Jumat, 03 Februari 2012

Membaca: Kegiatan Urgen dan Utama

Katanya, “Seorang wartawan adalah mediator antara berita dan para pendengar dan pembacanya. Baik-tidak dan benar-salahnya para pendengar dan pembaca terhadap sebuah berita, bergantung pada bagaiamana seorang wartawan membahasakannya”.
    Aku terhentak dari pikiran praktis atas ungkapan ini. Terkadang aku menjalani keseharianku dengan begitu saja, tanpa memikirkan kebenaran ungkapan ini. Ungkapan ini mengisyaratkan kepadaku bahwa aku sedang menempati sebuah jalur komunikasi yang sangat strategis. Para pembaca dan pendengar dapat benar-benar menangkap isi berita bila aku dapat menyampaikannya secara baik.
    Selama ini, hal seperti ini rasanya tidak disadari sama sekali oleh mereka yang mengambil profesi wartawan. Mereka hanya menjalankan tugas liputan begitu saja tanpa menentukan angel mana yang benar-banar dituju. Semua berlalu begitu saja. “Toh ada editor, biarlah ia yang akan mengurusi bahasanya. Yang penting liputan, menulis sesuatu layaknya laporan lalu diserahkan kepada editor.”
    Amat disayangkan memang. Seorang wartawan tidak benar-benar mempertimbangkan apa yang hendak ia lakukan di depan sebuah peristiwa. Seolah ia hanya berfungisi sebatas transkriptor.
    Hal inilah yang hendak diubah. Untuk mencapai kematangan menyajikan sebuah berita dengan baik, “Sebaiknya seorang wartawan tidak pernah berhenti membaca.” Kegiatan membaca sendiri sangat membantu orang untuk benar-benar kritis ketika berhadapan sebuah peristiwa.
    “Membaca dapat membantu orang untuk meningkatkan pengetahuannya. Dunia membaca memang menjadi ladang ilmu yang tak bisa tergantikan. Dan itulah yang hendak saya wariskan,” ujar Amanda Putri Witdarmono dengan wajah berseri-seri.
    Tradisi membaca perlu ditanamkan kepada diri anak-anak semenjak ia masih kecil. Dengan itu mereka akan tahu dan semakin paham apa yang hendak mereka lakukan setiap harinya. Amanda memberi contoh, seorang anak kecil umur satu tahunan, bila ia dibiasakan dengan buku, ia akan paham bagaimana ia akan membuka buku itu. Perlahan-lahan ia akan mengikuti, membuka halaman buku dari kanan ke kiri.
    Tampak memang hal yang sangat sederhana. Tetapi bila disadari dengan baik maka hal sederhana itu memang memiliki nilai edukasi yang sangat tinggi.
    Selain itu, soal tulis menulis ini adalah sebuah tradisi. Maka tradisi ini perlu diketahui dan dijaga oleh orang-orang yang mengerti benar tentang tradisi. Hanya orang-orang di sekitar perintislah yang akan tahu bagaimana hal ini akan dilajutkan. Banyak tokoh nasional maupun internasional membuktikan hal ini.
Inilah secuil cerita ketika bertemu dengan P. Witdarmono di ruang kerjanya BERANI Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
***

     Budaya membaca untuk mengolah pikiran agar kritis terhadap sesuatu tampak dalam sebuah diskusi terbuka di aula belkakang Gereja Katedral Jakarta sore harinya. Dengan bertemakan politik, setiap anggota yang hadir berusaha mengemukakan pendapat dan argumentasinya seputar persiapan dan langkah-langkah praktis bagi pemilu 2014 nanti.
    Hampir sebagian besar orang Katolik Jakarta yang tergabung dengan berbagai partai politik yang ada di Indonesia saat ini berkumpul jadi satu untuk melihat kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan dilakukan. Banyak hal disoroti, mulai dari kinerja pemerintah saat ini hingga apa bekal bagi mereka yang berencana untuk maju dalam pemilu yang akan datang nanti.
    Kegiantan yang digalang oleh Kerawam Keuskupan Agung Jakarta ini bertujuan mempersiapkan kader-kader politikus Katolik yang mampu berdaya saing dalam pemilu nanti. Memang bukan soal kita merebut kekuasaan tetapi di sana kita dapat menjadi terang dan garam bagi orang-orang di sekitar kita. Itulah niat dan bekal yang pertama-tama harus dimiliki oleh seorang calon politikus Katolik.

Kos Bambu, 02 Februari 2012
stefanus p. elu

Tidak ada komentar: