Senin, 23 Januari 2012

Ada Pejuang Martabat Manusia di Malang


Mentari sedikit terasa panas. Alam cerah membuat pandangan bisa leluasa memergoki lekak-lekuk jalanan kota Malang, Jawa Timur. Hari itu, Jumat, 6 Januari 2012, adalah hari pertama aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota Malang. Kota yang sedari dulu namanya beberapa kali terngiang di telinga, namun baru hari itu saya melihatnya secara langsung dan dapat merasakan dengan kulit saya sendiri aura udara dan deru kehidupan kotanya.
        Sedikit padat dengan beberapa mobil, angkutan umum, dan kendaraan bermotor membuat ruas jalanan tak pernah sepi . Insan-insan petualang bumi berakal budi hilir mudik mengurusi urusan pribadi dan sosialnya. Mereka mengejar waktu yang tak pernah berhenti berputar, mengejar kesempatan yang tak pernah akan terulang lagi.
        Saya, dengan wajah baru dan sedikit ‘sepi’ memandangi situasi itu sambil memutar akal, bagaimana caranya agar saya bisa sampai ke tempat tujuan. Keputusan pertama adalah mengabari teman-teman SMA saya dulu agar mereka tahu bahwa saya sekarang sedang berada di Malang. Bukan untuk pamer atau garap kesempatan, tetapi tindak antisipatif dalam situasi konkret. Suatu ketika, saat saya kebingungan di kota Malang ini, paling tidak mereka sebelumnya sudah tahu keberadaan diri saya.
        Sang tukan becak mengayuh becak mungilnya menelusuri gang menuju Jalan Setaman nomor 18, alamat yang saya tuju. Dengan cermat saya memperhatikan bangunan sekitar, orang-orang yang melintas, sedikit merekam dalam ingatan jalan yang sedang kami lalui.
        Setelah menunggu beberapa menit, saya bisa berjumpa dengan orang yang menjadi tujuan pertama untuk saya temui. Suster Risye muncul dari balik pintu, menyapa dan memberi salam. Kami saling berjabat tangan, berkenalan, dan salang berbagi cerita guna mewarnai perjumpaan di hari itu.
        Seolah sejampun jangan sampai terabaikan, kami langsung berkemas dan berangkat ke Bhakti Luhur tempat difabel. Perjumpaan dengan anak-anak itu mengundang rasa iba sekaligus takut pada diri. Rasa empati adalah sahabat dekat yang selalu menemani langkah kaki menelusuri lorong-lorong wisma, tempat tinggal anak-anak difabel. Kata hati tak sanggup melihat, tapi itulah kenyataan yang sedang hadir di hadapan saya.
        Mereka tampak berlari ke sana ke mari. Mereka sangat bahagia, menikati hari-hari hidup mereka tanpa peduli apa yang sedang melanda diri mereka. Sejenak situasi itu mengomentari diri. Bisakah kamu hidup seperti ini? Menikmati hari-hari hidup kamu dengan senyum dan tawa. Kekawatiran biarlah menjadi sahabat seorang pesimis. Tapi kamu harus berlangkah terus, mengejar cita-cita, menuai hari-hari hidupmu dalam sukacita. Sebab yang kamu cari dan sedang kamu tuju adalah keabadian, bukan hal empirik yang hanya bertahan dalam periode kronologis.
        Perjumpaan selama tiga hari bersama anak-anak ini menyiratkan pesan yang mendalam. Menghargai hidup saya dan sesama adalah hal mutlak dan penting untuk disahabati dan diinternalisasikan dalam diri. Ternyata hidup itu sangat berharga karena bukan kita yang memilikinya, tetapi Allah sendirilah yang telah bermurah hati menitiokannya kepada kita. Termasuk di dalamnya semua manusia yang lengkap atau kurang.
        Dalam mata khalayak, difabel adalah orang-orang yang tidak biasa dalam peredaran normal kehidupan masyarakat. Maka, tidak heran kalau dalam relasi sosial difabel dianggap lebih rendah. Mereka dipandang sebelah mata oleh karena kekurangan-kekurang yang mereka miliki.
        Pastor Paul Hendrikus Janssen CM adalah seorang yang tidak menerima perlakuan ini. Pastor kelahiran Venlo, Amsterdam, Belanda 22 Januari 1922 ini getol memperjuangkan hak dan martabat difabel. “Mereka juga manusia yang perlu diperlakukan seperti manusia yang lainnya,” tegas pastor yang 29 Januari akan genap 90 tahun ini. Semenjak menerima tugas perutusannya sebagai seorang Imam Lazaris ini tidak pernah bosan memperjungkan kelangsungan kehidupan difabel.
        Inilah cita-cita yang terus mengalir dalam dirinya. Bahkan, ia mengakui bahwa ia bisa mencapai umur 90 tahun ini karena cita-cita itu. Caranya mengatasi pikun di hari tua adalah dengan memiliki cita-cinta. Katanya, “orang menjadi tua, ketika ia tidak lagi memilki cita-cita,” ungkap Pastor yang mendirikan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang, Jawa Timur ini.
        Menurutnya, ketika seseorang memiliki cita-cita maka setiap hari pikirannya tercurah untuk merealisasikan cita-cita itu. Pikirannya akan selalu berusaha menghasilkan inovasi-inovasi baru guna merealisasikan cita-cita ini. “Itullah obat bagi seorang yang sudah tua,” pungkasnya. Daripada duduk dan merenungi nasip tuanya, mending ia mengaktifkan otanknya dengan terus merenungi sita-citanya.

&&&
        Petualangan di Malang berwarna lain lagi ketika saya berkesempatan berjumpa dengan Pastor Willy Maliam Batuah CDD. Ia adalah seorang imam yang berprofesi sebagai petani. Ketika selesia masa karyanya di sekolah, sang maetro bunga ini ‘menyingkir’ sedikit ke Sawiran, Nongkojajar, Purwodadi, Jawa Timur untuk mulai terjun ke dunia tani. Di Sawiran ini ia bekerja sebagai petani bunga.
        Aneka bunga ditanami sambil mencari bibit-bibit unggul lainnya pada laboratorium yang didirikannya sendiri. Dulu, bunga  krisan adalah bunga yang menghiasi kebunnya. Namun, saat ini ia mulai melebarkan sayap kepada jenis bunga lainnya, sebut saja anggrek.
        Pilihannya untuk terjun ke dunia tani pun berangkat dari keprihatinan pada pemerintah yang sering mempermainkan para petani. “Pemerintah membohongi petani dengan memberikan kepada mereka bibit bunga, tapi justru bibit itu adalah bukan bibit yang bai. Petani sudah sering ditipu,” tegas Pastor yang kini berusia 72 tahun ini.
        Penampilannya sangat sederhana. Hala itu tampak, ketika selesai perbicangan ia berkata, “Saya mau berangkat ke kebun.” Ia hanya memakai celana pendek  di atas lutut, berkaus obelong dengan tas samping yang sudah sedikit lusur pertanda umurnya tak mudah lagi beranjak dari kediamannya. Ia selalu tampil sederhana seperti itu.
         Di tempat ini ia bisa berasimilasi dengan siapa saja. Termasuk orang-orang Muslim pun mau bekerja bersamanya. Ketika ditanyai soal ini, ia mengatakan, Kan saya  bekerja bukan mula-mula mengangkat Salib. Salib adalah lambang iman kita. Tetepi bukan berarti itulah yang utama ketika kita mau bekerja sama dengan orang lain. “Bila yang diangkat adalah sisi manusiawi kita, maka saya rasa tidak ada penolakan dari orang lain,” urainya dengan penuh yakin.

&&&
        Perjalanan ini semakin meninggalkan kesan menarik karena ketika mau balik ke Jakarta, saya ketinggalan kereta. Kereta berangkat pukul 14.00, sementara saya baru tiba di stasiun Kereta Api Malang 15 menit kemudian. Sepanjang jalan saya memang berharap agar keretanya agak sedikit telat seperti saya datang kemarin. Tapi harapanku salah. Ternyata kereta api kali ini taat aturan. Pukul 14.00 tepat ia bernagkat ke Jakarta.
        Maka saya pun harus mencari jalan laun untuk pulang ke Jakarta. Bus adalah pilihan terakhirnya. Syukur bahwa saya bisa memperoleh tiket untuk balik Jakarta. Saya juga bersyukur bahwa karena keterlambatan ini saya bisa melihat daerah-daerah lain, sepanjang Malang hingga Jakarta. Mudah-mudahan perjalanan ini dapat menghasilkan berbagai nilai bagi perkembangan diri saya.



Kos Bambu, 19 Januari 2012
Stefanus P. Elu

Tidak ada komentar: