Selasa, 24 Januari 2012

Mia Patria Membangkitkan Naluri Musikku


Dunia musik boleh dibilang cukup akrab di telinga saya. Semenjak kecil saya membiasakan diri untuk mendengar musik meski sarana untuk itu sangat terbatas. Ketika ingin menyajikan goresan ini, rekaman ingatan masa lalu mencuat. Saya ingat betul, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah yang sangat aku cintai membeli sebuah tape ukuran besar dengan dua speakar besar melekat pada kedua sisinya.
        Dengan modal batrei ABC, karena di kampung saya belum ada listrik, saya selalu menyetel lagu sebagai hiburan setiap pulang sekolah. Dengan segala keterbatasan itu, saya melakukan beberapa eksperimen. Misalnya, menyambung kabel pada kedua kedua speaker itu dan menempatkannya masing-masing di sisi ruangan yang berbeda. Tujuaannya agar setip kali saat saya meyetel lagu-lagu kesukaan saya dari kaset pita itu, di ruangan manapun saya berada, saya bisa mendengar musiknya.
        Meski terkadang harus dimarahi oleh ayah atau ibu karena eksperimen-eksperiman itu, toh saya selalu melakukannya dengan diam-diam. Terkadang saya harus merayu ayah agar membelikan batrei karena esperimen itu pasti memakan arus yang cukup besar.
        Kebiasaan ini berlanjut saat saya di seminari. Karena di seminari tidak diizinkan untuk membawa tape rekorder atau alat musik lainnya, saya nekat membeli gitar. Meski sedikit berbohong pada ayah dan ibu agar mendapatkan uang saku lebih, toh saya sedikit bangga karena memiliki alat musik itu. Bersama seorang sahabat akrab saya, setiap malam kami selalu menyempatkan waktu untuk bermain gitar besama. Itulah nada-nada musik yang mengalir dalam diri saya. Rasanya saya juga agak mudah mendalami pelajaran-pelajran musik yang dibnerikan. Puncaknya, pada 2005, saya harus mandi darah dari alat musik yang setiap hari menjadi teman akrab saya itu.
        Demikianpun ketika saya berada di Serikat Xaverian. Cara memainkan alat musik yang saya tekuni dulu di seminari semakin berkembang. Pada 2010, sebelum saya meninggalkan Xaverian, saya belajar organ. Meski hanya autodidak toh saya bisa seidkit memainkan alat musik itu dengan cukup baik.
        Kesukaan akan musik terus mengalir. Akhir-akhir ini, misik regae mulai merangsek masuk. Saya merasa cukup nyaman ketika mendengar lagu-lagu tersebut.
        Malam ini, Rabu, 18 Januari 2012, saya memperoleh kesempatan untuk mewawancarai sebuah kor “Mia Patria”. Kor yang khas dengan musik-musik budaya itu sudah melanglang buana ke mana-mana. Eropa adalah negara tujuan pentasnya. April 2011 lalu, mereka mementaskan musik-musik Indonesia di beberapa negara: Jerman, Swiss, dan Itali. Itulah perjalanan nagara mereka pertama. Namun, dari hasil perbincangan dengan anggota-anggotanya, tampak bahwa mereka sangat menikamti perjalanan itu. Siapa sih yang ga senang bisa melihat Eropa?
        Impian mewujud dalam seni. Dan seni mampu memfasilitasi apa yang dicita-citakan. Mungkin itulan bahasa yang tepat untuk mewujudkan kesan-kesan yang terungkap dari masing-masing anggota. Di dalam komunitas musik budaya ini pun mereka saling berbagi pengetahun musik. Mungkin awalnya, seseorang hanya tahu memainkan alat musik gitar, di komunitas ini ia bisa mempelajari alat-alat musik lainnya. Intinya bahwa kimunitas ini memfasilatasi anak-anak muda Katolik yang menyukai musik.
        Kualitas yang diorbitkan komunitas ini pun tak diragukan lagi. Saat ulang tahun Majalah HIDUP, komunitas ini mampu mengorbitkan acara itu menjadi sebuah Misa yang agung dan meriah. Misa yang dipimpin langsung oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo itu sangat terkesan. Saya yang saat itu hadir secara langsung dan menyaksikannya mampu mengatakan bahwa ini sebuak kor yang indah.
        “Yang ingin kami tampilkan adalah musik-musik khas Indonesia,” tutur Putu Pudiantoro, Sang Fouder sekaligus pemegang kendali komunitas ini. Dari dialah anak-anak muda ini berkembang danmampu menjelajahi dunia Eropa. “Saya ingin agar anak-anak muda yang sederhani ini juga bisa melihat Eropa,” urai salah satu anggota Komisi Musik Liturgi KAJ ini. Menurutnya, anak-anak muda ini tidak bisa berlibur ke Eropa seperti anak-anak orang kaya lainnya. Melaui musik ia ingin memfasilatasi mimpi orang-orang sederhana ini. 

        Musik budaya memang sesuatu yang khas. Sayang, bahwa anak-anak muda saat ini mulai melupakan musik-musik budaya. Mereka lebih mengagumi musik-musik pop-rock sajian The Virgin, Afgan, Ayu Tingting, dan penyanyi beken lainnya. Semua bertemakan cinta. Memang sih, persolan cinta tak pernah cukup kata dan kalimat untuk membahasakannya. Akan tetapi, sampai hal itu mengeliminasi kita dari musik-musik asal kita adalah sesuatu yang sangat tidak sehat.
        Menurut saya, seharusnya musik-musik itu hanya sebagai percikan api untuk menyalakan semangat dan niat untuk mengusung musik-musik daerah kita. Mia Patria adalah komunitas yang menangkap percikan api itu. Jika negara lain, misalnya Malaysia mengklaim alat musik angklung sebagai alat musik mereka seharusnya membuat kita mulai sadar. Kita patut ‘memarahi’ mereka bukan dengan kata-kata atau cacian, tetapi dengan semangat dan daya juang untuk menekuni dan mementaskan lagu-lagu daerah dengan alat musik itu. Kualitas kita mempertahankan alat musik angklung dengan meningkatkan mutu oenggunaanya.
Jarum penunjuk siapa pemilik alat musik angklung seharusnya tampak dari kualitas penggunaanya. Kita harus piawai memainkannya. Dengan demikian dunia akan melihat siapa pemiliknya. Itulah kemarahan dan cacian yang berkualitas. Dari situ pun tampak bahwa orang muda Indonesia adalah orang muda yang terdidik dan terpelajar. Mari kita mendukung misi yang besar yang sedang diusung Mia Patria ini. Semoga semakin hari semakin banyak  orang muda yang mencintai musik-musik tradisional Indonesia.

Kos Bambu, 20 Januari 2012
Stefanus P. Elu

Tidak ada komentar: