Selasa, 05 Juli 2011

Allah yang Responsif

(Kej 41:55-57; Mat 10:1-7)

Sebuah kisah inspiratif dalam pemerintahan Raja Firaun di kerajaan Mesir. Setelah mendapatkan tafisiran atas mimpinya, oleh Yusuf, Firaun mengambil langkah lebih awal dengan menyediakan makanan untuk beberapa waktu ke depan. Meskipun ia seorang raja, status sosialnya tidak membuatnya angkuh dan selalu merasa dirinyalah yang paling benar. Terhadap seorang asing, seperti Yusuf pun ia masih menaruh percaya dan mengikuti sarannya. Keputusan untuk mendengarkan itu akhirnya membawa hasil yang sangat positif, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan semua warga kerajaannya, tetapi juga untuk negeri-negeri yang ada di sekitarnya.
Sifat antisipasi dan tanggap terhadap situasi menjadi bagian yang melekat dalam diri Firaun. Firaun menjadi pribadi yang responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Ia memiliki hati dan mata yang terbuka. Sifat-sifat inilah yang sering kabur dari pandangan Kristiani oleh gambaran sistem perbudakan yang Firaun lakukan terhadap bangsa Israel, beberapa generasi setelah Yusuf.
Yesus membuktikan keterbukaan hati dan mata-Nya, ketika hendak mengawali karya-Nya. Keterbukaan ini ditandai dengan kesediaan untuk melibatkan orang lain, dalam hal ini para murid, dalam karya pelayanan-Nya. Kedua belas murid Ia libatkan dalam merintis misi-Nya memperkenalkan Kerajaan Allah kepada dunia.
Hemat saya, kedua sikap ini, Firaun dan Yesus, menggambarkan kepada kita siapakah Allah yang sesunguhnya. Melalui kedua tokoh ini, tampak bahwa Allah tampil sebagai pribadi yang responsif terhadap kebutuhan manusia. Ia selalu menyediakan apa yang dibutuhkan manusia. Persoalannya akan selalu kembali ke kita. Apakah kita secara batin siap untuk menerimanya atau tidak? Atau, apakah mata dan hati kita cukup terbuka untuk melihatnya?
Tampilan Allah seperti ini, sekiranya dapat merutuhkan segala asumsi buruk yang sering kita rintis dalam kehidupan kita setiap hari. Ketika kita mengalami kesulitan atau kecelakaan kita serempak mempertanyakan keberadaan Allah. Allah tidak peduli, Allah penghukum, Allah tidak adil, dan sebagainya. Demikian berbagai cibiran yang kita semburkan kepada Allah yang justru berangkat dari ketertutupan mata dan hati kita. Jadi, marilah kita “berbuka ria” untuk melihat kebaikan-kebaikan Allah yang selalu dihadirkan melalui lingkungan sekitar kita. Jika kita, belum sanggup menjadi seperti Yesus, jadilah seperti Firaun!

(stefanus poto elu, Kebun Jeruk, 06 Juli 2011)

Tidak ada komentar: