Suatu malam sepulang
kerja, aku sempat menonton siaran malam di TV yang sementara menayangkan
sekelompok ormas yang melakukan operasi penyisiran warung-warung makan di Jawa
Barat (Bandung dan sekitarnya). Mereka mensyaratkan warung-warung makan itu
agar: pada siang hari hanya menerima pesanan makanan bungkus – tidak boleh
melayani orang yang mau makan di situ. Warung makan hanya boleh beroperasi
normal setelah buka puasa bersama.
Melihat tayangan
ini, aku diam dan mulai bertanya dalam diri. Mengapa muncul kewajiban seperti
ini? Aku memang dengan sepenuhnya menghargai sesamaku yang sedang berpuasa.
Tanpa berpretensi ingin menyudutkan mereka, aku hanya ingin mengatakan bahwa
mengapa puasa harus digeneralisir? Bukankah penghayatan puasa merupakan
ekspresi keimanan seseorang kepada Sang Pencipta? Dan bukankah di Indonesia,
atau lebih spesifik di Bandung, tinggal juga sesama kita, orang Indonesia –
juga berketurunan para pahlawan Indonesia di masa lalu yang tidak berpuasa?
Tapi aku tidak akan
mempersoalkan hal ini lebih jauh dari sisi agama, karena setiap agama memang
memiliki aturan dan syaratnya sendiri bagi para menganutnya, meski tak dapat dasangkal
bahwa selalu ada standar minimalnya. Aku ingin mendekati hal ini dari sisi
etika – salah satu cabang ilmu filsafat – khususnya etika dalam perspektif Emmanuel
Levinas. Karena menurutku, pendekatan dari sudut etika akan lebih mengena karena
etika adalah aturan minimal universal yang berlaku bagi semua orang tanpa
kecuali, dari semua lapisan sosial, agama, budaya, dan kepercayaan. Etiak
dijabarkan dalam etiket yang menjadi kontrol sosial dalam kehidupan universal.
“Secara negatif,
etika dalam pemikiran Levinas menunjuk pada orientasi yang tidak terarah pada diri sendiri atau pada apa yang disebut oleh
Levinas sebagai yang sama. Secara positif, etika atau ‘yang-etis’ berarti
keterbukaan dan rasa hormat terhadap keberlainan Yang-lain. Subjek tidak
terperangkap dalam diri atau pemikirannya sendiri, melainkan mengarahkan
pandangan ke luar, yakni ke arah Yang-Lain dengan segala keberlainannya. Relasi
etis dengan Yang-Lain terungkap dalam sikap dan tindakan yang tidak
mendominasinya, melainkan membiarkannya dalam segala keberlainnya.
Lebih lanjut, ‘yang
etis’ (the ethical) bukan saja
berarti tidak mendominasi Yang-Lain, melainkan juga membiarkan diri diinterupsi
dan dipertanyakan olehnya. Usaha untuk mendominasi manusia lain memperlihatkan
sifat agresif subjek untuk menguasai Yang-Lain (yang berada di luar) dengan
berbagai cara, sedangkan sikap membiarkan diri diinterupsi dan dipertanyakan
orang lain menunjukkan keterbukaan subjek untuk dipengaruhi dan ditentukan oleh
pihak luar yang dihadapinya.
Etika bukan saja
ketika aku tidak mentematisasi Yang-Lain, tetapi juga ketika Yang-Lain menjadi
obsesi aku atau mempertanyakan aku. Pemertanyaan ini tidak mengharapkan jawaban
aku. Masalahnya bukan memberikan jawaban, melainkan mendapatkan diri
bertanggung jawab. Aku adalah objek sebuah intensionalitas dan bukan subjeknya.
Tanggung jawab
terhadap orang lain hanya mungkin dipraktikkan kalau tidak ada dominasi dari
sang Aku terhadapnya, melainkan hanya ada rasa hormat dan pernghargaan terhadap
keberlainannya”. (Thomas Hidya Tjaya, Enigma
Wajah Orang lain. Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, hal 62-65).
Dari pemikiran
Levinas ini menjadi jelaslah bahwa dari sudut pandang etika, baik dalam rumusan
negatif maupun positif, aku tidak mempunyai alasan untuk memakasakan
penyeragaman (penggeneralisiran). Artinya, aku tidak punya alasan untuk memaksa
orang lain agar mengikuti apa yang sedang aku jalankan. Dalam hal ini, ketika
aku berpuasa, aku tidak mempunyai alasan untuk melarang orang lain makan dan
minum. Aku hanya bisa mengarahkan diri pada keterbukaan untuk menerima bahwa
‘aku berpuasa dan mereka tidak’. ‘Aku menahan diri untuk tidak makan dan minum
dalam sehari dan mereka bisa (boleh) makan dan minum dalam sehari’. Makan dan
minumnya mereka menjadi interupsi real bagiku.
Ketika aku terbuka
untuk menerima interupsi itu, maka aku terbuka untuk menerima Yang-Lain, terbuka
untuk mengakui keberagaman di sekitarku. Dengan demikian tidak ada sedikitpun
intensi untuk menggeneralisir apa yang sedang kujalani. Yang ada adalah
hanyalah keterbukaanku pada kejadian atau real berbeda yang setiap hari
bergelimpangan di sekitarku, termasuk ketika aku menjalankan iman dan ajaran
agama yang aku yakini.
Ustad Miftah Fauzi
Rakhmat mengungkapkan, puasa adalah kesempatan untuk berbuat baik karena pada
Bulan Suci ini Tuhan melimpahkan rahmat-Nya yang berlimpah. Ia memberi,
memberi, dan terus memberi. Maka, aku yang sedang berpuasa menjadikan bulan
puasa, selain untuk menahan hawa nafsu dan keinginan untuk makan, juga untuk
mengarahkan hati kepada Sang Pemberi.
Pengakuan dan
keterarahan kepada Sang Pemberi dengan sendirinya menjadi kesempatan juga untuk
mengakui bahwa pada kesempatan yang sama, Sang Pemberi juga memberi yang
berbeda. Dengan demikian keterbukan kepada Sang Pemberi serta merta
mensyaratkan keterbukaan kepada pemberian-Nya yang berbeda. Ketika aku tidak
mau menerima pemberian yang berbeda maka aku mereduksi Sang Pemberi hanya
menjadi milikku. Aku membatasi Sang Pemberi untuk memberi hanya yang sama,
hanya yang aku kehendaki. Padahal dari dulu sampai sekarang, bahkan hingga
nanti Sang Pemberi tidak pernah akan menjadi milik siapa-siapa. Ia hanya ada
untuk Diri-Nya sendiri dan selalu terarah pada pemberian.
Alangkah indahnya
bila aku pun terarah pada pemberian yang terbuka bagi semua orang dan mau
menerima bahwa aku bermakna bukan hanya untuk diriku sendiri tetapi juga bagi orang-orang
yang berada di sekitarku. Kebermaknaan itu terealisasi dalam sikap mau mangakui
bahwa aku berpuasa, ia tidak berpuasa. Biarlah aku diinterupsi dalam
ketidakpuasaannya sehingga aku semakin kuat dan tegar dalam menjalankan
puasaku.
Steve_Agusta
Kos Bambu, 10 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar