Kamis, 09 Agustus 2012

Tak Perlu Menggeneralisir Puasa


Suatu malam sepulang kerja, aku sempat menonton siaran malam di TV yang sementara menayangkan sekelompok ormas yang melakukan operasi penyisiran warung-warung makan di Jawa Barat (Bandung dan sekitarnya). Mereka mensyaratkan warung-warung makan itu agar: pada siang hari hanya menerima pesanan makanan bungkus – tidak boleh melayani orang yang mau makan di situ. Warung makan hanya boleh beroperasi normal setelah buka puasa bersama.
Melihat tayangan ini, aku diam dan mulai bertanya dalam diri. Mengapa muncul kewajiban seperti ini? Aku memang dengan sepenuhnya menghargai sesamaku yang sedang berpuasa. Tanpa berpretensi ingin menyudutkan mereka, aku hanya ingin mengatakan bahwa mengapa puasa harus digeneralisir? Bukankah penghayatan puasa merupakan ekspresi keimanan seseorang kepada Sang Pencipta? Dan bukankah di Indonesia, atau lebih spesifik di Bandung, tinggal juga sesama kita, orang Indonesia – juga berketurunan para pahlawan Indonesia di masa lalu yang tidak berpuasa? 

Tapi aku tidak akan mempersoalkan hal ini lebih jauh dari sisi agama, karena setiap agama memang memiliki aturan dan syaratnya sendiri bagi para menganutnya, meski tak dapat dasangkal bahwa selalu ada standar minimalnya. Aku ingin mendekati hal ini dari sisi etika – salah satu cabang ilmu filsafat – khususnya etika dalam perspektif Emmanuel Levinas. Karena menurutku, pendekatan dari sudut etika akan lebih mengena karena etika adalah aturan minimal universal yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, dari semua lapisan sosial, agama, budaya, dan kepercayaan. Etiak dijabarkan dalam etiket yang menjadi kontrol sosial dalam kehidupan universal. 
“Secara negatif, etika dalam pemikiran Levinas menunjuk pada orientasi yang tidak terarah pada diri sendiri atau pada apa yang disebut oleh Levinas sebagai yang sama. Secara positif, etika atau ‘yang-etis’ berarti keterbukaan dan rasa hormat terhadap keberlainan Yang-lain. Subjek tidak terperangkap dalam diri atau pemikirannya sendiri, melainkan mengarahkan pandangan ke luar, yakni ke arah Yang-Lain dengan segala keberlainannya. Relasi etis dengan Yang-Lain terungkap dalam sikap dan tindakan yang tidak mendominasinya, melainkan membiarkannya dalam segala keberlainnya.
Lebih lanjut, ‘yang etis’ (the ethical) bukan saja berarti tidak mendominasi Yang-Lain, melainkan juga membiarkan diri diinterupsi dan dipertanyakan olehnya. Usaha untuk mendominasi manusia lain memperlihatkan sifat agresif subjek untuk menguasai Yang-Lain (yang berada di luar) dengan berbagai cara, sedangkan sikap membiarkan diri diinterupsi dan dipertanyakan orang lain menunjukkan keterbukaan subjek untuk dipengaruhi dan ditentukan oleh pihak luar yang dihadapinya.
Etika bukan saja ketika aku tidak mentematisasi Yang-Lain, tetapi juga ketika Yang-Lain menjadi obsesi aku atau mempertanyakan aku. Pemertanyaan ini tidak mengharapkan jawaban aku. Masalahnya bukan memberikan jawaban, melainkan mendapatkan diri bertanggung jawab. Aku adalah objek sebuah intensionalitas dan bukan subjeknya.
Tanggung jawab terhadap orang lain hanya mungkin dipraktikkan kalau tidak ada dominasi dari sang Aku terhadapnya, melainkan hanya ada rasa hormat dan pernghargaan terhadap keberlainannya”. (Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang lain. Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, hal 62-65).
Dari pemikiran Levinas ini menjadi jelaslah bahwa dari sudut pandang etika, baik dalam rumusan negatif maupun positif, aku tidak mempunyai alasan untuk memakasakan penyeragaman (penggeneralisiran). Artinya, aku tidak punya alasan untuk memaksa orang lain agar mengikuti apa yang sedang aku jalankan. Dalam hal ini, ketika aku berpuasa, aku tidak mempunyai alasan untuk melarang orang lain makan dan minum. Aku hanya bisa mengarahkan diri pada keterbukaan untuk menerima bahwa ‘aku berpuasa dan mereka tidak’. ‘Aku menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam sehari dan mereka bisa (boleh) makan dan minum dalam sehari’. Makan dan minumnya mereka menjadi interupsi real bagiku.
Ketika aku terbuka untuk menerima interupsi itu, maka aku terbuka untuk menerima Yang-Lain, terbuka untuk mengakui keberagaman di sekitarku. Dengan demikian tidak ada sedikitpun intensi untuk menggeneralisir apa yang sedang kujalani. Yang ada adalah hanyalah keterbukaanku pada kejadian atau real berbeda yang setiap hari bergelimpangan di sekitarku, termasuk ketika aku menjalankan iman dan ajaran agama yang aku yakini.
Ustad Miftah Fauzi Rakhmat mengungkapkan, puasa adalah kesempatan untuk berbuat baik karena pada Bulan Suci ini Tuhan melimpahkan rahmat-Nya yang berlimpah. Ia memberi, memberi, dan terus memberi. Maka, aku yang sedang berpuasa menjadikan bulan puasa, selain untuk menahan hawa nafsu dan keinginan untuk makan, juga untuk mengarahkan hati kepada Sang Pemberi.
Pengakuan dan keterarahan kepada Sang Pemberi dengan sendirinya menjadi kesempatan juga untuk mengakui bahwa pada kesempatan yang sama, Sang Pemberi juga memberi yang berbeda. Dengan demikian keterbukan kepada Sang Pemberi serta merta mensyaratkan keterbukaan kepada pemberian-Nya yang berbeda. Ketika aku tidak mau menerima pemberian yang berbeda maka aku mereduksi Sang Pemberi hanya menjadi milikku. Aku membatasi Sang Pemberi untuk memberi hanya yang sama, hanya yang aku kehendaki. Padahal dari dulu sampai sekarang, bahkan hingga nanti Sang Pemberi tidak pernah akan menjadi milik siapa-siapa. Ia hanya ada untuk Diri-Nya sendiri dan selalu terarah pada pemberian.
Alangkah indahnya bila aku pun terarah pada pemberian yang terbuka bagi semua orang dan mau menerima bahwa aku bermakna bukan hanya untuk diriku sendiri tetapi juga bagi orang-orang yang berada di sekitarku. Kebermaknaan itu terealisasi dalam sikap mau mangakui bahwa aku berpuasa, ia tidak berpuasa. Biarlah aku diinterupsi dalam ketidakpuasaannya sehingga aku semakin kuat dan tegar dalam menjalankan puasaku.

Steve_Agusta
Kos Bambu, 10 Agustus 2012

Tidak ada komentar: