Selasa, 18 Oktober 2011

Akhir Hayat di Oasis Lestari

Motor Yamaha MX dan Bajaj – Pulzar meninggalkan pelataran Kantor Redaksi HIDUP. Hari itu, saya, Mas Yoga dan Mas Agung akan pergi ke Rumah Oasis Lestari di Jl. Gatot Subroto Km 7-8, Jatake, Tangerang. Rumah Oasis Lestari adalah rumah kremasi yang melayani umat ataupun masyarakat yang ingin mengkremasi keluarganya yang telah meninggal. Pembicaraan tentang kremasi memang agak rumit. Apalagi bila hal itu dibawa ke dalam konteks Gereja Katolik. Menurut informasi yang sempat saya kumpulkan, dalam perkembangan Gereja sendiri berlangsung diskusi yang sangat alot mengenai tema ini. Pada periode waktu tertentu, kremasi dilarang dalam Gereja Katolik. Tetapi, pada periode tertentu kremasi malah ‘diperbolehkan’. Dan sampai sekarang memang Gereja Katolik menerima kremasi (KHK 1176 #3). Akan tetapi persoalan lain muncul lagi. Setelah kremasi, abu jenasah boleh dilarung/ditabur atau tidak? Itulah persoalan yang sementara mau digali. *** Kami memasuki pelataran Oasis Lestari. Lahan seluas 4,8 hektar itu memang menarik. Bangunannya khas dan indah. Ketika kami mendekati rumah kremasi, ada beberapa mobil dan motor yang berjejer di sana. Memang, hari itu, Jumat 14 November 2011, lagi diadakan kremasi. Kami pun masuk dan menemui petugas yang ada di sana. Setelah bertemu di ruang tamu dan mengutarakan maksud dan tujuan kami, kami pun diantar menemui orang yang menangani Krematorium. Epesius Sirait sedang sibuk melayani orang-orang yang datang untuk mengonfirmasi tentang jasat keluarga mereka yang sementara dikremasi. Akan tetapi, syukurlah bahwa Epesius masih menyempatkan waktunya untuk bertemu dengan kami. Di ruang kerjanya yang berukuran kira-kira 5x4 centimenter kami pung memulai obrolan. Banyak hal dikemukakan oleh Epesus. Secara umum ia mejelaskan “jumlah jasat yang dikremasi di Oasis Lestari dalam setahun bisa mencapai 1200 jasat. Jadi, rata-rata sebulan, mereka bisa mengkremasi 100 jasat”. Mmmmmm…..banyak juga ya, yang meninggal dalam sebulan. Di Oasis Lestari tersedia 4 oven kremasi. Ada satu oven yang berukurang besar. “Sekali kremasi bisa empat jasat. Semua sudah memakai sistem komputerisasi”, lanjut Epesius. Lama pembakaran sekitar 60 – 90 menit, tergantung pada ketebalan peti yang dipakai. Di bawah arahan Epesus kami diberi kesempatan untuk masuk sampai ruang kremasi. Dua oven lagi aktif membakar. Dari kaca kecil berdiameter 3 centimeter kami menyempatkan diri mengintip jasat yang sementara terbakar dalam oven. Nyala api yang sangat besar dan debu yang beterbangan di dalam oven. Hehehehehehe….seru banget tau. Epesus juga menambahkan bahwa daari jumlah jasat yang dikremasi di Oasis Lestari selama setahun, 50 persen adalah umat Katlik. Dan lagi, 70 persen dari jasat yang dikremasi, dilarung ke laut. Rumah Kremasi yang dibangun dengan Dana Pensiunan dari KWI ini juga menyediakan fasilitas untuk mereka yang mau melarung abu jenasah ke laut. Ada juga beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Ada yang memang melarung abu jenasah ke laut setelah kremasi. Ada juga yang memilih untuk menitipkan abu jenasah di rumah abu atau kolumbarium milik Oasis Lestari. Sewa ruang penyimpanan abu berukuran satu monitor itu setahun Rp. 4.500.000. Dan, ada juga yang abunya di simpan di kolumbarium, tetapi arang atau abu dari peti jenasah itulah yang dilarung. Pokoknya ada yang berpandangan “harus ada yang dilarung”. Berkaitan dengan praktik pelarungan ini, Epesus sebenarnya kurang terlalu setuju. Menurutnya, bila kita melarung abu atau arang dari peti jenasah ke laut, yang kita buang adalah karbon. Nah, ikan akan memakan karbon itu, dan kitalah yang akan memakan ikan tersebut. Dengan demikian kita memakan karbon. Hahahahahaha……tambah penyakit. Hal inilah yang menjadi keberatan bagi Epesus. Epesus juga menambahkan bahwa ketika ia menyempatkan diri berbicang-bincang dengan mereka yang mengkremasi jasat keluarga yang sudah meninggal, mereka mengatakan bahwa ketika mereka melarung abu jenasah ke laut, maka mereka akan mudah untuk mengingat keluarganya. “Tinggal pergi ke laut, entah di laut mana aja, kita bisa berdoa bagi anggota keluarga yang telah dilarung abu jenasahnya. Daripada dikubur, kita hanya bisa pergi ke kubur. Melarung abu jenasah juga berarti jasat itu akan bersatu dengan alam semesta” pungkas Epesius. Kebanyakan jenasah datang dari daerah Jakarta dan Bogor. Stefanus P. Elu, Kos Bambu, 14 Oktober 2011

Tidak ada komentar: