Senin, 18 Juli 2011

Bila Kehamilan Bermasalah

Siang itu ibu Cindy dan Ibu Sisil tampil dengan wajah berseri-seri dan senyuman khas yang disuguhkan bagi setiap orang yang dijumpai. Dari mata kedua ibu ini terpancar rasa bahagia karena diundang secara khusus oleh Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK) untuk berbagi cerita tentang masa lalu mereka dalam acara peluncuran buku “Bila Kehamilan Bermasalah,” di aula gereja Katolik Matraman, Sabtu 16 Juli 2011.
Acara yang digalang FKPK ini diadakan sebagai langkah praksis menanggapi masalah kehamilan yang akhir-akhir ini marak terjadi dan mendatangkan bahaya yang tidak sedikit baik bagi si ibu maupun bagi bayinya. Dalam sambutan pembuka acara Dr. Angela Abidin, MARS sebagai ketua panitia menjelaskan bahwa buku “Bila Kehamilan bermasalah” ini lebih mengulas tentang awal kehidupan seseorang (masa hamil sampai lahir). Buku ini berisi langkah-langkah nyata yang dapat dijadikan acuan bagi setiap ibu hamil dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Penulisan buku ini dimasudkan agar memberikan solusi mengatasi masalah kehamilan dan panduan bagi setiap orang untuk dapat memberikan bimbingan bagi teman, kelurga atau siapa saja yang bermasalah dengan kehamilannya.
Setelah sambutan dari ketua panitia, giliran ibu Cindy dan ibu Sisil yang bercerita. Keduanya menceritakan pengalaman masa lalu soal kehamilan mereka yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan pasangan mereka sendiri. “Waktu itu saya sedang menempuh studi sebagai seorang calon perawat di Bali. Setelah tiga bulan di sana baru saya tahu kalau saya hamil” kenang ibu Cindy. Ada keresahan dan ketakutan tersendiri. Bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada orang tuanya dan keluarga dari pasangannya. Apa yang akan dikatakan orang lain tentang dirinya. Terbersit keinginan untuk menggugurkan si kecil yang baru beranjak tumbuh.
Ibu Cindy bercerita, suatu hari ia pergi ke warnet untuk mencari informasi tentang obat yang dapat dipakai untuk menggugurkan kandungannya. Ternyata di sana ia tidak menemukan informasi yang diharapkan. Ia malah menemukan nama Dr. Angela yang biasanya memberikan bimbingan bagi mereka yang menemui masalah dengan kehamilannya. Ia lalu berusaha menceritakan perasaan dan keadaanya kepada Dr. Angela. Sejak itu ia dibimbing dan dibantu untuk tidak melakukan aborsi tetapi menyipkan hatinya untuk menerima bayi yang sementara ada dalam kandungannya. Dari bimbingan itu juga akhirnya muncul dalam hati kesadaran bahwa tindakan menggugurkan bayi itu sama saja dengan pembunuhan.
Kejadian ini memaksa ibu Cindy untuk berhenti kuliah – mengorbankan masa depannya dan kembali ke Jakarta untuk mengurusi kelanjutan hubungannya dan calon suaminya. Meski awalnya ia tidak diterima oleh keluarga sang laki-laki, namun akhirnya hubungan mereka pun dapat diresmikan.
Lain cerita dengan pengalaman ibu Sisil. Ia bercerita bahwa ketika tahu bahwa ia hamil, ibu Sisil langsung menginformasikan hal itu kepada pacarnya. Namun apa yang ia terima? Yang ia dapat hanyalah penolakan dan anjuran agar ia melakukan aborsi. Ibu Sisil dihadapkan pada sejumlah persoalan. Di satu sisi, ia tidak diterima pacar dan kelurganya. Sang pacar dan keluarganya malah mencari jalan keluar untuk menggugurkan kandungan ibu Sisil. Sang pacar tidak ingin bertanggung jawab. Di lain sisi, ibu Sisil merasakan kedekatan yang sangat dalam dengan bayinya. Tutur ibu Sisil, setiap hari selama masa pergumulan itu, ia dapat mendengar bisikan dari bayi yang ada dalam kandungannya mengatakan “mama, saya ingin dilahirkan. Saya ingin melihat wajah mama. Jangan bunuh saya.”Persaan kedekatan inilah yang menguatkan hati ibu Sisil untuk tetap mempertahankan kandungannya, meskipun ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan menjadi ¬single parent.
Setelah kedua ibu ini mengisahkan pengalaman masa lalu mereka barulah Hj. Dr. Atikah M. Zaki, MARS dan Rm. Kusmaryanto, SCJ memberikan tanngapan. Dalam tanggapannya, Dr. Atika menjelaskan bahwa dalam dunia dewasa ini banyak terjadi kehamilan yang tidak diterima, baik oleh ibu yang mengandung maupun dari keluarga. Secara umum ada dua situasi yang membawa orang akhirnya jatuh pada pilihan melakukan aborsi. Pertama, bagi mereka yang sudah berkeluarga, kehadiran anak di tengah mereka dianggab sebagai penghambat perkembangan karier. Mereka hanya ingin hidup sebagai suami-isteri tetapi tidak menghendaki anak. Kedua, salah mengatur jarak kehamilan akhirnya membawa orang untuk jatuh pada pilihan menggugurkan kandungan. Karena itu, sang isteri harus tahu menghitung siklus masa suburnya.
Setiap ibu harus dapat merasakan kedekatan antara dia dengan bayinya. Bayi itu adalah roh yang melambangkan ikatan perjanjian antara Tuhan dengan ciptaannya, tegas Dr. Atika.
Romo Kus menanggapi bahwa kebanyakan orang berbicara dari sisi ibu dan pasangannya. Kita selalu mengabaikan suara dari si bayi. Hak hidup si bayi kebayanyakan tidak dihargai sama sekali. Beliau mengatakan bahwa sejak pertemuan antara sperma dan sel telur dan terjadi pembuahan, saat itu pun telah tercipta orang yang berbeda. Ia telah menjadi makhluk yang lain. Kerena itu, ia telah mempunyai sejumlah hak asasi termasuk hak untuk hidup. Maka, segala tindakan yang berusaha untuk menggagalkan kehidupan ini adalah pembunuhan.
Banyak ibu dengan mudah melakukan aborsi tetapi pada akhirnya ia dihantui persaan bersalah dalam waktu yang lama, bahkan seumur hidup. Perempuan yang melakukan aborsi sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri. Tindakan aborsi secara tidak langsung adalah tindakan penyangkalan terhadap predikat perempuan sebagai ibu kehidupan, tegas romo Kus.
Karena itu, Romo Kus mengajak kita semua agar menjadi suara bagi mereka tak sanggup berbicara. Marilah kita melihat dari kaca mata si bayi. Ia mempunyai hak untuk hidup karena kepadanya telah diberi kehidupan. Lebih mudah mengambil janin dari rahim daripada mengambil janin dari hati nurani.

(stefanus p. elu, Kebun Jeruk 18 Juli 2011)

Tidak ada komentar: