Minggu, 11 Desember 2011

Penentuan Diri dan Dialog untuk Papua


Persoalan Papua perlahan menyita perhatian Negara Repubik Indinesia (NKRI) dan dunia. Penembakan terhadap rakyat sipil semakin meningkat tanpa ada kelompok yang mau bertanggung jawab. Tuduhan terhadap para kelompok separatis OPM semakin menguat, walau tanpa bukti-bukti otentik. Persoalan ini pun kian rumit. Masing-masing mempertahankan pola pemikirannya, seolah itulah yang paling benar. OPM perlahan mengarah ke “Penentuan Diri Sendiri”, sedangkan NKRI mengusahakan persatuan dan kesatuan sebagai satu kesatuan, se-bangsa dan se-tanah air.
Jika disinyalir lebih jauh, hembusan perjuangan orang-orang Papua untuk “menentukan diri sendiri” semakin hari semakin kencang. Mereka mengarahkan pandangan ke suatu situasi di mana mereka akan hidup tanpa tekanan dan bebas dari eksploitasi. Harapan ini tampak dalam semiar yang dilangsungkan di Ruang Seminar Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Utara, Sabtu, 10 Desember 2011.
Seminar yang bertajuk “Orang Papua dan Penentuan Sendiri” menghadirkan pembicara Ketua Ikatan Mahasisa Papua, Siprianus Bonai, Ketua Sinode Gereja Babtis Papua, Pendeta Socratez Sofian Yoman, Guru Besar STF Driyarkara Jakarta, Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, dan Sekretaris Presidium Dewan Papua, Thaha Muhammad Alhamid.
Siprianus mengemukakan secara detail dinamika perjuangan NKRI untuk mengintegrasikan Papua menjadi salah satu bagiannya.  Terdapat berbagai proses ‘abu-abu’ yang sampai saat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya:
1.    Pada 1961, Belanda membentuk Neuw Guinea Raad yang selanjutnya Papua mendeklarasikan kemerdekaannya pada 19 Oktober 1961, sementara upacara kemerdekaannya dilaksanakan pada 1 Desember 1961. Sejak saat itu hingga sekarang, orang Papua merasa bahwa mereka telah merdeka. Mereka adalah satu Negara.
2.    Pidato Soekarno di Yogyakarta 1961 yang dikenal dengen TRIKORA, dalam perspektif Papua adalah awal pencaplokkan bangsa Papua ke Indonesia. Semenjak itu, pengiriman TNI ke Papua semakin meningkat.
3.    Perjanjian New York 1962 adalah hasil persekongkolan belaka. Dalam membuat perjanjian itu, orang Papua tidak dilibatkan secara adil. Dari hasil persengkongkolan itu, Papua diintegrasikan ke dalam NKRI.
4.    PAPERA 1969 dilaksanakan dalam tekanan, intimidasi, dan penipuan. Jumlah orang Papua yang diikutsertakan dalam pertemuan itu hanya 1025 dari 800.000 jiwa penduduk Papua saat itu. Dari mereka ditanya apakah memilih NKRI atau mau terpisah. Hasilnya, bersatu dengan Indonesia. Jelas! Jumlah ini tidak bisa mewakili seluruh pendapat orang-orang Papua.
          Senada dengan data-data Siprianus, Pendeta Yoman menambah berbagai perkembangan ketimpangan baik dari masa lalu hingga saat ini. Pendeta Yoman bereferensi pada bukunya, 2011, West Papua: Persoalan Internasional, Jayapura: Cendrawasih Press. Berbagai hal dikemukakan dalam buku ini. Secara umum, asumsi Pendeta Yoman dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya orang Papua menentukan dirinya sendiri. Sudah sejak lama, orang Papua hidup dalam tekakanan dan rasa takut. Orang-orang Papua juga adalah  manusia. Maka harkat dan martabat mereka harus dihargai dan diperlakukan sebagaimana mestinya.
           Sementara itu, Pastor Magnis-Suseno juga mengamini bahwa akhir-akhir ini terjadi pelanggaran HAM paling besar di Papua. Orang-orang dibunuh seperti binatang. Orang tidak lagi melihat manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Kenyataan ini, menurut Magnis, kiranya menjadi cermin bagi perjuangan bangsa Papua. Segala keputusan yang mereka ambil akan selalu berisiko. Maka, orang-orang Papua perlu berpikir serius dua kali sebelum sampai pada sebuah keputusan final. Pelanggaran HAM tidak perlu terjadi lagi. Jangan sampai kejadian di Timor Leste terulang lagi. Apalagi, hingga saat ini, populasi penduduk asli Papua tinggal 35%. Hal ini sangat menyedihkan karena terncam habis.
          Thaha mengatakan, saat ini TNI berjuang mati-matian untuk mempertahankan Papua karena mereka merasa berjasa membawa masuk Papua ke NKRI. Ini merupakan paham yang terus dibangun sehingga kekerasan itu tidak pernah akan berakhir.
          Jika kita memikirkannya dari sudut ‘perlakuan yang adil’ maka saya yakin kita akan sepakat bahwa orang-orang Papua pun harus diperlakukan seperti orang Jawa, Orang Jakarta, dan orang-orang dari seluruh pelosok negeri ini. Jika kita menganggab mereka sebagai bagian dari NKRI mengapa kita harus memakai senjata untuk memanggil atau mendekati mereka? Bukankah hanya binatang buruan yang perlu dihadapi dengan senjata dan pentungan? Jika orang-orang Papua adalah bagian dari bangsa ini, maka dialog dengan komitmen saling menghargai adalah mediasi atas persoalan-persoalan yang ada.

          Mungkinkan sebuah dialog damai dapat ditempatkan sebagai opsi utama dalam menyelesaikan konfik yang semakin hari semakian miningkat di Papua saat ini?

Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 11 Desember 2011

Tidak ada komentar: