Presiden Pertama Indonesia, Soekarno (alm) dalam sebuah
pidatonya pernah mengatakan, “Berikanlah kepada saya 1000 orangtua, maka saya
akan memindahkan Gunung Simeru dari akarnya; tapi berikan kepada saya 10 pemuda
yang berbakti kepada tanah air, maka saya akan mengguncang dunia”. Inilah
ungkapan puji dan puja bagi semangat juang para pemuda dan pemudi di masanya.
Soekarno menggunakan ungkapan ini untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan
cinta tanah air para pemuda-pemudi untuk bangkit melawan penjajah. Kemerdekan
menjadi tujuan mutlak yang tak bisa ditawar.
Ungkapan
Soekarno ini sangat kontekstual pada masa itu. Namun, bagi kaum muda masa kini,
apa implikasi dari ungkapan itu? Sebagai kaum muda yang melek sejarah, sudah
sepantasnya ungkapan itu menyisir hati dan jiwa kita untuk melihat laku mana
yang harus kita wujudkan dalam keseharian kita. Sekecil apapun itu, pasti
memberi efek yang sangat besar di kemudian hari. Sudahkah kaum muda masa kini
memikirkan hal ini?
Pada
zaman yang dihiasi hiruk pikuk dan “budaya bunglon” (=suka berubah sesuai
tuntutan zaman) ini, beberapa kaum muda secara eksplisit ingin
mengatualisasikan sari dari pesan Soekarno. Dengan polos, luguh, dan niat suci mereka
mengambil jarak dengan realitas, lalu meneropongnya dalam-dalam. Hasil peneropongan
mereka itu dituangkan dalam puisi-puisi yang syarat makna.
Mereka
bukan penyair ternama yang telah mencatatkan namanya di ranah kesusasteraan
Indonesia. Mereka bukan politisi yang membicarakan penderitaan rakyat sekaligus
mengeruk uang rakyat untuk pesta pora dan biaya kehidupan partai. Mereka
hanyalah insan yang lahir ke dunia untuk membawa perubahan-perubahan demi masa
depan bangsa Indonesia yang lebih baik.
Dalam
buku “Kejora yang Setia Berpijar”, ke-50 penyair muda tampil dengan satu fokus
sorotan mata pada makna “Pahlawan di Mataku”. Sembari mengusung semangat
warisan Soekarno, mereka memberi warna kepada sejarah Indonesia masa kini. Bagi
ke-50 penyair ini, seorang Pahlawan bukan hanya mereka yang mengacungkan bambu
runcing di masa Soekarno, bukan juga mereka (menteri) yang berhasil menjalankan
amanah Presiden dalam Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu I&II, tapi
termasuk pula tukang sapu jalan.
Jasa
para petani yang menyuplai beras bagi kehidupan penduduk Indonesia dan dunia,
mendapat porsi perhatian yang sangat besar dalam perspektif para penyair muda
ini. //di sisi tebing.// kedua kaki keriput, kedua tangan lemah bertarung
dengan ilalang lebat//tulang yang tak kuat bergetar berpegangan pada akar
beluar// (Karya Novita Suchi). Atau, //rembulan ini masih sama//purnama ini
masih sama//seperti duapuluh tahun lalu//saat pacul tuaku membelah tanah
ini//peluh mencair di bidang-bidang pematang// (Karya Steve Agusta). Atau
//benih-benih padi terhampar di sawah//sosok pak tua menggarap tanah//peluhnya
beradu dengan pasrah//menatap sang surya yang enggan mengalah// (Karya Melati
Pertiwi Puteri).
Selain
itu, masih ada sejuta pandang dari sisi lain yang mengangkat jasa orang-orang
yang selama ini kita anggap biasa saja. Para guru, ibu rumah tangga, sahabat
adalah objek yang disasar ke-50 penyair ini. Mereka mengahdirkan perspektif
baru. Dengan rangkaian kata, mereka berusaha menerjemahkan seruan Soekarono
tadi dalam buku “Kejora yang Setia Berpijar” yang sarat makna ini.
Mata dan
hati tak akan lelah berdecak kagum pada tarian pena para penyair muda ini.
Mereka, dengan segala kemampuan yang dimiliki, menyematkan semangat saling
menghargai, apapun profesi yang kita miliki. Lebih dari itu semua, mereka telah
mengabadikan setiap momen penglihatan mereka akan realitas yang ada di sekitar
mereka. Mata pembaca dijamin tak akan lelah untuk menyisir halaman demi halaman
dari “Kejora yang Setia Berpijar”, terbiatan FAM Publishing ini. Selamat
memasuki pertapaan penuh makna dalam tuntunan ke-50 penyair muda ini.
Steve Agusta