Senin, 24 Oktober 2011

Ucapan Ultah dari Alam Kapuas


Pukul 8.30 WIB kami bertolak dari belakang rumah Heribertus Unggang. Sampan kecil terombang-ambing di riak-riak Sunagi Kapuas. P. Yusup Gunarto, SMM yang duduk tepat di belakang saya dengan rinci menjelaskan setiap perkampungan yang kami lalui. Sementara itu, Unggang duduk dengan mata terus tertuju ke depan. Matanya menilik dengan cermat jalur-jalur yang akan kami lalui.
            Di hadapan kami tergeletak batang-batang kayu berdiameter 50-75 sentimeter. Menurut P. Gun, kayu itu adalah hasil “curian” PT. Toras. Dua tahun yang lalu, Pastor Gun harus berjuang mati-matian untuk menolak PT Toras ini yang masuk untuk mengambil kayu. Masyarakat sekitar memang menolak. Tetapi amat disayangkan bahwa Pemerintah Daerah dengan tangan terbuka menerima kehadiran PT ini. Mereka dengan mata terbelalak memubuka tangan karena hati dan mata mereka telah ditutup. Dengan usaha dan kerja keras masyarakat dengan arahan P. Gun, akhirnya PT tersebut dapat diusir keluar dari tempat itu.
            Panas terik matahari makin mengukus kulit. Pastor Gun masih setia menemani dengan penjelasan-penjelasannya yang menarik tentunya. Terkadang badan terasa lelah. Kami hening sejenak. Masing-masing masuk ke dunianya sendiri alias tidur. Tapi akhirnya tersadar juga oleh karena benturan perahu pada tumpukan basir dan batu yang bersiweran di mana-mana, buangan tambang emas liar di DAS Kapuas.
            Matahari mulai condong ke barat. Perjalanan masih sangat jauh. Jalur yang akan dilewati pun sangat curam. Maka, kami pun memutuskan untuk menginap di Stasi Nanga Lapung, Paroki Sayut, Kabupaten Kapuas Hulu. Malam yang lumayan dingin cukup untuk membuat nyenyak istirahat kami. Ditambah lagi tubuh yang sudah letih dimangsa perjalanan sepanjang hari.

***

Keesokan harinya, Rabu, 28 September 2011, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kami pun membereskan barang bawaan. Semua tas dimasukkan ke dalam kantong pelastik. Riam Sungai Kapuas yang kami lalui nanti akan semakin berat. Riam di Batu Tungku, Batu Lintang Kapuas, dan Riam Bakang semakin keras.
            Bagai badai yang sering diceritakan oleh para Pengingjil Sinoptik, begitulah kami hari itu. Berselang beberapa jam perjalanan, sampailah kami di Riam Bakang. Tempat inilah yang sering diceritakan sebagai tempat yang berbahaya. Ketika sampai di tempat ini, tidak ada pilihan yang lain selain turun dari perahu kecil dan berjalan kaki. Para motoris yang sudah lincah dan terampil mulai mengarahkan perahu ke cela-cela batu. Mereka pun dengan gesit menarik perahu kecil yang membawa barang-barang kami.
            Yang lebih menarik lagi, di sisi kiri dan kanan alur DAS ini, buaya kecil dan besar tidur-tiduran di pasir atau di atas batu. Maklum air sungai yang terasa dingin memang membutuhkan kesempatan untuk menghangatkan tubuh.
            Batu-batu ukuran raksasa beridiri kokoh di sepanjang sungai. Pohon-pohon berdiameter satu sampai dua meter berjejer rapi di sela-sela batu. Udara segar dan naungan menyejukkan sekucur tubuh. Di bawah pohon-pohon itu air tampak biru. Hehehehehe……semakin menakutkan.
            Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya kami tiba di Tanjung Lokang. Inilah tempat tujuan perjalanan kami. Di rumah kecil itu tertulis “Tamu Wajib Lapor”. Perahu kecil yang membawa kami pun merapat ke pinggir sungai, beberapa rumah setelah tulisan itu. Barang-barang kami turunkan dan dibawa ke Rumah HErmanus Bhurong. Di sinilah kami menginap.
            Selama dua hari kami tinggal di bersama keluarga Bhurong. Makanan utama adalah nasi. Sedangkan lauknya adalah babi hutan dan ikan air tawar (sungai). Memang demikian. Mayoritas mata pencaharian masyarakat di sini adalah petani. Uniknya petani di sini masih memakai sistem tradisional. Selain ladang berpindah-pindah, mereka pun masih mengandalkan kegiatan berburu sebagai lauk mereka setiap hari. Mereka pun tidak mengenal sistem jual-beli. Barter atau saling berbagi adalah ideologi yang mereka pegang teguh. Sistem pengolahan lahan secara kolektif semakin menegaskan hal ini.
            Mereka menebas hutan secara berkelompok dan gotong royong. Hal ini akan berlanjut saat menanam, menyabit, dan bahkan saat mengangkut hasil panen ke rumah. Semua dilakukan secara bersama. Suku yang paling dominan di Tanjung Lokang ini adalah suku Bukat. 



***
            Jumat, 30 September 2011 tepat di ulang tahun saya yang ke 26, kami kembali ke Putussibau. Perjalanan turun ini tentu akan sangat cepat. Selain laju motor perahu, ditambah lagi arus air sungai yang cukup deras. Hati tentu terasa senang karena akan cepat tiba. Tapi ada risiko yang sangat besar. Perahu akan dengan mudah tenggelam kalau menabrak batu-batu kokoh yang ada di sekitar aliran air sungai. Semua ini tergantung pada kelincahan sang motoris dan pemegang haluan perahu.
            Bagai sedang berlomba arum jeram, perahu meliuk-liuk di antara baru-batu. Tongkat di tangan sang pemegang haluan dipijakkan ke samping kanan dan kiri perahu silih berganti, guna menghidarkan perahu sengkeraman batu-batu kokoh dan benturan batang-batang pohon raksasa. Meski harus basah kuyup oleh percikan air, saya tidak lupa mengabadikan peristiwa ini. Kamera Canon pinjaman dari kantor terus saya genggam erat. Bidikan demi bidikan mengalir terus. Bagi saya, petualangan ini penting dan harus diabadikan.
            Menjelang sore, kami memasuki DAS Kapuas. Air sungai tampak tenang. Beberapa perahu petani yang baru saja pulang dari ladang semakin menambah keindahan Kapuas sore itu. Ada yang masih menebar jala untuk menangkap ikan. Anak-anak kecil bermain sampan di pinggiran sungai. Orang-orang berjejer di sepanjang sungai untuk mencuci pakaian atau mandi. Ada juga yang hanya jalan-jalan untuk menikmati udara segar di sore hari. Indah memang.
            Matahari yang tampak kemerahan di ufuk barat, memberikan keteduhan bagi yang sedang melintas. Saya sangat menikmati situasi ini. Teriakan anak-anak kampung di pinggiran sungai seolah bersahut-sahutan dengan bunyi motor perahu Yamaha yang terus melaju. Dari bawah air sungai, tampak bayangan pohon-pohon yang berjejer rapi di pinggir Sungai Kapuas dan gumpalan-gumpalan awan menambah panorama keindahan sore itu. Tidak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan kebahagiaan saya di sore itu. Meski tak mendapat selamat ulang tahun dari teman-teman dan keluarga, toh alam Sungai Kapuas mampu meneduhkan hati saya. Itulah ucapan selamat ulang tahun terindah yang diberikan alam ini, suguhan Tuhan yang telah mencintai saya selama 26 tahun. Terima kasih Tuhan, terima kasih Kapuas, dan terima kasih untuk keluargaku dan teman-teman sekalian. “”””””””I LOVE YOU ALL””””””””



Stefanus p. Elu, Kebun Jeruk, 24 Oktober 2011