargai adalah mediasi atas persoalan-persoalan yang ada.

          Mungkinkan sebuah dialog damai dapat ditempatkan sebagai opsi utama dalam menyelesaikan konfik yang semakin hari semakian miningkat di Papua saat ini?

Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 11 Desember 2011

Jumat, 25 November 2011

Pedagogi Reflektif dalam Pendidikan Karakter


“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Demikian ungkapan yang sering kita jumpai. Bahkan sejak duduk di bangku SD saya sudah mengenal ungkapan ini dalam lagu “Hymne Guru” ciptaan Sartono. Waktu itu, karena lagu ini adalah salah satu lagu wajib nasional, maka kami wajib menghafal syair dan nadanya untuk ujian praktik kesenian. Agak lupa juga sih.....waktu itu saya lulus tes ga ya? Hahahahaha....pasti luluslah, makanya bisa naik kelas!
          Seperti syair lagunya “tanpa tanda” begitulah para guru selalu dilupakan. Saya sendiri baru tersadar dari penyakit kelupaan ini ketika menghadiri Seminar bertajuk “Pendidikan Karakter Bercermin pada Hidup dan Perjuangan Mgr Sugijapranata SJ dan I.J Kasimo” di aula Kolese Kanisius Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 25/11.
          Seminar yang bertepatan dengan Hari Guru itu seolah membangunkan saya dari tidur panjang ‘kelupaan’ untuk kembali mengenang jasa-jasa guru yang telah mendidik dan membentuk kepribadian saya untuk tumbuh sebagai seorang yang berkarakter.
          Kepala Sekolah SMA Kolese Kanisius Menteng, Pastor Heru Hendarto SJ dan Pastor I. Ismartono SJ yang hadir sebagai pembicara dan Kepala Sekolah SMP Kolese Kanisius Menteng, Pastor Eduard C. Ratu Dapa SJ sebagai moderator dalam seminar ini mengelaborasi secara detail hal-hal praktis yang dapat membantu anak didik untuk menemukan karakter dasarnya sebagai manusia.
          Memang benarlah bahwa seseorang yang berkarakter akan mengantarnya untuk menemukan sekaligus mempertahankan integitas dirinya. Berbagai persoalan dan pola laku amoral kriranya bersumber dari ketiadaan karakter dalam diri seseorang. Imbasnya, integritas dirinya pun dengan mudah dapat diperjualbelikan.
          Latar belakang diadakan seminar ini, menurut Pastor Heru, adalah keprihatinan pada anak-anak didik saat ini yang makin bingung untuk menentukan masa depan studinya. Mereka tidak tahu mau kuliah apa. Sementara media elektronik dan media masa menawarkan berjuta pilihan, baik itu yang positif maupun yang negatif. “Siswa kelas III SMA, misalnya, tidak tahu harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi mana. Mereka tidak tahu harus kuliah tentang apa,” tandas Pastor Heru.
          Apakah yang dimaksud Pastor Heru di sini hanya tertuju pada mereka yang anak-anak SD sampai SMA? Kalau kita setuju dengan ungkapan “on going formation”, maka dengan sedirinya kita meruntuhkan pandangan awal tadi. Bahwa pendidikan itu berlangsung terus menerus, sepanjang hidup tanpa henti, tanpa mengenal batas umur. Hanya kematianlah yang memberi garis akhir pada “on going formation” ini.
          Berhadapan dengan realita ini, Pastor Heru mengemukakan pedagogi reflektif sebagai solusinya. Artinya, seseorang perlu bersedia untuk menyingkirkan diri dari kesibukan sehari-hari agar ia dapat merefleksikan pengalaman-panglaman dan pilihan-pilihan mana yang harus dikedepankan dalam hidupnya. Ia perlu menyingkirkan diri dan mulai memikirkan dengan serius lagi tegas apa yang hendak ia capai dalam hidupnya.
          Bayangkan dinamika ini. Anda sedang duduk di tepi pantai yang sejuk dan sepi, ditemani angin laut dan riuh ombak. Berlakulah seolah-olah Anda sedang melepaskan diri dari tubuh, meletakkannya di hadapan Anda lalu mulai bertanya kepadanya. Siapakah nama Anda? Apa yang Anda rasakan saat ini? Mengapa Anda berada di sini? Apa yang sementara Anda pikirkan? Apa sajakah yang sudah Anda lakukan selama ini? Apa yang akan Anda lakukan di hari esok? Apa yang Anda ketahui tentang kehidupan? Apakah yang Anda cita-citakan? Tindakan-tindakan pilihan terbaik manakah yang akan Anda lakukan? Ke manakah arah hidup Anda nanti, setelah kita pulang dari sini? Saya yakin, setelah ini kita masih bersama, bahkan masih berjalan bersama menuju Sang Empunya!
           Selain proses dialogis dengan diri, perlu juga ada proses dialogis dengan orangtua dan guru sebagai pendidik. Manusia adalah makhluk komunikatif. Hanya dengan sifat dasarnya inilah, ia perlahan-lahan mengenal dirinya. Maka, dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup perlu ada proses dialogis dengan berbagai pihak.
          Sementara Pastor Ismartono mengatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan yang membantu anak didik untuk berimajinasi tentang dirinya. Anak didik bermimpi akan jadi seperti apa dirinya. Mimpi-mimpi itu perlahan-lahan akan tampak pada keputusan-keputusan yang real dalam keseharian.
Mgr Sugijapranata dan Kasimo sudah membuktikan itu. Kedua tokoh yang hidup di era keterbatasan pendidikan, berimajinasi tentang sebuah bangsa yang merdeka. Mereka bermimpi untuk hidup sebagai orang-orang merdeka, yang mampu bertindak secara bebas setelah melalui proses dialogis positif.
Kedua tokoh ini, meskipun hanya warga minoritas – sebagai Katolik – tetapi memiliki integritas diri yang sangat kuat dan tidak mudah terpatahkan, oleh penjajah sekalipun. Integritas diri mereka tidak mudah diperjualbelikan. Dengan demikian, keputusan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka pun tidak bisa ditawar-tawar.
 “Mari kita meneladani kedua tokoh pahlawan nasional Katolik ini,” ajak Pastor Ismartono menutup presentasinya.

Stefanus P Elu
Kebun Jeruk, 26 November 2011

Minggu, 20 November 2011

Alasdair MacIntyre: Kegiatan Bermakna dan Nilai Moral


“Dengan kegitan bermakna saya memakudkan sebuah bentuk yang koheren dan kompleks kegiatan manusia yang dibangun dalam kerjasama dengan yang lain. Melalui kegiatan bermakna tersebut, nilai-nilai internal kegiatan itu terealisasi dalam rangka mencapai standar-standar keutamaan yang sesuai sehingga manusia benar-benar mencapai keutaman” (Alasdair MacIntyre, After Virtue,University of Notre Dame,1984).

Kutipan ini mendeskripsikan beberapa unsur kegiatan bermana.

Pertama, kegiatan bermakna selalu terjadi dalam kerjasama kooperatif dengan yang lain. Sebuah kegiatan dikatakan bermakna ketika kegiatan itu dapat dirasakan baik atau bermakna oleh orang lain. Selama apa yang kita lakukan hanya bermakna pada diri kita sendiri, maka itu belum dapat dikatakan sebagai kegiatan bermakna. Unsur kooperatif yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa apapun yang kita lakukan, selalu bersentuhan dengan orang lain dan selalu dalam kerangka pemikiran orang lain.
Seribu orang bisa menilai kegiatan kita secara positif. Namun, masih bisa dipastikan bahwa orang pertama setelah seribu itu belum tentu menilainya bermakna. Ia bisa saja melihat bahwa kegiatan yang kita lakukan itu masih setengah bermakna atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Maka suatu kegiatan dikatakan bermakna bukan karena perasaan subjetif kita, melainkan persatuan perasaan obkektivitas bahwa kegiatan itu bermakna.
Dalam pandangan seperti ini nampak bahwa MacIntyre hendak meruntuhkan subjetivisme dalam kegiatan bermakna dan juga menihilkan egoisme. Dalam egoisme, apabila yang dirasakan bermakna atau disetujui oleh diri maka itu diklaim sebagai kebenaran dan langsung dilakukan. Bagi MacIntyre, egoisme bertentangan dengan makna kegiatan bermakna.
Kedua, setiap kegitan bermakna dalam dirinya mengandung nilai-nilai internal, yakni nilai-nilai yang melekat pada sebuah kegiatan dan sekaligus menentukan mutu dari kegiatan tersebut.
MacIntyre berpandangan bahwa setiap kegiatan yang kita lakukan melekat nilai-nilai kebaikan pda diri kegiatan itu. Tidak pernah kegiatan yang kita lakukan tanpa nilai. Kalau toh pada akhirnya kegitan itu tidak bermakna, berarti kita sebagai pelaku kegiatan belum bisa menjangkau nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan.
Lagi-lagi, MacIntyre ingin membedakan nilai yang ada pada setiap kegiatan dan subjektivitas saat kita melakukan sebuah kegiatan. Dalam hal ini kita biasa mengenalnya motivasi. Motivasi yang melandasi kita untuk melakukan suatu kegiatan harus bisa terpadu dengan nilai-nilai yang ada dalam sebuah kegiatan.
Bila motivasi dan nilai dalam sebuah kegiatan dapat terpadu dengan baik maka kegiatan yang kita lakukan dapat dipastikan akan bermakna. Dalam banyak hal, kita masih jatuh pada satu di antara kedua unsur ini. Lebih lagi, yang biasa kita utamakan adalah movtivasi.
Dari penjabaran ini, kita dapat melihat bahwa sikap pertama yang kita ambil ketika hendak melakukan sebuah kegiatan adalah usaha memadukan antara motivasi dan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan.
Ketiga, kegiatan-kegiatan bermakna mengandung pada dirinya sendiri nilai-nilai moral, karena tanpanya kegiatan-kegiatan bermakna tidak dapat berkembang.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan selalu berdimensi moral. Lalu pertanyaannya adalah apakah kegiatan negatif, misalnya membunuh, memiliki dimensi moral?
Bila diterawang dalam kacamata MacIntyre, maka kesalahan atau ketiadaan dimensi moral bukan pada kegiatan membunuh tetapi terletak pada motivasi dan nilai penemuan awal sebelum melakukan pembunuhan.
Kalimat “membunuh adalah dosa karena tidak dikehendaki Allah”, dengan sendirinya mengandung nilai moral di dalamnya. Tindakan membunuh adalah kesimpulan akhir dari motivasi dan ketidakmampuan menangkap dimensi moral frasa membunuh.
MacIntyre ingin mengatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kegiatan selalu mengarahkan diri pada nilai-nilai moral.

Sumber: Andre Ata Ujan, dkk (ed.), 2011, Moralitas Lentera Peradaban Dunia, Yogyakarta: Kanisius

Stefanus P Elu
Kos Bambu, 20  November 2011

Yesus Telah Mencintaimu


Gelora Bung Karno (GBK) tampak dibanjiri bolanisti yang akan menyaksikan perhelatan semifinal SEA Ggames U-23 2011 antara Indonesia VS Vietnam. Tampak beberapa orang berkaus merah atau konstum TIMNAS. Beberapa lagi mengenakan asesoris lain, seperti sal atau sticker bendera Merah-Putih pada pipi. Meski pertandingan baru akan dimulai pukul 19.00 nanti, sejak pukul 15.00 ruas jalan di depan GBK mulai ramai dengan kendaranaan bermotor dan mobil.
            Di antara sejumlah motor dan mobil yang berbaris dari arah Pakubono, Jakarta Selatan menuju GBK, saya termasuk salah satu di antara mereka. Akan tetapi tujuan perjalanan saya berbeda dengan mereka.
            Hari itu, Sabtu, 19 November 2011, saya akan datang meliput sebuah acara di Plaza Senayan X-2. Ketika saya menghubungi nomor kontak yang diberikan kepada saya, Didits (sang pemilik nomor), ia mengatakan kepada saya bahwa acara ini adalah doa karismatik yang diadakan secara khusus untuk kaum muda. “Acaranya kami sengaja adakan di Plaza Senayan dan tepat juga pada malam minggu karena yang kita mau rangkul adalah kaum muda,” ungkap Didits.
            Meski agak bingung mencari tempat berlangsungnya acara – karena baru kali ke dua memasuki tempat elit sekelas Plaza Senayan – akhirnya saya menemukannya juga. Acara sudah dimulai setengah jam yang lalu, pukul 16.00. Ketika saya muncul dan memperkenalkan diri dari HIDUP, saya diterima dengan baik dan langsung dibawa menuju ke ruang acara.
            Sekitar 300 kaum muda Katolik sudah berada di sana. Lagu-lagu pujian diserukan dengan meriah, meski bagi ukuran pendengaranku agak bising. Suasana ramai dengan lighting tampak sayup, bagai sedang berada dalam sebuah bar, club, atau diskotik.
            Berselang beberapa menit, Cecilia Dwi Hapsari alias Sisi Idol (jebolan Indonesia Idol season 3) tampil. Wah, untuk pertama kalinya saya melihat langsung orang yang akhir-akhir ini namanya melejit di dunia tarik suara karena berhasil merilis album perdanya yang bertajuk “Romantis.”
            Di sela-sela tarikan suaranya, Sisi rela berbagi pengalamannya. Karena keterbatasan dana, ia rela bekerja di club malam agar bisa mendapatkan uang untuk biaya sekolahnya. Niatnya sangat besar untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Ia bekerja seperti itu dan perlahan-lahan akrab dengan dunia itu.
            Mirip dengan pengalaman Sisi, William Erans Someling pun menuturkan hal yang sama. Semasa SMA, keluarganya mengalami broken home. Ayahnya yang adalah seorang pengusaha menduakan ibunya. “Ayah selalu bersikap kasar pada ibu, saya, dan adik-adik saya. Suatu pagi, saya mendapati Ayah sedang memukul ibu. Karena tak puas, saya balik memukul Ayah. Terjadilah perkelahian saya dan Ayah,” kenang Erans.
            Pengalaman pahit ini tak bisa dipikulnya. Sebagai pelarian, ia terlibat dalam beberapa kegiatan a-moral, seperti: drugs, narkoba, judi, seks bebas, dan clubbing. Semua itu ia jalani beberapa tahun lamanya, tetapi ia tidak mendapatkan ketenangan.
            “Suatu hari minggu, saya mengantar adik saya untuk mengikuti Sekolah Minggu di Paroki Matius Bintaro, Jakarta Selatan. Di sana saya melihat orang-orang tua bernyanyi dan memuji Tuhan dengan begitu bahagia. Saya mulai merenung: apa saja yang membuat mereka tampak selalu bahagia seperti itu?” cerita Erans.
            Di akhir sharing, kedua orang ini sepakat untuk mengatakan bahwa “Tuhan punya rencana tersendiri untuk hidup kita. Ia telah merancangnya dengan indah. Yang terpenting kita mau percaya kepadanya. Kita perlu setia kepada-Nya. Tuhan Yesus begitu baik kepada kita.”

***
            Pastor Moderator Karismatik Dekenat Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Feliks Supranto SSCC, ketika diwawancarai berkata “anak-anak muda yang mengadakan dan hadir dalam acara ini tampak sangat bersemangat. Inilah cara mereka mendekatkan diri dengan Tuhan. Kita harus menghargai ini. Karismatik adalah kekayaan Gereja. Kita perlu menghargai dan merangkul mereka.”
            Senada dengan Pastor Feliks, Koordinator PD Dekenat Tangerang, Gisela Satyani, atau yang biasa disapa Mekky, berkata “kegiatan ini digalang oleh kaum muda Katolik Dekenat Tangerang sendiri. Kita hanya mendampingi mereka. Mereka memiliki bakat-bakat yang luar biasa. Dengan kegiatan ini, kita menjaring kemampuan mereka untuk dipersembahkan kepada Tuhan.”
            Alunan musik dan lagu-lagu yang dipersembahkan sepanjang acara tampak kompak dan teratur. Semua berseru-seru untuk memuji dan memuliakan Allah yang telah mencintai manusia dengan penuh kasih. Di tingah-tengah segala kesibukan, anak-anak muda ini masih menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama dan memuliakan nama Tuhan. Tentu ini adalah sebuah kebanggaan yang luar bisa. Tentu ini adalah iman yang coba diaplikasikan dalam tindakan nyata.
            Acara yang bertajuk “Youth Blazt Tie (d) to J” ini merupakan rangkuman dari Injil Yohanes 15;5: Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbaut apa-apa.
            Seiring tajuk ini, acara ini hendak mengajak kaum  muda untuk mendekatkan diri dengan Yesus, Sang pemberi Hidup. Yesus telah mengasihi kita sehingga Ia mengundang kita untuk datang pada-Nya dan tinggal di dalam-Nya.

Stefanus P Elu
Kos Bambu, 19 November 2011

Rabu, 16 November 2011

Hidup Terus Berjalan Ke Depan


Sebenarnya masih agak malas untuk bangun pagi. Saya masih pengen tidur lebih lama. Maklum, semalam bermain futsal di Monas sampai pukul 23.30. Tubuh masih letih. Namun, ada tugas yang harus saya jalankan.
          Hari ini, saya mendapat tugas meliput Pentas Seni “Serbet” di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Minggu, 13 November 2011. Mau tak mau saya harus bangun untuk menjalankan tugas yang satu ini. Profesionalitas kerja harus tetap dijaga karena di situlah integritas diri sebagai seorang pekerja diukur.
 Ketika sebuah pekerjaan hanya dilihat sebagai sebuah kewajiban belaka, tapi dicintai sebagai sarana pengekspresian diri untuk mencapai kepenuhan sebagai manusia, apapun tantangannya, akan dihadapi dengan sukacita.
Pukul 8.40, saya berangkat dari kos menuju TMII. Saya harus mampir ke Matraman, Jakarta Utara, untuk mengambil kamus di tempat kakakku, yang akan saya titipkan ke adik saya, Edel, di Yogyakarta, Jawa Tengah. Saya memandu motor menelusuri jalanan yang mulai ramai. Dalam benak masih teringat kecelakaan yang baru saja saya alami tiga hari yang lalu. Meski tubuh belum siap benar, saya harus tetap menjaga konsentrasi.
Setelah mengambil kamus, saya meluncur cepat ke arah TMII. Acaranya dimulai pukul 10.00. Saya baru tiba, pukul 10.30. Ketika memasuki ruangan, suasana tampak ramai. Nyanyian dan permaianan yang dipandu grup Wanita Katolik Repubik Indonesia Dewan Pengurus Jakarta (WKRI – DPD Jakarta) dan Komunitas Mitra ImaDEI membuat suasana akrab semakin terasa.
Peserta yang hadir mencapai seratusan orang. Semua anggota adalah para Pekerja Rumah Tangga (PRT). Senyum dan tawa terus terpancar dari wajah mereka. Sebagian dari mereka meloncat-loncat menyaksikan teman mereka yang sementara bermain games. Menarik juga ya.
Luppy Djoko, anggota WKRI, mengatakan bahwa pentas seni ini dikhususkan untuk para pekerja rumah tangga. “Acara ini diberi nama Pentas Seni “Serbet” karena para peserta yang diundang adalah para pekerja rumah tangga. Peserta yang hadir tidak hanya Katolik. Bahkan, delapan puluh persen yang hadir saat ini adala Muslim,” urai Luppy.
Latar belakang peserta membuat mereka manamakan acara ini “serbet.” “Kita mengamabil nama itu karena sebagai pekerja rumah tangga, alat itulah yang menjadi teman akrab mereka sehari-hari. Kita sengaja mengambil nama itu supaya tidak asing bagi mereka,” tambah Luppy.
Sekitar pukul 11.00 acara berpimdah ke bagian dalam, ruang teater. Di sana master of ceremony  sudah menunggu. Para peserta langsung dipandu dengan berbagai games lagi. Rangkaian syair-syair lagu rahani dan dangdut terlontar rapi dari mulut Agung dan teman-temannya. Sembari bergoyang, ia mengundang teman-temannya untuk maju ke depan panggung. Beberapa PRT meliuk-liukan tubuh di depan panggung. Teriakan bernada semangat dan ajakan bersenang-senang terucap tanpa henti.
Acara pentas seni mencapai puncak ketika para PRT diberi kesempatan menyaksikan teater. Teater yang menceritakan nasip seorang anak yang mengikuti anjuran orang tuanya untuk bekerja sebagai PRT, disaksikan dengan hikmat. Sesekali hadirin tertawa kecil menyaksikan adegan-adegan lucu.
Namun, saya menangkap sedikit pesan yang agak berbeda. Di tengah-tengah seluruh adegan itu, ada sebuah titik balik yang bagi saya sangat menarik.
Ibu dari Serbetwati yang sebelumnya bekerja sebagai PRT di rumah Sundoro, menyuruh putrinya, Serbetwati, untuk melanjutkan pekerjaan di rumah Sundoro karena ia jatuh sakit. Beberapa lama, Serbetwati tidak bisa menahan tekanan dari  Sang Majikan. Ia harus bekerja 24 jam tanpa istirahat. Sundoro yang selalu tampil rapi dengan kacamatanya tiada henti memanggil nama Serbetwati untuk mengerjakan banyak hal.
Serbetwati pun merasa lelah. Ia tidak memiliki waktu sedikitpun untuk bergabung sama teman-temannya buat rekreasi sedikitpun. Ia harus selalu standby di rumah untuk meladeni panggilan Sundoro. Ia tampak lelah. Otaknya bekerja keras untuk keluar dari tekanan ini. Akhirnya, Serbetwati memilih kabur dari rumah, kembali ke rumah simbo-nya.
Akan tetapi, ketika di tempat simbo-nya, keputusan Serbetwati tidak diterima. Simbo-nya menangis tersedu-sedu menyesali keputusan Serbetwati. Ia tidak menyangka, putrinya akan menambil keputusan seperti itu. Menurutnya, Sundoro adalah majikan yang baik, dan itulah satu-satunya pekerjaan yang harus putrinya lakukan sebagai kesempatan untuk menyambung hidup.
Serbetwati tidak bisa menerima kenyataan ini. Matanya bulai terbuka. Bila ia mendapat kesempatan lain dan berwirausaha atau bekerja di tempat lain, maka ia akan lebih maju. Ia ingin bebas. Ia ingin mengerjakan sesuatu tanpa tekanan. Menurutnya, itulah yang akan membuat masa depannya lebih baik. Persoalannya, orientasi pemikiran seperti ini tidak bisa diterima simbo-nya. Mereka bertentangan pendapat.
Lagi-lagi, Serbetwati memilih kabur dari rumah karena pertentangan pendapat ini. Dalam pikiran Serbetwati hanyalah kebebasan. Ia ingin mengatur hidupnya sendiri. Meski simbo-nya harus sakit, ia tidak peduli karena apa yang ia pikirkan diyakini benar.
Serbetwati pergi. Di luar sana ia berjumpa dengan Bejo, kenalan lamanya sebelum ia berangkat kerja ke rumah Sundoro. Atas arahan Bejo, ia perlahan-lahan membangun visi dan misi dalam kehidupannya. Sembari merajut kehidupan barunya, berwirausaha, ia ingin membantu teman-temannya agar keluar dari tekanan bekerja sebagai PRT. Unsur-unsur ingin bebas mengalir deras dalam tubuhnya.
Misinya pun berhasil. Ia mampu menikmati hidupnya tanpa tekanan. Ia sendiri yang memenets hidupnya. Ia tampak bebas . Senyuman terurai rapi dari wajahnya. Serbetwati adalah seoarang pemenang. Meski mengawali sesuatu dengan rasa sulit, ia akhirnya mencapai impiannya.
Keputusan-keputusan yang sering kita ambil dalam hidup, kadang tampak menyakitkan. Termasuk orang-orang yang paling dekat dengan kita pun sampai merasa sakit dengannya. Tidak jarang kita ditolak oleh kerena keputusan yang kita ambil dan pertahankan. Tapi apakah kita akan berhenti di situ? Jika kita memiliki jiwa yang kuat, kita tidak akan pernah berhenti berjuang. Kita perlu tetap mengayunkan langkah ke depan tanpa ragu, tanpa dukungan sekalipun. Hidup kita berjalan ke depan, bukan ke belakang.
“Jika ibu sudah PRT, anak atau cucu jangan lagi PRT. Usahakanlah agar hidup itu semakin meningkat,” demikian kesimpulan acara dari MC.

Stefanus P. Elu
Kos Bambu,13 November 2011