Jumat, 31 Agustus 2012

Sahabat Saya Seorang Pengungsi


Sebulan yang lalu, beberapa truk mengangkut sejumlah orang kembali ke Timor Timur. Katanya mereka akan mengikuti jajak pendapat untuk menentukan masa depan mareka. Atau bersama Indonesia atau otonom. Saya tidak tahu sampai ke situ. Yang saya dengar, katanya bapak presiden Indonesia sudah memberi instruksi. Mereka hanya memilih di antara dua opsi itu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak susah juga.
            Penduduk desa saya memang paling ujung dari Kabupaten Kupang. Bersebelahan langsung dengan Citrana, Timor-Timur. Desa Netemnanu Utara namanya. Sebagian penduduk adalah masyarakat asli, sebagian lagi keturunan Oecussi, Timor-Timur, sebagian lagi pendatang dari beberapa desa tetangga. Saya sendiri yang adalah putera tunggal dalam keluarga yang diklasifikasikan sebagai pendatang. Ayah suku pendatang, menikah dengan ibu suku asli setempat. Saya dan orangtua saya tidak termasuk dalam kelompok orang yang harus memilih dua opsi bapak presiden. Sejak orangtua hingga saya, kami tetap cinta Indonesia.
            Benar. Baru dua hari, sebagain masyarakat yang berangkat untuk coblos sudah pulang. Sebagian lagi baru pulang hari berikutnya. Hari-hari setelah kepulangan mereka diisi berbagi cerita mulai dari kegiatan mencolos hingga kunjungan keluarga. Masing-masing dengan versinya sendiri. Singkatnya, dua atau tiga minggu ke depan akan diperdengarkan hasil coblosan mereka.
            Sebulan berselang dentuman senjata dan kupulan asap hitam menghiasai udara. Antara mereka yang pro Indonesia dan kontra Indonesia saling membunuh, menjarah, mengejar, dan bahkan saling membantai. Rakyat Timor-Timur berbondong-bondong meninggalkan rumah. Mereka lari. Mereka menghindari peluru para penjaga keamanan. Pengungsian dimulai. Ada yang terpisah dari orangtuanya. Ada yang terpisah dari kekasihnya. Ada yang terpisah dari adik, kakak, tante, ataupun pamannya. Semua mimpi indah coblos telah berubah.
            Rumah kami kedatangan sekitar sepuluh kepala keluarga. Kami tinggal apa adanya. Semua serba terbatas. Tempat untuk tidur, makan, masak pun seadanya. Kebersihan tampak jauh dari harapan. Jumlah penduduk desa membengkak hingga tiga kali lipat.
            Di sekolah pun sama adanya. Kepala sekolah saya mengambil kebijakan untuk menerima anak-anak pengungsi yang mau melanjutkan pendidikan. Jumlah siswa semakin bertambah. Sampai-sampai satu kelas bisa berisi 50-60 siswa. Saya yang waktu itu kelas II SMP tidak mempersoalkan hal itu. Nyatanya, saya punya lebih banyak teman. Saya bisa bermain sepak bola dengan mereka atau memancing di sungai. Sederet rekreasi ala anak kampung lainnya juga kami lakukan.
            Di rumah tetangga ada seorang gadis paroh baya. Namanya Ditta. Usianya baru genap 15 tahun. Saya tahu karena baru masuk seminggu di sekolah kami ia merayakan ulang tahunnya bersama teman-temannya. Saya juga diundang. Bila dipandang sekejap, Ditta memang tidak cantik. Tapi menurutku ia manis. Warna kulitnya sawo matang. Rambutnya ikal. Bola matanya lentik kecoklatan. Hidungnya mancung. Postur tubuh, menurut saya, ideal. Ibunya keturunan portugis. Yah, kurang lebih itulah Ditta, bila ingin dibahasakan.
            Semenjak perayaan ulang tahunnya itu, kami cukup akrab. Beberapa kali kami pergi bersama. Entah ke pantai, atau ke sawah milik kami. Bila malam menjelang, kami sering duduk dan bercanda bersama.
“Roy, malam ini kamu mau ke mana?” tanya Ditta saat kami berpapasan di sumur. Ia hendak mandi.
“Saya di rumah saja. Tidak ke mana-mana. Kenapa?”
 “Tidak. Saya hanya ingin cerita lagi seperti dua malam lalu.”
“Oh, boleh. Tapi kamu sudah menyelesaikan tugas matematikamu?”
“Tinggal beberapa nomor lagi. Mungkin baik kita selesaikan bersama, baru kita mulai cerita.”
Tugas-tugas itu cepat kami selesaikan. Sebab, kata Ditta, ia punya cerita yang lebih menarik dari dua malam lalu.
“Saya masih ingat sama paman saya. Waktu kami mengungsi ia tertinggal di rumah,” Ditta mengawali cerita.
“Memangnya kenapa sehingga dia tidak ikut?”
“Waktu itu sekitar pukul 19.00. Segerombol tentanra datang membawa senjata lengkap dan memaksa kami keluar rumah malam itu juga. Kami dibawa ke kantor desa. Di sana sudah disiapkan truk. Lalu kami dibawa ke sini.”
“Emangnya dia tidak tahu tentang kedatangan para tentara itu?”
“Om saya lagi sakit. Ia kena strocke setahun yang lalu. Sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Waktu kami dipaksa keluar rumah, ia masih tertinggal di dalam kamar. Saya dan mama panik. Yang saya ingat, adik saya yang baru tujuh tahunan itu yang berteriak-teriak ingin memberitahu tentara-tentara itu bahwa Om masih tertinggal di dalam kamar. Tapi mereka tidak menghiraukannya. Malah ketika kami sudah di atas truk, dari jauh terlihat kepulan asap hitang keluar dari bubungan rumah kami. Dugaan saya, Om ikut terbakar di dalam rumah itu.”
“Sadis juga ya.”
“Ah, kamu tidak tau Roy. Tentara itu sudah banyak membunuh orang-orang kami. Ayahnya Metty yang di bangsal sebelah itu saja sampai sekarang belum ditemukan. Kemungkinan ia dibunuh. Soalnya, waktu kami mau berangkat ke sini, ayahnya bilang ia akan menyusul besok karena barang-barang di rumah belum terangkut semuanya. Tapi toh sampai sekarang tidak ada kabar.”
Begitulah Ditta. Ia banyak berkisah tentang kampung halamannya yang kini hangus terbakar dan luluh lantah. Kadang ia bercerita sambil tertawa, kadang juga diwarnai tangis. Aku lebih banyak mendengar dari pada menanggapi. Saat ada waktu luang di sekolah pun kami memakainya untuk bercerita. Ia selalu bercerita tentang kejadian-kejadian baru.
Karena keseringan berdua, orang menyangka kami berpacaran. Tapi sebanarnya antara saya dan Ditta hanga terhubung oleh rasa ingin berbagi dan kasihan. Ditta ingin membagikan apa yang menyesakkan dadanya saat menyaksikan perlakuan para tentanra terhadap orang-orangnya dan kampung halamnnya. Sementara saya hanya merasa kasihan mendengar cerita-cerita itu. Tak pernah terbesit dalam pikiran kami bahwa semua yang terjadi itu terbingkai dalam ironi politik. Kami hanya yakin bahwa semua telah rusak, hangus, dan berantakan.
Suatu malam di awal pekan, kami bercerita hingga tengah malam. Orang-orang di rumah saya sudah pada lelap. Malam terasa sepi. Ditta masih komat-kamit tanpa henti. Di sela-sela ceritanya saya bertanya,
“Suatu saat jika semua kejadian menakutkan ini berakhir, apakah kamu akan kembali ke kampungmu?”
“Tergantung orangtua saya. Tapi saya masih takut pulang. Kan bisa saja kejadian sadis itu terulang lagi.”
“Saya pasti merindukan kamu dan cerita-ceritamu.”
“Yah, saya hanya menceritakan apa yang terjadi di kampung saya. Terima kasih kamu mau mendengarnya.”
“Oh, tentu saja ini cerita yang menarik. Saya senang mendengarnya.”
“Saya ingin punya waktu lebih banyak bersama dengan kamu.”
“Kecuali kamu tidak pulang ke Timor Timur,” jawabku disambut senyum Ditta.
Yah, senyuman Ditta selalu menggoda. Lesung pipinya selalu membuatnya dikagumi teman-teman di sekolah. Penampilannya yang selalu kalem dan tak banyak dandanan semakin mengundang tatapan lama. Tak heran banyak dari teman-teman yang ingin mendekati Ditta.
Malam itu, Ditta tidak ingin pulang ke rumahnya. Ia mau menginap di rumah saya. Meski saya meyakinkankanya bahwa semua kamar sudah terisi, ia tetap memintanya.
“Satu-satunya kamar yang masih kosong adalah kamar saya.”
“Saya tidak keberatan tidur dengan kamu.”
“Eh, bagaimana dengan orangtuamu nanti?”
“Tidak masalah. Di rumah tempat kami menginap pun sudah penuh. Tiap malam saya sama ibu tidurnya ganti-gantian antara kursi dan sebilah papan.”
“Oh, okey….. Tapi tempat tidur saya juga kecil, ukuran satu orang.”
“Atau kamu tidak suka tidur dengan saya?”
“Oh tidak Ditta. Jangan salah paham. Silakan!”
Kami berbaring berdua. Ditta masih bercerita lagi. Posisi tidur kami sangat dekat. Tanganku menyentuh pipi Ditta. Ia berhenti dari ceritanya. Ia menatap saya lebih dalam. Jarinya menggenggam tanganku cukup erat. Sebuah kecupan saya daratkan di keningnya. Ia masih terdiam. Aku juga terdiam. “Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah saya punya. Kamu bersedia mendengarkan cerita dan keluhan saya,” bisik Ditta perlahan.
Dari balik jendela kamar orang mulai lalu-lalang di jalan raya. Beberapa teman sudah mengenakan seragam lengkap melenggang ke sekolah. Saya segera melompat dari tempat tidur. Ditta tak kelihatan lagi. Setengah jam kemudian saya tiba di sekolah. Ditta belum tampak juga. Pelajaran matematika sudah dimulai. Saya masih gelisah karena Ditta masih tak kelihatan. Apakah dia kesakitan? Ataukah ia dimarahi ibunya? Ataukah ia masih ngantuk karena semalam kurang tidur? Segudang pertanyaan dibumbui rasa gelisah dan takut menghatui pikiran saya.
Hari itu Ditta tak kelihatan di sekolah. Beberapa temannya asal Timor Timur juga tak kelihatan. “Sepulang sekolah, saya akan bertanya kepadanya, mengapa ia tidak datang ke sekolah,” demikian saya meyakinkan diri agar mengurangi rasa takut dan kuatir.
Ketika lonceng berdentang panjang tanda waktu sekolah usai, saya cepat-cepat meninggalkan halaman sekolah. Di halaman Gereja yang letaknya tak jauh dari sekolah saya terlihat beberapa truk besar bertuliskan UNHCR. Orang beramai-ramai datang ke Gereja. Ada yang membawa tas, kasur, dan beberapa barang lain.
Oh, rupanya hari ini para pengungsi Timor Timur akan kembali ke kampung halaman mereka. Apakah Ditta juga? Saya berlari sekencang-kencangnya ke rumah tempat Ditta dan keluarganya tinggal. Di sana tampak sepi. Dari tetangga kami itu saya mendapat informasi, Ditta bersama keluarganya sudah kembeli ke kampung halaman mereka. Mereka diangkut dengan truk pertama, sekitar pukul 11.00 tadi.
Dengan langlah lunglai saya kembali ke rumah. Di kamar dan di tempat tidur saya yang kecil, saya membayangkan pengalaman semalam bersama Ditta. Rasanya begitu asik dan nikmat. Sebenarnya saya tak ingin semua berakhir seperti ini. Tetapi kenapa Ditta pergi begitu cepat? Apakah itu ungkapan perpisahan yang hendak ia berikan kepada saya? Mengapa ia tidak mengatakannya jauh-jauh hari? Mengapa ia diam-diam dan pergi tanpa memberitahu saya? Apakah ia tidak menyukai saya? Ataukah orangtuanya yang tidak suka agar Ditta berteman dengan saya?
Saya hanya bisa mengira-ngira mengapa Ditta terlalu cepat pergi. Tapi tak satu pun terjawab. Saya masih berbaring lemas di kamar. Suara truk terus menderu dan akhirnya menghilang. Semua kembali sepi.  
(Steve Agusta)

Tidak ada komentar: