Senin, 10 Oktober 2011

Sudah Dipukuli Suami, Malam Minta Jatah

Sore itu, Kamis 15 September 2011, aku sedang becerita dengan seorang teman. Banyak hal yang kami bicarakan. Ketika menyinggung seorang temannya, sebut saja Lia, nada suaranya mulai terdengar teduh. Aku penasaran dengan perubahan itu. Lalu, aku mengajukan beberapa pertanyaan, layaknya KPK yang sedang bertanya kepada Nazarudin soal tindak korupsi yang telah dilakukannya sehingga menyebabkan negara merugi miliaran rupiah. Tentulah aku tidak setajam itu. Aku hanya prihatin dengan cerita teman itu.
Katanya, “si Lia itu lagi nggak sreck tengan suaminya. Setiap hari mereka berantem. Lia sering dipukul suaminyai. Padahal Lia lagi hamil. Tidakan sang suami itu menyebabkan Lia sering pusing di tempat kerja. Ia mengalami tekanan luar biasa. Dan lebih ternyata lagi, tindakan sang suami itu bukan baru terjadi setelah mereka menikah. Lia sering dipukuli semenjak mereka masih pacaran. Tetapi Lia tidak berani bertindak, termasuk minta putus atau membatalkan rencana pernikahan merka sejak awal. Lia tidak melakukan itu karena takut tidak ada laki-laki yang suka sama dia lagi. Maklum Lia pernah “salah dalam pergaulan” sehingga memiliki anak satu”. Aku mulai bepikir. Pertama, kok tega ya sang suami memukuli istrinya. Padahal setiap malam mereka tidur bersama, bahkan berhubungan suami-istri lagi. Aku dengan berani mengatakan hal ini karena orang tidak pernah sadar akan kenyataan ini. Ketika konstruksi pemikiran masyarakat mengelompokkan beberapa hal sebagai tabu dan tidak layak dibicarakan di depan umum, justru di sanalah lumbung kejahatan. Karena orang takut membicarakannya, meski di sana terjadi kejahatan pun urnung untuk dibahas. Kejahatan dalam konteks ini pun menjadi tabu untuk dibicarakan. Kebenaran harus menyusup ke semua lini tanpa mengenal tabu. Kedua, Lia tidak berani mengambil keputusan, meski ia harus menanggung penderitaan. Tentu perceraian bukanlah pilihan terbaik saat ini, karena keduanya telah diikat dengan hukum agama(resmi dan diakui publik) . Dan hunkum dalam agamaku, katolik, perceraian dilarang. Yang aku persoalkan di sini adalah tindak kekerasan itu berlangsung semenjak mereka masih pacaran. Mengapa Lia tidak mau mengambil keputusan saat itu. Apa gunanya melanjutkan hubungan ke tingkat pernikahan kalau pada akhirnya hanya mendatangkan penderitaan? Menderita bukan hanya fisik tetapi secara psikis pula. Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan si anak yang akan dilahirkan. Secara psikis, tekanan yang dialami seorang ibu yang sementara hamil akan sangat member pengaruh terhadap perkembangan anak. Aku pikir masalah seperti ini banyak terjadi di masyarakat. Tetapi hal itu tidak berani dikomunikasikan. Seseorang takut tidak akan memiliki pasangan. Ia takut tidak akan ada yang suka dengan dia lagi. Ia takut dengan apa yang ia bayangkan di masa depan. Ironis memang. Asumsiku, inilah proyeksi tanpa dasar. Sesuatu di pasang di hadapan lalu ia sendiri kembali takut dengannya. Ia takut dengan bayangannya sendiri. Ia tidak berani mengambil keputusan ketika berhadapan dengan bayangannya. Tentu Anda akan menyanggah, bagaimana kalau bayangan itu pada akhirnya akan menjadi kenyataan? Ya, aku akan menjawab dengan penuh bangga bahwa sebenarnya apa yang ingin dicari? Bukankankah setiap manusia mengimpikan kebahagiaan dalam hidupnya? Apalah artinya bila ia berani melakukan sesuatu yang hanya akan mendatangkan penderitaan luar biasa? Aku harus berdiri di atas diriku sendiri. Aku harus teguh pada keutusanku. Inilah kedewasaanku. Di sinilah kematangan diriku terukur. Di sinilah pola kedewasaanku terbentuk. Aku tidak akan melakukan sesuatu jika pada akhirnya aku hanya menerima penderitaan tiada akhir. Aku tidak akan sekonyol itu. Aku manusia bebas. Kebebasanku telah diberikan oleh Tuhanku semenjak tangisan pertama menghentak bumi. Maka, aku berdiri di atas bahkan berdampingan dengan kebebasanku itu. Menurutku, manusia layaknya demikian. Masa depannya tidak harus dikendalikan orang lain. Orang lain hanya menjadi atribut yang dapat membantu kita untuk menemukan keputusan. Tentu dengan hasil matang dan baik. Semuanya akan kembali ke pribadi masing. Kenyataan yang dialami Lia menjadi kritik sekaligus kartu merah bagi kita semua. Berpikirlah secara matang sebelum mengambil keputusan. Lagi, percayalah pada apa yang Anda yakini benar dan lakukanlah itu dengan kemitmen setinggi lagit. Sehingga, ketika tidak dapat mencapai langit, paling tidak masih melayang-layang di atas awan. Selamat mencoba!!!!!!!!

Stefanus P. Elu, Kos Bambu, 08 Oktober 2011

Tidak ada komentar: