Kamis, 11 Agustus 2011

Merintis Kembali Kemerdekaan

Angin laut yang bertiup cukup kencang mampu mengurangi teriknya panas matahari siang itu. Waktu menunjukkan pukul 11.00 siang, ketika kami mengunjungi beberapa nelayan di desa Moro, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Menelusuri pesisir pantai masuk ke perkampungan membuat keringat bercucuran. Beberapa nelayan memilih berteduh di teras rumah, sementara beberapa yang lain tiduran di buritan kapal di sekitar pesisir pantai.
Desa Moro terletak di pesisir jalur pantai Utara Pulau Jawa. Penduduk desa ini 100% Muslim dan mayoritas mata perncaharian mereka adalah nelayan dan buruh nelayan. Para suami sebagai pencari nafkah utama, sementara para istri di rumah mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada beberapa diantaranya menjadi buruh pengasinan ikan kecil-kecilan di sekitar TPI (tempat pelelangan ikan).
“Nelayan di sini biasanya berangkat melaut pukul empat sore hari dan baru pulang pukul empat atau lima pagi. Sepanjang malam para nelayan mencari ikan di laut lepas,” tutur Sirin, seorang nelayan sekaligus pembuat kapal. Penghasilan buruh nelayan di sini sangat ditentukan oleh jumlah ikan yang mereka tangkap. “Jika hasil tangkapannya banyak berarti kami bisa makan, sebaliknya kalau cuma sedikit atau bahkan tidak sama sekali, maka sudah lazim jika ada istilah “piring terbang” di Moro, yang tak lain adalah gadai-menggadai peralatan dapur untuk mendapatkan uang guna membeli makanan.” kata Masnu’ah seorang istri nelayan.
Kemerdekaan Baru
Masnu’ah atau biasa disapa mbak Nu’ adalah sosok perempuan yang memiliki keprihatinan dan kepedulian terhadap kondisi desanya. Selain itu dia juga aktif dalam pembelaan kaum perempuan yang seringkali menjadi korban KDRT di desanya. Bersama LPUBTN-KAS (Lembaga Pendamping Usaha Buruh, Tani dan Nelayan–Keuskupang Agung Semarang), Masnu’ah dan beberapa perempuan anggota Kelompok Puspita Bahari berupaya agar para istri nelayan / buruh nelayan memiliki usaha yang bisa membantu dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Proses demi proses telah dilewati, dari rencana usaha membuat tepung ikan, kerupuk, makanan kecil, ternak bebek, kambing, hingga ternak ikan. Ternyata tidak mudah untuk merubah budaya perempuan, istri nelayan / buruh nelayan yang telah terbiasa “menunggu” nafkah para suami.
Sejak pendampingan LPUBTN-KAS tahun 2007, baru pada tahun 2009 kelompok Puspita Bahari ini memiliki usaha pembuatan kerupuk ikan, dan produk-produk lain. Hanya 7 orang yang terlibat, namun telah memberi pengaruh positif bagi masyarakat desa secara luas dan terkikisnya budaya “menunggu”.
Saat ini kelompok Puspita Bahari juga memiliki demplot (percontohan) ternak ikan lele, dan kambing di sepetak lahan berukuran 9 x 4 m. Ternak ikan lele ini disarankan LPUBTN-KAS untuk dibudidayakan di Moro, mengingat banyaknya limbah ikan terbuang sia-sia. Ternak kambing dengan sistem pengandangan diharapkan dapat mendukung upaya bersih desa. Kambing-kambing yang diliarkan mengotori rumah penduduk dan banyak kambing yang terjangkit penyakit gudhik (penyakit gatal kulit).
Selain itu kotoran kambing yang dikandang dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik (INDUS/Inthil Wedhus). Pupuk ini akan dimanfaatkan untuk menanam sayur dalam pot yang juga sedang diupayakan di demplot Kelompok Puspita Bahari ini. Jadi dari kelompok Puspita Bahari mampu memberi pengaruh luas terhadap masyarakat desa melalui pendekatan simultan.
Berbeda dengan desa Moro, penduduk desa Panadaran, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menggarap lahan milik PERUM PERHUTANI yang dikelola dalam Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Sebelum tahun 1998, hampir seluruh lahan sekitar desa Penadaran adalah hutan Jati yang subur, mata air banyak ditemukan di sana, namun semua habis ditebang oleh masyarakat desa serta oknum aparat hingga menyisakan lahan gersang dan tandus rawan longsor dan banjir. Petani biasanya menanam jagung setiap musim (monokultur), sedangkan untuk lahan yang datar mereka bisa menanam padi ketika musim hujan. Pola tanam mereka full kimia.
Karena ketidaktahuan mereka, tanah semakin tandus, bantat, serta tidak mampu menyimpan air. Hujan menyebabkan banjir, dan tidak menyisakan air sedikitpun pada musim kemarau.
Pada 2006, LPUBTN-KAS masuk ke wilayah Gubug. Desa ini dipilih Paroki Administratif Gubug sebagai wilayah yang butuh pendampingan. Sebelumnya desa Penadaran sangat terpencil dan tidak dikenal, bahkan banyak orang enggan untuk datang ke wilayah tersebut dan sering dikatakan “pergi ke Penadaran bisa menghabiskan tujuh sandal jepit”. Memang saat itu jalan menuju desa rusak parah mengakibatkan tertutupnya banyak akses masyarakat. Berkembang banyak spekulan (tengkulak) yang memiliki modal untuk bisa menjual keluar produk hasil pertanian (jagung). Tengkulak memonopoli pasar jagung di tingkat lokal, merekalah yang menentukan harga dan menjerat petani dengan pinjaman (modal tani & uang) berbunga tinggi + 30%.
Berawal dari Pelatihan Perempuan Penggerak Sosial Ekonomi Desa yang diikuti 12 perempuan desa Penadaran pada September 2007, LPUBTN-KAS mengajak masyarakat Penadaran untuk membentuk paguyuban. Dibentuklah Kelompok Tani Usaha Bersama Ngudi Rejo yang diketuai oleh bapak V. Suparjo. Dari 24 orang anggota Katolik hingga saat ini menjadi 52 orang dari semua kalangan (tidak terbatas agama).
Dalam proses pendampingan LPUBTN-KAS sejak tahun 2007 hingga 2011 ini, mulai dirasakan banyak perubahan. V. Suparjo mengisahkan proses terbebasnya petani dari pasar monopoli tengkulak dengan dibukanya pasar keluar desa oleh LPUBTN-KAS yang disertai dengan ancaman pembakaran rumahnya serta teror kepada LPUBTN KAS. Ia juga menentukan gerakan konservasi berkelanjutan, ditunjuknya Desa penadaran sebagai desa model oleh Perhutani, perbaikan infrastruktur desa dan instalasi air bersih, gerakan anak muda dan anak-anak serta perempuan, hingga dibangunnya Gereja Stasi Penadaran yang diresmikan Mgr. J. Pujasumarta (Uskup Agung Semarang) pada 17 Juli 2011, serta Gua Maria Sendang Jati yang sebelumnya diresmikan Mgr. I. Suharyo (sekarang Uskup Agung Jakarta) pada 21 Nopember 2008.
Lain halnya dengan ibu Brigita Munirah, yang biasa disapa mbak Mun, warga desa Panadaran, menceritakan perjalanan hidupnya yang semula berjualan mie ayam kemudian beralih profesi menjadi petani. Sungguh jauh dari apa yang dibayangkan oleh sebagian masyarakat pada umumnya, yang biasanya meninggalkan profesi petani untuk sekedar menjadi buruh. Mbak Mun yakin bahwa dengan menjadi petani, dia mampu mengangkat perekonomian keluarganya meskipun diawali dengan gagal panen (karena belum tahu teknik bertani). Bahkan dalam menjalani profesi sebagai petani dia dan suaminya tetap berpegang teguh pada pengharapan akan Tuhan, karena bagi mereka Tuhanlah yang mengalirkan rejeki melalui tanaman yang dibudidayakan. Mereka pun rajin berdoa Rosario saat berada di lahan.
Proses dan Nilai
Proses yang harus dilalui dalam pendampingan/pemberdayaan tidaklah singkat dan mudah, baik untuk kelompok di desa Morodemak, desa Penadaran ataupun wilayah dampingan lainnya : Sekecer-Weleri, Gabus-Purwodadi, Pati, Sumber-Muntilan, Sriningsih-Sleman, dan Salam yang sedang mulai dan beberapa tempat lainnya. LPUBTN-KAS berusaha menemani/mendampingi dan membantu menggerakkan beberapa paroki ataupun desa. Tantangan utama adalah edukasi atau pendidikan umat dan masyarakat. Upaya lembaga ini adalah menggarap manusianya sebagai pelaku (agen perubahan) dengan berorientasi pada perubahan pola berpikir serta pola hidup agar mampu menjawab tantangan dan kebutuhan hidup mereka. Membangun solidaritas dalam paguyuban/kelompok menjadi modal dasar untuk bersama-sama “bergerak” dari situasi masyarakat yang merasa diri(-10) minus sepuluh atau bahkan (-50) minus lima puluh agar bisa menjadi masyarakat yang mandiri.
Kemandirian dalam hal (pangan, kesehatan, pendidikan) merupakan tolok ukur sebuah keberhasilan dalam pendampingan meskipun diawali dari hal yang kecil. Kemandirian adalah tolok ukur sebuah masyarakat bisa dikatakan MERDEKA. Petani yang mandiri mampu mengusahakan daya dukung yang ada disekitar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Nelayan yang mandiri mampu mencukupi kebutuhan hidupnya meski tidak melaut.
Dalam hal pendidikan, LPUBTN-KAS yang dipimpin oelh Romo FA.Sugiarta,SJ ini telah menggulirkan Program WIRABEASISWA sebagai upaya menjawab keprihatinan keterbatasan sosial ekonomi umat dan masyarakat. Untuk mengatasi degradasi mental dan moral, dalam program ini, anak-anak penerima manfaat diajak secara berkelompok menjalankan usaha yang mendukung biaya pendidikannya.
Di desa Penadaran dan beberapa wilayah dampingan lain (Sekecer-Weleri, Sumber-Muntilan) program Wirabeasiswa ini diwujudkan dalam bentuk ternak kambing. Bukan sekedar memelihara kambing, tetapi program ini bertujuan untuk menanamkan kembali nilai-nilai keutamaan hidup: tanggungjawab, kejujuran, kerja keras, disiplin, gotong royong, dan solidaritas dimana pada saat ini mulai luntur akibat gerusan perkembangan jaman.
Tidak hanya itu, untuk mendukung Program Green Priest (dimana para imam yang ditahbiskan nantinya adalah para imam yang menjadi penggerak / agen perubahan dalam kehidupan umat dan masyarakat) di Seminari Kentungan dan Mertoyudan, LPUBTN-KAS mengajak keluarga besar Seminari terlibat dalam pengelolaan lahan di Seminari untuk kemandirian sebagai wujud Pola Hidup Organik yang juga merupakan Budaya Kehidupan. Pengelolaan lahan bukan sekedar bercocok tanam, melainkan juga sebagai media para Frater untuk mengenal dan belajar tentang Keutuhan Ciptaan serta arti hidup dari berbudidaya tanah, tanaman dan ternak.
Segala upaya gerakan yang dilakukan LPUBTN-KAS secara simultan dan sinergis tersebut tidak lain adalah untuk merintis kembali Kemerdekaan yang pernah dimiliki nenek moyang petani dan nelayan, yang mampu hidup secara mandiri dengan kearifan lokalnya dan penyumbang pangan bagi kehidupan dan ketahanan masyarakat yang sangat besar. Dalam hal ini, sebagai Lembaga Gerak Keuskupan Agung Semarang, LPUBTN-KAS mencoba untuk menghadirkan dan mewujudnyatakan Ajaran Sosial Gereja dalam kehidupan umat serta masyarakat yang memerdekakan, berkeadilan dan menyejahterakan.

Tidak ada komentar: