Jumat, 25 November 2011

Pedagogi Reflektif dalam Pendidikan Karakter


“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Demikian ungkapan yang sering kita jumpai. Bahkan sejak duduk di bangku SD saya sudah mengenal ungkapan ini dalam lagu “Hymne Guru” ciptaan Sartono. Waktu itu, karena lagu ini adalah salah satu lagu wajib nasional, maka kami wajib menghafal syair dan nadanya untuk ujian praktik kesenian. Agak lupa juga sih.....waktu itu saya lulus tes ga ya? Hahahahaha....pasti luluslah, makanya bisa naik kelas!
          Seperti syair lagunya “tanpa tanda” begitulah para guru selalu dilupakan. Saya sendiri baru tersadar dari penyakit kelupaan ini ketika menghadiri Seminar bertajuk “Pendidikan Karakter Bercermin pada Hidup dan Perjuangan Mgr Sugijapranata SJ dan I.J Kasimo” di aula Kolese Kanisius Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 25/11.
          Seminar yang bertepatan dengan Hari Guru itu seolah membangunkan saya dari tidur panjang ‘kelupaan’ untuk kembali mengenang jasa-jasa guru yang telah mendidik dan membentuk kepribadian saya untuk tumbuh sebagai seorang yang berkarakter.
          Kepala Sekolah SMA Kolese Kanisius Menteng, Pastor Heru Hendarto SJ dan Pastor I. Ismartono SJ yang hadir sebagai pembicara dan Kepala Sekolah SMP Kolese Kanisius Menteng, Pastor Eduard C. Ratu Dapa SJ sebagai moderator dalam seminar ini mengelaborasi secara detail hal-hal praktis yang dapat membantu anak didik untuk menemukan karakter dasarnya sebagai manusia.
          Memang benarlah bahwa seseorang yang berkarakter akan mengantarnya untuk menemukan sekaligus mempertahankan integitas dirinya. Berbagai persoalan dan pola laku amoral kriranya bersumber dari ketiadaan karakter dalam diri seseorang. Imbasnya, integritas dirinya pun dengan mudah dapat diperjualbelikan.
          Latar belakang diadakan seminar ini, menurut Pastor Heru, adalah keprihatinan pada anak-anak didik saat ini yang makin bingung untuk menentukan masa depan studinya. Mereka tidak tahu mau kuliah apa. Sementara media elektronik dan media masa menawarkan berjuta pilihan, baik itu yang positif maupun yang negatif. “Siswa kelas III SMA, misalnya, tidak tahu harus melanjutkan ke Perguruan Tinggi mana. Mereka tidak tahu harus kuliah tentang apa,” tandas Pastor Heru.
          Apakah yang dimaksud Pastor Heru di sini hanya tertuju pada mereka yang anak-anak SD sampai SMA? Kalau kita setuju dengan ungkapan “on going formation”, maka dengan sedirinya kita meruntuhkan pandangan awal tadi. Bahwa pendidikan itu berlangsung terus menerus, sepanjang hidup tanpa henti, tanpa mengenal batas umur. Hanya kematianlah yang memberi garis akhir pada “on going formation” ini.
          Berhadapan dengan realita ini, Pastor Heru mengemukakan pedagogi reflektif sebagai solusinya. Artinya, seseorang perlu bersedia untuk menyingkirkan diri dari kesibukan sehari-hari agar ia dapat merefleksikan pengalaman-panglaman dan pilihan-pilihan mana yang harus dikedepankan dalam hidupnya. Ia perlu menyingkirkan diri dan mulai memikirkan dengan serius lagi tegas apa yang hendak ia capai dalam hidupnya.
          Bayangkan dinamika ini. Anda sedang duduk di tepi pantai yang sejuk dan sepi, ditemani angin laut dan riuh ombak. Berlakulah seolah-olah Anda sedang melepaskan diri dari tubuh, meletakkannya di hadapan Anda lalu mulai bertanya kepadanya. Siapakah nama Anda? Apa yang Anda rasakan saat ini? Mengapa Anda berada di sini? Apa yang sementara Anda pikirkan? Apa sajakah yang sudah Anda lakukan selama ini? Apa yang akan Anda lakukan di hari esok? Apa yang Anda ketahui tentang kehidupan? Apakah yang Anda cita-citakan? Tindakan-tindakan pilihan terbaik manakah yang akan Anda lakukan? Ke manakah arah hidup Anda nanti, setelah kita pulang dari sini? Saya yakin, setelah ini kita masih bersama, bahkan masih berjalan bersama menuju Sang Empunya!
           Selain proses dialogis dengan diri, perlu juga ada proses dialogis dengan orangtua dan guru sebagai pendidik. Manusia adalah makhluk komunikatif. Hanya dengan sifat dasarnya inilah, ia perlahan-lahan mengenal dirinya. Maka, dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup perlu ada proses dialogis dengan berbagai pihak.
          Sementara Pastor Ismartono mengatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan yang membantu anak didik untuk berimajinasi tentang dirinya. Anak didik bermimpi akan jadi seperti apa dirinya. Mimpi-mimpi itu perlahan-lahan akan tampak pada keputusan-keputusan yang real dalam keseharian.
Mgr Sugijapranata dan Kasimo sudah membuktikan itu. Kedua tokoh yang hidup di era keterbatasan pendidikan, berimajinasi tentang sebuah bangsa yang merdeka. Mereka bermimpi untuk hidup sebagai orang-orang merdeka, yang mampu bertindak secara bebas setelah melalui proses dialogis positif.
Kedua tokoh ini, meskipun hanya warga minoritas – sebagai Katolik – tetapi memiliki integritas diri yang sangat kuat dan tidak mudah terpatahkan, oleh penjajah sekalipun. Integritas diri mereka tidak mudah diperjualbelikan. Dengan demikian, keputusan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka pun tidak bisa ditawar-tawar.
 “Mari kita meneladani kedua tokoh pahlawan nasional Katolik ini,” ajak Pastor Ismartono menutup presentasinya.

Stefanus P Elu
Kebun Jeruk, 26 November 2011

1 komentar:

Ignaz Wator mengatakan...

nice article. I do agree with this. I get involved in characther building and I find out it's very interesting. yes, there is a big problem to be face especially in this globalization era. education is not only tranfering the knowledge to the studnts but the most important thing is to build and to make strong the students' character to face the problems in the future.