Senin, 21 Januari 2013

BUMI SAMBARA




Mungkinkah seorang yang menempuh pendidikan bertahun-tahun akan setia pada disiplin ilmu yang ia pelajari? Dalam kenyataannya, banyak orang malah melakukan sesuatu di luar disiplin ilmu yang menjadi keahliannya. Ada sebagian orang yang meninggalkan disiplin ilmunya demi mengejar apa yang menjadi hasrat dalam jiwanya. Ada pula yang tetap setia pada profesinya, tetapi dalam waktu yang bersamaan mengembangkan hal lain yang menjadi minat khususnya. Segala sesuatu menjadi mungkin, saat seorang mempunyai niat dan tekat yang membara untuk mengejar mimpi-mimpinya.
            Setidaknya Dr. dr. Theresia Citraningtyas adalah seorang yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang kedua tadi. Disiplin ilmu yang dipelajarinya adalah kesehatan, khususnya di bidang Psikiatri, namun kegiatan menulis sudah dicintainya semenjak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tidak tanggung-tanggung, berbagai artikel telah lahir dari tangan dokter yang meraih gelar doktoralnya di Universitas ternama Australia ini.
            Bukti karyanya yang paling terakhir adalah sebuah novel untuk kalangan remaja berjudul “Bumi Sambara”. Sebuah karya yang mengulas secara detil dan menarik peninggalan bersejarah Candi Borobudur. Dalam catatan penulisnya, ia menyebutkan, “Seperti empat tangga naik ke candi yang datang dari keempat mata angin, karya ini menelusuri Borobudur dari empat sisi. Pertama, Candi Borobudur sebagai peninggalan sejarah Bangasa Indonesia yang kaya. Kedua, Candi Borobudur sebagai bentuk pencitraan dari kisah-kisah pencerahan yang membantu manusia bercermin diri. Ketiga, Candi Borobudur sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan dan masyarakat sekitarnya, dengan berbagai potensi alam dan budaya. Dan, keempat, Candi Borobudur sebagai tempat wisata yang mempertemukan pengunjung dan peziarah dari seluruh dunia.”
            Dari catatan penulis ini, paling tidak pembaca mendapat gambaran bahwa buku ini berusaha mengulas dan menarasikan Candi Borobudur dalam perspektif Citra, demikian sapaan untuk penulisnya. Citra mengurai cerita kunjungannya ke Borobudur dengan sudut pandang seorang remaja. Mula-mula keempat remaja sebagai tokoh utama dalam cerita ini datang berlibur di Candi Borobudur. Tapi dalam ulasan selanjutnya, setiap remaja mengungkapkan kekagumannya atas Candi Borobudur dengan selipan arti bangunan, tradisi, dan budaya lokal yang ada di sekitar candi. Hal ini tentu menjadi hal yang sangat menarik, mengingat paham lokal dan budaya yang selama ini dianggap orang sebagai bahasan yang kering, toh disajikan Citra dengan penuh emosional dan menggugah.
            Selain menguraikan “masa lalu’ dari candi ini, Citra juga mengungkapkan pengharapan yang terus mengalir, meskipun usia candi ini melampaui hitugan abad. Hal itu tampak  dalam kalimat, “Dari bekas pohon itu, tumboh pohon yang baru. Lukas jadi berpikiran, betapa hidup penuh ketidakpastian, namun dalam segala apa yang habis masanya, ada harapan untuk hal baru.” Ini ungkapan mendalam yang sungguh menunjukkan jiwa yang sangat ksatria tentunya. Atau, sebuah kalimat reflektif yang berbunyi, “kalau hujan, ya bersyukur juga, langit memberi kesempatan bumi mandi dan membersihkan diri”. Menarik bukan?
            Dalam novel setebal 171 halaman ini, Citra mampu menyihir pembacanya dengan kata, diksi, dan juga nada pengharapan yang mampu membuat pembaca merasa damai setelah membacanya. Mungkin sedamai hati tatkala menyaksikan sunrise atau sunset di puncak Candi Borobudur. Anda sungguh penasaran? Jangan lupa membaca karya yang sangat mengagumkan ini, BUMI SAMBARA.

Steve Agusta
Kebun Jeruk, 21012013