Selasa, 01 Februari 2011

Penegak Hukumku yang Lemah

Terik panas matahari mengiringi langkah demi langkah dalam perjalanan pulang dari tempat kerja saya dan seorang teman ke kontrakan. Obrolan dan canda tawa dengan teman ‘senasip’ (jalan kaki) menjadi penghambar sesaat terik sang raja siang. Lalu lintas bagitu ramai berkejar-kejaran tiada henti. Mereka seolah tidak menyadari bahwa saya dan teman itu sedang berusaha melawan teriknya matahari di siang itu. Keringat pun mulai membasahi wajah, leher dan akhirnya ke seluruh tubuh. Mata saya melanglang ke mana-mana memperhatikan mobil, motor, ataupun para pengenderainya Yng melintas. Tanpa kami sadari melintaslah sebuah mobil patroli polisi. Dari dalam mebil terlihat seorang polisi sedang mengenderai dengan santai. Ketika dia melewati langkah kami, kurang lebih 5 meter, ia menyalakan lampu senen kiri tanda akan menepi ke bahu kiri jalan. Berselang beberapa mobil di belakang mobil polisi itu, susul sebuah mobil truk dengan muatan yang cukup banyak. Rupanya saya dan temanku tidak tidak mungkin melihat apa yang ada di dalam bak truk itu karena tertutup terpal.
Dari depan tampak sang polisi memberi tanda mendekat kepada truk itu. Secepat kilat sang sopir truk membuka pintu dan berjalan menghampiri mobil polisi tersebut. Melihat kenyataan itu, saya berkata kepada teman saya, “dia pasti ditahan.” Mata saya memperhatikan secara cermat langkah sang sopir truk. Ternyata di genggaman tanga kanannya ada sejumlan uang. Saya dan temanku mempercepat langkah ke depan mobil polisi untuk mengatahui apa yang akan terjadi di sana. Ketika sang sopir truk menghampiri pintu mobil patroli itu, polisi yang berada di dalam menurunkan kaca mobil. Si sopir memasukan tangan kanannya ke arah polisi yang masih duduk santai di belakang kemudi.
Dalam hitungan detik polisi membuka tangan menerima isi genggapan si sopir truk, memutar kemudi dan beranjak pergi. Saya dan temanku yang hanya berdiri beberapa meter tertegun melihat kejadian itu. Kurang dari 5 menit ‘tansaksi’ itu selesai. “wah, gimana ne. Polisi kok bersikap seperti itu? Gampang disuap ya!” kata saya kepada temanku. Apa yang harus saya lakukan? Saya mengeluarkan handphione dari dalam saku jacket, jari-jariku memencet dengan begitu cepat sambil terus melihat plat nomor polisi yang tertulis di belakang mobil. “Teman, kayaknya itu data penting yang perlu diabadikan,” kata temanku.
Setelah semuanya berlalu, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Saya mulai berpikir apakah ini tindakan yang layak untuk dilakukan oleh subjek yang berpredikat penegak hukum? Apakah hukum dapat diladeni dengan secarik uang kertas hasil cetakan negara Indonesia yang tercinta ini? Apakah setiap warga negara dapat membeli hukum? Lebih dari ini, satu hal yang paling mengganjal dalam pikiran dan hati saya adalah mengapa polisi yang mengaku diri sebagai penegak aturan begitu mudahnya diperalat dengan uang? Apakah saya bisa membeli hukum, terutama ketika saya bersalah seperti si sopir truk?
Wel, mungkin orang akan menanggapi pengalaman saya ini dengan mengatakan bahwa itu hanya pengalaman kecil dan tidak dapat dijadikan fakta untuk mendapatkan kesimpulan universal terkait kelakuan polisi Indonesia. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih jauh ada fakta-fakta yang lebih besar tentang kejadian serupa. Di negeri ini, orang begitu mudah membeli hukum. Kasarnya, uang memperlancar proses hukum. Penegak hukum bertekuk lutut di bawah sang raja yang disebut uang. Manakah yang salah! Uang atau penegak hukum? Nurani manusia begitu lemah di depan uang.
Hal yang sama kiranya terjadi pula pada tindakan para polisi Indonesia ketika menjalankan tugas menertibkan lalu lintas. Mereka menertibkan lalu lintas setelah rambu-rambu lalu lintas. Contohnya, polisi mengambil posisi setelah lampu merah, bahkan bersembunyi di balik pohon ataupun di kegelapan untuk ‘menangkap’ setiap kendaraan yang masih melintas ketika tanda berhenti (lampu merah). Biasanya ada dua pilihan ketika seseorang ditahan karena melanggar larangan berhenti ini. Kita diberikan kertas atau memberikan ‘kertas.’ Artinya, ketika kita diberikan kertas dengan wajah yang sedikit berkerut mengertilah bahwa urusannya belum selesai. Kita masih harus datang ke Pengadilan Negeri untuk membereskan kesalahan kita. Sebaliknya, jika kita yang memberikan ‘kertas,’ maka urusan pun selesai. Sang polisi ‘mungkin’ dengan senyum sungging dan wajah berseri-seri pergi karena ‘kertas’ kita. Sungguh aneh.
Memikirkan kenyataan-kenyataan ini saya bertanya mengapa aturan tidak berfungsi untuk mengatur perilaku masyarakat tetapi malah berfungsi menjerat orang untuk jatuh dalam hukuman? Berdasarkan kasus-kasus ini, saya pikir, aturan bagai sebuah jurang yang berada ujung jalan (di situlah tempat berdirinya polisi) dan setiap orang yang tidak berhati-hati akan jatuh ke dalam jurang tersebut. Jika polisi mengingat bahwa aturan lalu lintas berfungsi untuk mengatur tindakan masyarakat dan mencegah masyarakat agar tidak salah dalam bertindak, maka polisi akan berdiri sebelum jurang itu (lampu merah) untuk mengingatkan agar setiap kendaraan yang melintas tidak perlu jatuh ke dalam jurang tersebut (melewati lampu merah karena masih tanda berhenti). Mengapa kita lebih tertarik untuk mengobati (menjerat denga hukuman) dari pada mencegah agar tidak terjadi pelanggaran lalu lintas?
Inilah fenomena-fenomen yang terjadi berulang-ulang di negeri ini. Menurut saya, kita belum sadar untuk memaknai aturan pada dirinya sendiri. Kita masih memandang aturan sebagai sebuah alat untuk mencapai keinginan-keinginan kita. Marilah kita menjadi manusia yang sadar akan makna aturan dan menjadikan manusia yang lain sebagai mitra kerja dalam menjalankan dan menegakkan aturan yang ada di negeri ini. Cukuplah aturan berfungsi sebagai pencegah, janganlah sebagai penjerat. (Stefanus p. elu)


Jakarta, 29 Januari 2011
Pkl. 12.05

Tidak ada komentar: