Rabu, 16 November 2011

Hidup Terus Berjalan Ke Depan


Sebenarnya masih agak malas untuk bangun pagi. Saya masih pengen tidur lebih lama. Maklum, semalam bermain futsal di Monas sampai pukul 23.30. Tubuh masih letih. Namun, ada tugas yang harus saya jalankan.
          Hari ini, saya mendapat tugas meliput Pentas Seni “Serbet” di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Minggu, 13 November 2011. Mau tak mau saya harus bangun untuk menjalankan tugas yang satu ini. Profesionalitas kerja harus tetap dijaga karena di situlah integritas diri sebagai seorang pekerja diukur.
 Ketika sebuah pekerjaan hanya dilihat sebagai sebuah kewajiban belaka, tapi dicintai sebagai sarana pengekspresian diri untuk mencapai kepenuhan sebagai manusia, apapun tantangannya, akan dihadapi dengan sukacita.
Pukul 8.40, saya berangkat dari kos menuju TMII. Saya harus mampir ke Matraman, Jakarta Utara, untuk mengambil kamus di tempat kakakku, yang akan saya titipkan ke adik saya, Edel, di Yogyakarta, Jawa Tengah. Saya memandu motor menelusuri jalanan yang mulai ramai. Dalam benak masih teringat kecelakaan yang baru saja saya alami tiga hari yang lalu. Meski tubuh belum siap benar, saya harus tetap menjaga konsentrasi.
Setelah mengambil kamus, saya meluncur cepat ke arah TMII. Acaranya dimulai pukul 10.00. Saya baru tiba, pukul 10.30. Ketika memasuki ruangan, suasana tampak ramai. Nyanyian dan permaianan yang dipandu grup Wanita Katolik Repubik Indonesia Dewan Pengurus Jakarta (WKRI – DPD Jakarta) dan Komunitas Mitra ImaDEI membuat suasana akrab semakin terasa.
Peserta yang hadir mencapai seratusan orang. Semua anggota adalah para Pekerja Rumah Tangga (PRT). Senyum dan tawa terus terpancar dari wajah mereka. Sebagian dari mereka meloncat-loncat menyaksikan teman mereka yang sementara bermain games. Menarik juga ya.
Luppy Djoko, anggota WKRI, mengatakan bahwa pentas seni ini dikhususkan untuk para pekerja rumah tangga. “Acara ini diberi nama Pentas Seni “Serbet” karena para peserta yang diundang adalah para pekerja rumah tangga. Peserta yang hadir tidak hanya Katolik. Bahkan, delapan puluh persen yang hadir saat ini adala Muslim,” urai Luppy.
Latar belakang peserta membuat mereka manamakan acara ini “serbet.” “Kita mengamabil nama itu karena sebagai pekerja rumah tangga, alat itulah yang menjadi teman akrab mereka sehari-hari. Kita sengaja mengambil nama itu supaya tidak asing bagi mereka,” tambah Luppy.
Sekitar pukul 11.00 acara berpimdah ke bagian dalam, ruang teater. Di sana master of ceremony  sudah menunggu. Para peserta langsung dipandu dengan berbagai games lagi. Rangkaian syair-syair lagu rahani dan dangdut terlontar rapi dari mulut Agung dan teman-temannya. Sembari bergoyang, ia mengundang teman-temannya untuk maju ke depan panggung. Beberapa PRT meliuk-liukan tubuh di depan panggung. Teriakan bernada semangat dan ajakan bersenang-senang terucap tanpa henti.
Acara pentas seni mencapai puncak ketika para PRT diberi kesempatan menyaksikan teater. Teater yang menceritakan nasip seorang anak yang mengikuti anjuran orang tuanya untuk bekerja sebagai PRT, disaksikan dengan hikmat. Sesekali hadirin tertawa kecil menyaksikan adegan-adegan lucu.
Namun, saya menangkap sedikit pesan yang agak berbeda. Di tengah-tengah seluruh adegan itu, ada sebuah titik balik yang bagi saya sangat menarik.
Ibu dari Serbetwati yang sebelumnya bekerja sebagai PRT di rumah Sundoro, menyuruh putrinya, Serbetwati, untuk melanjutkan pekerjaan di rumah Sundoro karena ia jatuh sakit. Beberapa lama, Serbetwati tidak bisa menahan tekanan dari  Sang Majikan. Ia harus bekerja 24 jam tanpa istirahat. Sundoro yang selalu tampil rapi dengan kacamatanya tiada henti memanggil nama Serbetwati untuk mengerjakan banyak hal.
Serbetwati pun merasa lelah. Ia tidak memiliki waktu sedikitpun untuk bergabung sama teman-temannya buat rekreasi sedikitpun. Ia harus selalu standby di rumah untuk meladeni panggilan Sundoro. Ia tampak lelah. Otaknya bekerja keras untuk keluar dari tekanan ini. Akhirnya, Serbetwati memilih kabur dari rumah, kembali ke rumah simbo-nya.
Akan tetapi, ketika di tempat simbo-nya, keputusan Serbetwati tidak diterima. Simbo-nya menangis tersedu-sedu menyesali keputusan Serbetwati. Ia tidak menyangka, putrinya akan menambil keputusan seperti itu. Menurutnya, Sundoro adalah majikan yang baik, dan itulah satu-satunya pekerjaan yang harus putrinya lakukan sebagai kesempatan untuk menyambung hidup.
Serbetwati tidak bisa menerima kenyataan ini. Matanya bulai terbuka. Bila ia mendapat kesempatan lain dan berwirausaha atau bekerja di tempat lain, maka ia akan lebih maju. Ia ingin bebas. Ia ingin mengerjakan sesuatu tanpa tekanan. Menurutnya, itulah yang akan membuat masa depannya lebih baik. Persoalannya, orientasi pemikiran seperti ini tidak bisa diterima simbo-nya. Mereka bertentangan pendapat.
Lagi-lagi, Serbetwati memilih kabur dari rumah karena pertentangan pendapat ini. Dalam pikiran Serbetwati hanyalah kebebasan. Ia ingin mengatur hidupnya sendiri. Meski simbo-nya harus sakit, ia tidak peduli karena apa yang ia pikirkan diyakini benar.
Serbetwati pergi. Di luar sana ia berjumpa dengan Bejo, kenalan lamanya sebelum ia berangkat kerja ke rumah Sundoro. Atas arahan Bejo, ia perlahan-lahan membangun visi dan misi dalam kehidupannya. Sembari merajut kehidupan barunya, berwirausaha, ia ingin membantu teman-temannya agar keluar dari tekanan bekerja sebagai PRT. Unsur-unsur ingin bebas mengalir deras dalam tubuhnya.
Misinya pun berhasil. Ia mampu menikmati hidupnya tanpa tekanan. Ia sendiri yang memenets hidupnya. Ia tampak bebas . Senyuman terurai rapi dari wajahnya. Serbetwati adalah seoarang pemenang. Meski mengawali sesuatu dengan rasa sulit, ia akhirnya mencapai impiannya.
Keputusan-keputusan yang sering kita ambil dalam hidup, kadang tampak menyakitkan. Termasuk orang-orang yang paling dekat dengan kita pun sampai merasa sakit dengannya. Tidak jarang kita ditolak oleh kerena keputusan yang kita ambil dan pertahankan. Tapi apakah kita akan berhenti di situ? Jika kita memiliki jiwa yang kuat, kita tidak akan pernah berhenti berjuang. Kita perlu tetap mengayunkan langkah ke depan tanpa ragu, tanpa dukungan sekalipun. Hidup kita berjalan ke depan, bukan ke belakang.
“Jika ibu sudah PRT, anak atau cucu jangan lagi PRT. Usahakanlah agar hidup itu semakin meningkat,” demikian kesimpulan acara dari MC.

Stefanus P. Elu
Kos Bambu,13 November 2011

Tidak ada komentar: