Mungkinkah
seorang yang menempuh pendidikan bertahun-tahun akan setia pada disiplin ilmu
yang ia pelajari? Dalam kenyataannya, banyak orang malah melakukan sesuatu di
luar disiplin ilmu yang menjadi keahliannya. Ada sebagian orang yang
meninggalkan disiplin ilmunya demi mengejar apa yang menjadi hasrat dalam
jiwanya. Ada pula yang tetap setia pada profesinya, tetapi dalam waktu yang
bersamaan mengembangkan hal lain yang menjadi minat khususnya. Segala sesuatu
menjadi mungkin, saat seorang mempunyai niat dan tekat yang membara untuk
mengejar mimpi-mimpinya.
Setidaknya Dr. dr. Theresia
Citraningtyas adalah seorang yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang
kedua tadi. Disiplin ilmu yang dipelajarinya adalah kesehatan, khususnya di
bidang Psikiatri, namun kegiatan menulis sudah dicintainya semenjak ia masih
duduk di bangku Sekolah Dasar. Tidak tanggung-tanggung, berbagai artikel telah
lahir dari tangan dokter yang meraih gelar doktoralnya di Universitas ternama
Australia ini.
Bukti karyanya yang paling terakhir
adalah sebuah novel untuk kalangan remaja berjudul “Bumi Sambara”. Sebuah karya
yang mengulas secara detil dan menarik peninggalan bersejarah Candi Borobudur.
Dalam catatan penulisnya, ia menyebutkan, “Seperti empat tangga naik ke candi
yang datang dari keempat mata angin, karya ini menelusuri Borobudur dari empat
sisi. Pertama, Candi Borobudur
sebagai peninggalan sejarah Bangasa Indonesia yang kaya. Kedua, Candi Borobudur sebagai bentuk pencitraan dari kisah-kisah
pencerahan yang membantu manusia bercermin diri. Ketiga, Candi Borobudur sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
lingkungan dan masyarakat sekitarnya, dengan berbagai potensi alam dan budaya. Dan,
keempat, Candi Borobudur sebagai
tempat wisata yang mempertemukan pengunjung dan peziarah dari seluruh dunia.”
Dari catatan penulis ini, paling
tidak pembaca mendapat gambaran bahwa buku ini berusaha mengulas dan
menarasikan Candi Borobudur dalam perspektif Citra, demikian sapaan untuk
penulisnya. Citra mengurai cerita kunjungannya ke Borobudur dengan sudut
pandang seorang remaja. Mula-mula keempat remaja sebagai tokoh utama dalam
cerita ini datang berlibur di Candi Borobudur. Tapi dalam ulasan selanjutnya,
setiap remaja mengungkapkan kekagumannya atas Candi Borobudur dengan selipan
arti bangunan, tradisi, dan budaya lokal yang ada di sekitar candi. Hal ini
tentu menjadi hal yang sangat menarik, mengingat paham lokal dan budaya yang
selama ini dianggap orang sebagai bahasan yang kering, toh disajikan Citra
dengan penuh emosional dan menggugah.
Selain menguraikan “masa lalu’ dari
candi ini, Citra juga mengungkapkan pengharapan yang terus mengalir, meskipun
usia candi ini melampaui hitugan abad. Hal itu tampak dalam kalimat, “Dari bekas pohon itu, tumboh
pohon yang baru. Lukas jadi berpikiran, betapa hidup penuh ketidakpastian,
namun dalam segala apa yang habis masanya, ada harapan untuk hal baru.” Ini
ungkapan mendalam yang sungguh menunjukkan jiwa yang sangat ksatria tentunya. Atau,
sebuah kalimat reflektif yang berbunyi, “kalau hujan, ya bersyukur juga, langit
memberi kesempatan bumi mandi dan membersihkan diri”. Menarik bukan?
Dalam novel setebal 171 halaman ini,
Citra mampu menyihir pembacanya dengan kata, diksi, dan juga nada pengharapan
yang mampu membuat pembaca merasa damai setelah membacanya. Mungkin sedamai
hati tatkala menyaksikan sunrise atau
sunset di puncak Candi Borobudur.
Anda sungguh penasaran? Jangan lupa membaca karya yang sangat mengagumkan ini,
BUMI SAMBARA.
Steve Agusta
Kebun Jeruk, 21012013