Sabtu, 18 Mei 2013

Kisah dari Balik Gunung


Hari itu udara terasa panas, di akhir September 2011. Matahari berdiri tegak di puncaknya. Hawa yang turun dari kebun para petani ladang menyambangi tubuh yang sedikit berkeringat. Saya bersama keempat belas teman mulai berbenah. Pakaian dilipat sekecil mungkin dan disusun sangat berdekatan, tampak berhimpitan. Potongan besi, terpal, makanan, dan sejumlah peralatan terkumpul menjadi satu. Beberapa kali saya menoleh ke arah teman-teman lain yang hampir rampung pengepakkannya. “Jangan lupa, masing-masing wajib membawa satu kantong plastik,” tutur Galuh, seorang teman yang dipercaya sebagai pemandu.
            Hari itu merupakan pengalaman perdana perjalan saya bersama kelompok ini. Kata mereka, bila sudah sudah mencapai tujuan kenikmatan tiada tara akan memenuhi jiwa dan raga. Itulah sepenggal kalimat yang berkali-kali dilontarkan kepada saya, saat diajak untuk bergabung bersama kelompok ini. Ini merupakan babak baru dalam rajutan pengalaman kehidupan saya bersama Jelajah Alam Driyarkara atau yang sering kami sebut JELADRI. Ia adalah kumpulan para pencinta alam dari sebuhan Sekolah Tinggi di Jakarta bernama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Memang, sangat susah menemukan korelasi antara filsafat dan alam. Tapi, paling tidak kondisi alam yang tenang, asri, dan hijau mampu melahirkan buah-buah pikiran kritis dan revolutif.
            Sejak berdiri hampir sepuluh tahun lebih, kelompok ini memang tidak mau menamai diri sebagai pencinta alam. Seturut warisan cerita yang kami terima, para pendahulu kami tidak mau menamai diri sebagai pencinta alam karena kesempatan untuk bersenggama dengan alam hutan hanya beberapa hari, bahkan beberapa jam saat pendakian. Akan tetapi pengalaman puncak yang diperoleh di puncak gunung itulah yang hendaknya di bawa pulang untuk diaktulisasikan di lingkungan kampus. “Kita cukup menjelajah untuk menemukan keindahan alam puncak, memotretnya dalam ingatan, dan mencetaknya dalam tindakan di kampus,” itu pesan Galuh sewaktu bertolak dari kampus kemarin sore.
            Kami akan mendaki Gunung Salak dari jalur Cimelati. Katanya, jalur ini cepat karena paling pendek tetapi cukup berat karena terus menanjak dan tidak ada air di sepanjang perjalanan ke puncak. “Masing-masing memegang kantung plastiknya dari naik sampai turun harus tetap ada di tangan dan tetap utuh. Apapun alasannya,” petuah Galuh sekali lagi menyentuh telinga. “Untuk apa sih? Masak dipegang terus? Emang, kalau capek nggak boleh dibuang ya?” sanggahku dalam hati.
            Sekitar baru 10 menit perjalanan, Galuh membuka kantung plastiknya. Sejumlah sampah yang berseliweran di sisi jalan dipungutnya satu persatu dan dimasukannya ke dalam kantong pelastiknya. Kemudian ia kembali melanjutkan perjalanan.  Aku terheran-heran melihat apa yang dibuatnya. Tapi, beberapa teman lain pun membuat hal serupa. Akhirnya aku pun ikut-ikutan. Meski dalam hati membayangkan seberapa berat kantong pelastik ini nantinya. “Masalahnya sampah-sampah ini akan terkumpul dari sejak naik sampai turun. Berapa banyak nantinya?” gumamku.
            Sepanjang jalan kami terus memungut sampah plastik yang kami temukan. Baru sekitar dua jam perjalanan, kantong pelastiknya sudah setengah penuh. Ternyata gunung yang sepi dari jamahan jemari khalayak pun punya sampah.  Hampir bisa dipastikan bahwa sampah-sampah ini ditinggalkan oleh para pendaki gunung juga. Mereka menamakan diri pencinta alam tapi tidak mencintai alam. Tempat yang sepi sampah malah bermandi sampah karena tindakan tak terpuji mereka. Sebuah tindakan kontraprodukstif untuk semangatnya sendiri.
            Tapi, apapun alasan di balik semua kenyataan, rasanya di sini bukan tempatnya untuk saling menghina dan mengklaim siapa yang lebih unggul. Yang terpenting apa yang dapat dilakukan hari ini, lakukanlah. Tidak perlu menunggu, apalagi menuntut agar itu dilakukan oleh kelompok lain.
            Seperti pesan kewajiban Galuh, kami terus memungut sampah-sampah dari kaki Gunung Salak hingga ke puncak, kemudian membawanya kembali turun ke bawah kaki gunung. Kami berhasil mengumpulkan sampah sekitar tiga belas kantong pelastik besar. Sebuah pekerjaan yang gila dan sia-sia. Toh, kalau besok ada pendaki lain yang mengadakan pendakian, sampah akan kembali ditebar. Itulah pikiran pesimistis yang menghatui saya.
            Delapan bulan kemudian, saat kami kembali mengadakan pendakian ke Gunung Merbabu, kegiatan memungut sampah kembali digelar. Meski kini kami dibawah arah Adit, toh semangatnya tetap samah. Kenikmatan puncak harus dipersiapkan sejak langkah pertama. Agar puncak gunung itu indah, rawatlah sisi-sisi yang merangkai puncak itu.
            Bayangkan saja, perjalanan selama hampir tiga hari itu masih harus dibebani dengan tumpukan sampah yang tak tahu dari mana datangnya. Terkadang, menyaksikan banyaknya bungkus mie dan biskuit, teman-teman sempat berkelakar, “mungkin ada alfamart atau indomart di atas”. Di Merbabu kami berhasil mengumpulkan sampah sebanyak tujuh kantong plastik. Sementara pada pendakian enam bulan setelahnya di Gunung Sumbing kami berhasil mengumpulkan sampah sebanyak delapan kantong.
            Bila meninjau apa yang kami lakukan ini, memang tidaklah seberapa. Untuk menyelamatkan bumi yang kian terancam kerusakannya ini, tindakan kami ibarat titik hitam kecil di tengah gurun pasir. Ia sulit untuk dilihat begitu saja, tapi tetap ada. Dengan segala posisi dan pertimbangan yang dimabil oleh para JELADRes – sapaat untuk anggota JELADRI – kami ingin menyanggah perilaku para pecinta alam yang menodai semangat mereka. Semoga sebanyak mungkin orang yang bisa menyadari hal ini. Bila orang belum mampu melihat apa yang Anda lakukan, sekali-sekali jangan berkecil hati. Sebab tujuan kita berbuat sesuatu bukan untuk dilihat. Meski tak terlihat banyak oleh banyak orang, tetapi itu tetap ada. Segala sesuatu yang kita lakukan itu ada, dan akan tetap ada, meski secara kasat mata tak terlihat.

steve agusta

*). Tulisan ini terbit dalam buku Antologi bersama berjudul "Think Green, Go Green", Pustaka Jingga, April 2013