Kamis, 16 Juni 2011

Perempuan Muslim dan Jilbab dalam Perspektif Nazira Zein-ed-Din


Pengantar
Saya adalah seorang mantan frater yang sekarang tinggal (kos) di daerah Kelapa Gading. Di sekitar tempat tinggal saya semuanya beragama Islam. Saya satu-satunya orang beragama Katolik yang tinggal berdampingan dengan mereka. Dalam keseharian, pergaulan kami baik-baik saja dan tidak ada masalah. Namun, secara pribadi ada beberapa hal yang saya perhatikan ketika tinggal bersama mereka. Salah satu yang menarik perhatian saya dan ingin saya ulas dalam tugas akhir kuliah filsafat Islam ini adalah soal penggunaan jilbab.
Tetangga kos saya adalah sebuah keluarga yang telah dianugerahi dua orang anak. Anak mereka yang pertama perempaun berumur dua tahun. Setiap kali anak itu bersama ibunya hendak pergi ke depan atau pergi jauh dari kos, kepada anaknya selalu dipakaikan jilbab. Ibunya selalu memakaikan jilbab dengan alasan malu kalau ke depan tanpa memakai jilbab. Meskipun terkadang anaknya menolak, ibunya selalu berusaha meyakinkannya, bahkan terkadang memaksa anaknya yang baru berumur dua tahun itu untuk memakai jilbab.
Melihat kenyataan ini, spontan timbul pertanyaan dalam hati saya. Apakah memang sangat penting jilbab bagi seorang Muslimin perempuan? Bahkan untuk anak dua tahun yang sebenarnya tidak tahu sama sekali alasan dia memakai jilbab pun? Apakah itu sebuah keharusan? Bagaimanakah hukum Islam menetapkan pemakaian jilbab bagi umatnya? Hal inilah yang menjadi alasan dan dasar pertimbangan saya untuk membahas tema Perempuan dan Jilbab dalam tugas akhir kuliah semester ini.
Siapakah Nazira Zein-ed-Din?
Nazira Zein-ed-Din (Libanon-Utsmani) dilahirkan sekitar 1905. Ia adalah anak perempuan dari seorang hakim tinggi di Libanon. Ia adalah seorang teolog besar dalam dunia Muslim. Pada musim panas 1927, sebagai seorang perempuan muda, ia meneliti ajaran-ajaran Muslim tentang jilbab, sebuah model pakaian yang diperuntukkan bagi perempuan Islam. Ia termotivasi oleh insiden-insiden yang baru terjadi di Syiria, di mana perempuan dilarang meninggalkan rumah tanpa berjilbab, dan di Turki, di mana kaum pemburu sekular mendukung perempuan untuk meninggalkan jilbab. Nazira Zein-ed-Din mempublikasikan temua-temuannya pada 1928, seraya berpendapat bahwa pemakain jilbab bertentangan dengan zaman, dan bahwa Islam, jika dipahami dengan wajar, memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki, dan bahkan lebih baik lagi. Tulisannya ini seketika menjadi kontroversial. Dalam satu tahun, ia menerbitkan beberapa volume, sebagai tindak lanjut, yang berisi surat-surat dukungan dan krtisisme yang penuh semangat, termasuk tuduhan bahwa seorang perempuan muda tidak mampu menulis karya yang seperti itu. Namun, karir selanjutnya sangat sulit untuk diteliti.
Dikotomi Berjilbab dan Tak Berjilbab
Menurut hasil penelitian Nazira Zein-ed-Din perempaun yang berjilbab kebanyakan berada di kota-kota besar. Sedangkan perempuan yang tinggal di daerah pedesaan kebanyakan tidak memakai jilbab. Nazira Zein-ed-Din mengatakan secara terbuka bahwa di negara-negara yang tidak memberlakukan pemakaian jilbab adalah negara-negara yang lebih maju di bidang intelektual dan material. Kemajuan tersebut tidaklah sama dengan negara-negara yang memberlakukan jilbab. Bangsa-bangsa yang tidak memberlakukan jilbab adalah mereka yang berada di negara yang menemukan rahasia-rahasia alam melalui studi dan riset, dan mampu menempatkan unsur-unsur fisik dalam kendali mereka. Namun, nagara-negara yang Muslimatnya memakai jilbab tidak mampu menggali rahasia-rahasia tersebut dan tidak mampu meletakkan elemen-elemen fisik di bawah kendali mereka.
Nazira Zein-ed-Din menggambarkan bahwa suatu kali terjadi sebuah percakapan antara seorang pria Timur yang menasihati perempuan untuk berjilbab dan seorang perempuan Barat yang tidak berjilbab menikmati kebebasan dan kemerdekaannya. Orang Timur tersebut berkata kepada orang Barat: “watak dasar kami tidak dapat menerima kebiasan Anda. Kebiasaan kami lebih terhormat dari kebiasaan Anda dan kaum laki-laki kami mendukung perempuan kami. Seorang laki-laki, sesuai haknya, berjalan di depan istrinya. Namun, di negara Anda, kaum perempuan berjalan di depan kaum laki-laki, seolah-olah dialah yang memberi nafkah.”
Perempuan Barat tersebut berkata: “jika Anda benar-benar ingin melindungi istri Anda, biarkanlah dai berjalan di depan Anda agar Anda bisa mengawasinya, sebagaimana dilakukan oleh kaum laki-laki kami, dibandingkan membiarkannya berjalan di belakang Anda hingga ia salah menggunakan kebebasannya dan terluka.” Laki-laki Timur itu berkata lagi: “sebenarnya orang Barat mendasarkan kebiasaan mereka atas akal budi (pikiran). Akal budi sendiri seharunya mampu mengatur kebiasaan.”
Tidaklah terhormat bagi kita untuk mengingkari kelemahan-kelemahan kita dan percaya bahwa kita telah sempurna dan mengklaim bahwa kebiasaan kitalah yang terbaik dalam setiap waktu dan tempat. Kesombongan dan anggapan yang salah ini merupakan sebuah rintangan bagi reformasi yang kita upayakan. Ketika sebuah bangsa mengakui kelemahannya, hal itu merupakan lagkah awal menuju kemajuannya. Jadi, tidaklah penting di sini untuk mengklaim kebiasaan tertentu di daerah atau negara tertentu lebih baik dari yang lain, melainkan kesediaan untuk menghargai kebiasaan orang lain dan menimba nilai-nilai positif darinya.
Manusia Berharga Pada Dirinya Sendiri
Setiap orang perlu menemukan keindahan-keindahan yang ada dalam dirinya. Karena dengan penemuan itu, akan menjadikan seseorang lebih memahai diri sebagai ciptaan yang utuh dan keberadaan dirinya tidak tergantung pada benda material tertentu. Artinya, manusia mampu berada di dunia dan bertumbuh sebagai makhluk persona bukan kerena ia memiliki benda tertentu, tetapi karena kemampuan yang ada dalam dirinya itulah yang menjadikan dia bertumbuh. Jadi, manusia menjadi berharga karena dirinya sendiri yakni faktor internal yang ia miliki sebagai manusia, bukan faktor eksternal tertentu yang ia pelajari dari lingkungan di sekitarnya.
Nazira Zein-ed-Din mengatakan bahwa tidak dapat dibayangkan ketika kita mengklaim sebagai pembela kehormatan, sementara jilbab adalah tameng terkuat bagi kita. Kita harus memahami sebagaimana orang lain, bahwasannya kehormatan tersebut berakar dari hati dan merupakan asal dari kesucian, bukan berasal dari sehelai kain transparan yang dihamparkan di wajah. Kita harus menyadari, sebagaimana dunia maju yang tidak berjilbab menyadarinya, bahwa perilaku yang baik dan terhormat berasal dari suara yang didasari oleh prinsip-prinsip mulia dan kebajikan. Kita berpandangan dangkal, jika berfikir bahwa jilbab bisa menghindarkan perempuan dari kejahatan dan perempuan yang tidak berjilbab dianggap kurang baik.
Jilbab yang diapakai tidak seratus persen menjamin perilaku baik pemakainya. Sebaliknya keterarahan tindakan selalu bereferensi pada bagaimana keputusan-keputusan yang dihasilkan suara hati. Faktor luar, dalam hal ini jilbab, hanyalah salah satu sarana keagamaan dan dapat mengindikasikan identitas pemaikainya sebagai seorang Muslim, bukan pribadinya sebagai manusia.
Laki-laki dan Perempuan: Ciptaan yang Setara
Nazira Zein-ed-Din dalam tulisannya, ia berusaha memperlihatkan beberapa artikel yang menentang kaum perempuan dan kebebasan mereka, dan menentang penanggalan jilbab, bahwa para hermeneutik melupakan fakta bahwa di dalam al-’Quran Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum perempuan – baik dalam pikiran maupun jiwa – karena tiga hal yang berbeda, yakni:
Pertama, Tuhan memberi hak waris kepada perempuan setengah dari yang dierikan-Nya kepada kaum laki-laki;
Kedua, Tuhan mempertimbangkan kesaksian perempuan dalam masalah hukum, setengah dari yang diberikan kepada kaum laki-laki;
Ketiga, Tuhan Yang Mahakuasa mengijinkn seorang laki-laki untuk menikahi empat orang istri dan menceraikannya sesuai dengan keinginannya, tanpa meminta ijinnya.
Dari kutipan ini, para hermeneutik melihat bahwa perempuan menempati posisi inferior secara mental dan spiritual. Oleh karena itu, mereka berendapat bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menutuskan untuk melebihkan laki-laki dari perempuan dalam ketiga hal tersebut. Tetapi kenyataan bahwa pandangan seperti ini hanyalah monopoli kelompok tertentu untuk menyatakan bahwa mereka lebih superior dari yang lain. Islam lebih dari itu. Islam lebih agung daripada monopoli pihak tertentu. Pandangan seperti ini sebaliknya mau menyatakan sikap apatis kaum laki-laki yang menutup diri kepada kebenaran dan keadilan. Watak seperti ini melemahkan mentalnya sebagai manusia yang terhormat.
Menusia adalah ciptaan yang sempurna karena secitra dengan Allah dan tidak dapat dikatakan bahwa ada yang lain lebih tinggi dari yang lain. Semua ciptaan setara di mata Tuhan. Yang membedakan hanyalah status sosial dalam masyarakat, tetapi masing-masing person sebagai manusia tak dapat disangkal keagungannya. Tuhan tidak menyukai perbudakan. Ia tidak menyukai poligami dan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Tuhan membenci perceraian. Singgasana-Nya terguncang setiap kali perceraian tersebut diucapkan di muka bumi ini, demikian Nazira Zein-ed-Din
Tuhan mewahyukan pesan-pesan suci-Nya secara keseluruhan yang memuat semangat kebebasan, keadilan dan persamaan di antara semua manusia. Ia tidak membedakan manusia disebabkan oleh kemuliaan-Nya tetapi berdasarkan ketakwaannya kepada-Nya. Bagaimana mungkin Tuhan menghendaki perbudakan terhadap makhluk ciptaan-Nya, yang Ia berikan kehidupan dan bagi makhluk yang Ia perintahkan para malaikat untuk tunduk dan bersujud member hormat.
Simpulan
Hemat saya, pemikiran Nazira Zein-ed-Din memang agak radikal. Tampak bahwa Nazira Zein-ed-Din melihat secara negatif jilbab yang dikenakan oleh kaum perempuan Muslim. Tentu saya tidak mengikuti secara lurus pandangan yang dikemukakannya. Dasar pertimbangannya adalah bahwa setiap agama mempunyai simbol dan sarana keagamaannya untuk sampai kepada Allah. Secara pribadi saya mengagumi kaum perempuan Muslim yang sampai hari ini masih menghargai jilbab sebagai identitas keagamaan mereka.
Pemikiran Nazira Zein-ed-Din lebih tepat ditempatkan sebagai kritik radikal bagi mereka yang memakai jilbab tanpa mengetahui alasan mengapa ia memakainya dan memandang tubuhya secara negatif sehingga perlu menutupinya. Pertama, jika kaum perempuan Muslim, khusus di Indonesia, memakai jilbab hanya karena kebanyakan perempuan Muslim lain seperti itu, maka secara tidak langsung mereka mencoreng agamanya sendiri. Memakai jilbab bukan untuk show atau mengikuti fashion, tetapi atas kesadaran akan keagungan simbol yang sementara dikenakan. Dengan demikian, jilbab membantu mengarahkan perempuan Muslim untuk bertindak sebagai seorang Muslimin yang baik, bukan untuk menutupi kejelekan sifat dan praktik hidup tertentu.
Kedua, hendaknya praktik hidup harus sesuai dengan apa yang dipakai. Jilbab tidak dapat menjadikan seorang perempuan baik dengan sendirinya tetapi harus terus menerus berjuang untuk menjadi baik. Jilbab, dalam hal ini, dapat diklaim sebagai alat kotrol sosial. Ketika seorang perempuan Muslim memakainya, ia perlu sadar bahwa itulah identitasnya. Perbutan dan pertkataannya akan tercermin dari identitasnya. Jika bertentangan, berarti ia sendiri yang mencoreng identitasnya sendiri. Akhirnya, menurut saya, anak berumur dua tahun tidak perlu dipaksa untuk memakai jilbab, tetapi perlu dididik untuk bertumbuh menjadi seornag Muslimin yang baik. Piihan untuk memakai jilbab atau tidak menjadi nomor dua seteah seorang membentuk dirinya dengan baik.

Buku Sumber:
Kurniawan, Charles (ed.), 2001, Wacana Islam Liberal. Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina
Jurnal Perempuan, 2009, “Saatnya Bicara Soal Laki-laki”, Jakarta: YJP

(stefanus poto elu, Kos, 07 Juni 2011)

Tidak ada komentar: