Rabu, 16 November 2011

Mengorbankan Yang Paling Saya Sayangi


Semua teman kos masih terelap. Saya bangun lebih awal karena ada tugas liputan yang harus saya jalankan, Kamis 10/11/11. Perjalanan kali ini cukup jauh dan memakan tenaga. Pukul 5.20, motor pulsar 180cc saya meluncur kencang. Di luar dugaan dan kendali, saya berpindah tempat ke aspal. Motor kesayangan yang selama ini saya rawat degan penuh kasih sayang terpelantng di atas aspal.
            Seorang bapak yang baru keluar dari gang sebelah, tanpa memandang ke kanan, langsung menyalip. Saya kaget dan menekan cakram. Lutut dan siku serta telapak tangan terseret di atas aspal. Antara rasa sakit, jengkel, dan kasian pada motor bercampur jadi satu. Motor yang telah saya rawat selama tujuh bulan, akhirnya ternoda. Goresan panjang memenuhi batok depan bagian kanan motor. Rasanya tidak nyaman sama seali menyaksikan hal ini. Hati saya sangat sedih melihatnya.
            Tapi apa yang hendak dikata. Semua telah terjadi. Dalam rasa seperti itu, rasa sedikit bersyukur masih terbersit dalam hati. Ini baru awal perjalanan. Sementara, jarak yang harus saya tempuh hari ini masih sangat jauh. Saya akan menghadiri rapat Konsultasi Regional yang diadakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor. Seminar ini secara khusus dijanalankan untuk menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat saat ini mengenai Kitab Suci. Semoga kejadian ini hanya di awal. Semoga semua berjalan lancara sesuai rencana.

***

“Setelah 65 tahun merdeka sebagai bangsa, ternyata kita belum dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepelbagaian agama, suku, ras dan golongan sosial. Hal tersebut mengakibatkan tersendatnya bangsa ini dalam mencapai tujuan kesejahteraannya. Gejala ini dapat ditandai dengan berbagai peristiwa konflik sosial di berbagai tempat. Misalnya, pada awal 2011 terjadi kekerasan yang dilakukan di Cikeusik, Temanggung, dan Pasuruan. Yang lebih mengenaskan dari peristiwa itu adalah selain jatuhnya korban harta dan nyawa, juga tidak adanya kepastian bahwa peristiwa serupa tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
Selain itu, kita juga mencatat bahwa sepanjang kehadiran dan kehidupan Republik ini selama 66 tahun, negara (state) telah melakukan fungsinya dengan tidak optimal. Pembangunan sosial-ekonomi, politik, dan hukum tidak berjalan sesuai harapan rakyat. Pembangunan ekonomi melahirkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang mendalam, karena dasar filosofi, pola, dan orientasi serta wawasan pembangunan ekonomi dilandasi oleh sikap dan wawasan untuk mendapat keuntungan secara cepat (quick yielding approach).
Sikap ini mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam (mineral dan hutan) telah berlangsung tidak efisien dan berakibat pada perusakan lingkungan yang tak terkendali. Hal ini merupakan salah satu akibat dari tidak tertatanya secara sistimatis Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan lingkungan. Akibatnya, semakin banyak tanah pertanian aktif yang hilang dan diganti oleh gedung-gedung perkantoran, perumahan (sederhana, mewah, sampai super mewah), pabrik industri pengolahan, dll.
Kebijakan otonomi daerah yang tidak realistis – tidak atau kurang memperhatikan kelemahan dan kekuatan daerah yang terkait – hanya menghasilkan kebijakan politik yang memungkinkan sekelompok orang ingin dan dapat meraup keuntungan materiil di daerahnya. Semua kondisi tersebut ini diperparah dengan lemahnya penegakkan hukum. Ternyata kelemahan itu memberi peluang pada penegak hukum untuk memanipulasi bunyi aturan-aturan hukum dan peraturan daerah (Perda) untuk kepentingan dan keuntungan pribadi para birokrat daerah.
Ketidakteguhan para penegak hukum melaksanakan hukum secara adil bagi warga negara, mengakibatkan kesan adanya proses ”pembiaran” terjadinya kekacauan (chaos) sosial. Jelaslah kondisi ini merupakan indikasi besarnya hambatan bagi bangsa ini mencapai masyarakat yang adil makmur sekaligus merupakan ancaman terhadap integrasi bangsa ini.
Dalam situasi seperti itu, peran agama masih dipandang mampu memberikan rasa damai dan saling mengasihi antarsesama manusia. Untuk mengaktualisasikan niat itu, kita melihat bahwa peran dari Kitab Suci Agama-agama perlu ditingkatkan. Kita percaya bahwa dengan peningkatan pemahaman yang lebih mendalam akan isi Kitab-kitab Suci itu seharusnya membawa perdamaian di antara sesama manusia.
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap Kitab Suci, masing-masing pengikut agama yang berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal, diharapkan disintegrasi. Hal itu dapat dilaksanakan dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati dan terlebih lagi saling mengasihi dengan tidak menonjolkan perbedaan yang memisahkan kemanusiaan kita.” (Ringksan Bahan Konsulatsi Regional, Bogor, 10 November 2011).

***
            Pengalaman perjumpaan dengan macam-macam orang terjadi di konsultsi Regional ini. Banyak pendeta yang turut menghadiri kegiatan ini. Tapi, umat Katolik hanya sedikit sekali. Imam yang ikut saja tidak sampai lima orang. Jumlah yang sangat minim, bila dibandingkan dengan jumlah pendeta yang hadir.
            Narasumber dalam kegiatan ini adalah Pendeta Weinata Sairin, M.Th, Dr. Deshi Ramadhani SJ, Pendeta Dr. Nus Reimans, Pendeta Dr. Karel P. Erari, Pendeta Dr. Yongki Karman, Prof. Dr. Martin Harun OFM, Drs. Supardan, M.A, Kareasi H. Tambur, M.Th, dan Alpha Martyanta, S.E.
            Dalam acara ini Dr. Martin Harun OFM sebagai Ketua Revisi Deuterokanonika mendengarkan beberapa usulan kata terjemahan yang tepat dari bahasa Yunani ke bahasa Indonesia. Selain itu, dibahas pula berbagai tantangan yang dihadai LAI dalam usahanya menyebarkan Alkitab Ke semua umat Kristiani yang ada di seluruh pelosok Indonesia.
            Melalui kegiatan ini, LAI ingin berkonsultasi degan Gereja-gereja, lembaga-lembaga, dan umat Kristiani untuk melihat berbagai peluang dalam usaha mengaktualisasikan visinya: “Firman Allah hadir bagi semua orang dalam bahasa yang mudah dipahami agar merek dapat bertemu dan berinteraksi degan Allah, dan mengalami hidup baru.”
Drs. Supardan, M.A, Ketua LBI, mengatakan “kita umat Kristiani perlu memiliki optimism bahwa Indonesia telah diserahkan kepada kita. Mari kita tangani dengan baik. Marilah kita bekerjasama sebagai umat Allah untuk membantu saudara-saudara kita yang belum mampu membeli Alkitab.”
Stefanus P. Elu
Kos Bambu, 14 November 2011

Tidak ada komentar: